Ledakan Sunyi

trejoIbrahim mendengarkan paparan anak buahnya dengan serius. Istrinya baru saja menidurkan anaknya yang kecil. Waktu menunjukkan jam 10 malam. Perumahan sepi dan mereka bicara di ruang tamu. Tiga orang berkumpul di sana, mereka adalah kapten-kapten Ibrahim.

“Awasi dan laporkan.” Ibrahim hanya bicara singkat dan mereka pun bubar. Ibrahim disapa istrinya sesudah mengunci pintu.
“Ada apa lagi sekarang?”
“Tidak ada apa-apa. Sudah, tidur sana.”
“Akang mau dibuatkan teh?”

Ibrahim hanya menggeleng sambil mendengus. Istrinya masuk kamar, tidur dengan empat orang anaknya, berjejal-jejal di atas kasur kapuk yang sudah agak kempes. Cahaya remang-remang menerangi tembok yang tidak mulus. Rumah ini sederhana, dibangun sepuluh tahun lalu dengan citarasa orang-orang desa. Suasana di dalam rumah sepi. Ibrahim mengambil sesuatu dari atas lemari, sebilah parang yang dibungkus dengan kain putih yang sudah kumal. Ia menaruhnya di atas meja makan lalu pergi ke dapur mengambil sebaskom air bersih dan batu asahan. Selama satu jam berikutnya ia mengasah parangnya dengan perlahan dan hati-hati. Sebentar-sebentar ia melihat parangnya dari dekat dengan satu mata, melihat kelurusan bagian tajamnya. Suara logam yang bergesekan dengan batu asahan dan gemercik air di baskom memecah kesunyian. Istri Ibrahim menghela napas dengan gundah di kamarnya dan berusaha menutup mata.

Keesokan paginya Ibrahim mendapatkan laporan bahwa Wakijan berangkat naik sepeda motor sendirian ke arah utara. Satu anak buahnya berangkat membuntuti, yang lain melapor. Ibrahim mengangguk-angguk lalu ia berkata singkat, “Panggil Arifin.”
Anak buahnya segera berlalu. Sejam kemudian Arifin sudah tiba di rumahnya.

“Kemana dia pergi menurut Akang?”
“Pasti ke rumah gurunya, Haji Wastar. Haji Wastar itu teman ayahku. Mereka sama-sama jagoan dulu tapi Ayah lebih sukses. Setelah perang kemerdekaan selesai, Haji Wastar membuka perguruan silat sementara Ayah langsung berbisnis.”
“Apa perintahmu?”
“Siapa orang-orang Wakijan yang paling kuat?”
“Ada tiga orang. Gunawan yang paling senior, kuat dan loyal. Dua orang lagi tidak terlalu loyal, Adam dan Sahari.”
“Panggil Adam dan Sahari ke sini, malam ini juga. Aku mau bicara.”
“Dan Gunawan?”
“Kita urus nanti.”

Malam itu juga Adam dan Sahari sudah duduk di ruang tamu Ibrahim dengan tegang. Istri Ibrahim menghidangkan kopi panas. Ibrahim tersenyum pada mereka.
“Tidak usah tegang. Tenang saja.” ia mendekatkan wajahnya pada mereka lalu berbisik. “Kalau aku mau kalian mati, kalian sudah jadi bangkai sejak tadi sore. Tenanglah dan dengarkan aku bicara.”
Adam dan Sahari saling melirik dengan tegang.
“Sekarang zaman sudah berubah.” Ibrahim berkata sambil menyandarkan punggungnya di kursi.
“Haji Sodikin yang kita hormati sudah mangkat. Kita semua berdoa supaya Beliau masuk surga. Pesan Beliau sebelum meninggal padaku hanya satu, teruskan mengurus Pasar Abimanyu.”
Adam dan Sahari memandang Ibrahim dengan ekspresi serius.
“Jadi aku ini mendapatkan mandat, Pasar Abimanyu adalah amanah bagiku. Aku tak punya pilihan lain selain meneruskan kerja ayahku. Kalian mengerti?”
“Tapi..” Sahari buka suara. “Semua warga pasar mengeluhkan uang keamanan yang naik berkali-kali lipat, Kang.”
Ibrahim mengangkat bahu. “Kan sudah aku bilang, zaman sudah berubah. Sekarang kalian pikir dengan uang sepuluh ribu kalian bisa makan enak? Bisa bayar uang sekolah anak kalian? Anak-anakku ada empat, semua masih sekolah. Anak buahku setengahnya sudah punya anak. Semua barang naik harganya, bukan salahku, dong. Harga bensin naik, orang pasar tidak ada yang protes, mereka naikkan harga barang-barang dagangan. Lalu kenapa mereka protes kalau uang keamanan naik?”
“Barangkali caranya itu, Kang.” Adam bersuara. “Anak-anak suka kurang simpatik.”
“Ya kalau para pedagang tidak mempersulit tentu anak-anak juga tidak akan macam-macam. Aku heran kenapa situasinya jadi begini?”
“Jadi, intinya, untuk apa kami dipanggil kemari, Kang?”
Ibrahim memandang Adam dan Sahari lekat-lekat.
“Kalian anak-anak muda yang pintar, aku sudah kenal kalian sejak lama. Aku kasihan melihat hidup kalian begitu-begitu saja sesudah bekerja pada Wakijan bertahun-tahun. Orang seperti Wakijan tidak bisa bertahan lama, sebentar lagi juga habis. Kenapa kalian tidak membantuku saja? Kita maju sama-sama.”

Adam dan Sahari saling berpandangan. Sahari lalu angkat bicara.
“Kang Wakijan sudah seperti kakak kami sendiri. Kami punya banyak hutang budi padanya. Bukan rahasia lagi kalau orang-orang pasar lebih suka ikut Kang Wakijan, mereka hanya takut bicara pada Akang atau anak-anak. Kalau kami pindah lalu membantu Akang..” Sahari meneguk ludahnya. “Itu pengkhianatan.”
“Ah, ya.” Ibrahim tersenyum. “Pengkhianatan. Lucu juga kalian bicara soal pengkhianatan. Soalnya Pasar Abimanyu adalah wilayahku, aku mewarisinya dari ayahku. Wakijan harus pindah kalau mau selamat. Kalau Wakijan tetap berkeras ada di wilayahku, itu artinya melawan kehendak Pak Haji almarhum. Itu baru namanya pengkhianatan.”
“Maaf, Kang. Aku tidak bisa.” Adam menggelengkan kepalanya.
“Ya, maafkan kami. Kami tidak bisa.” sahut Sahari.
Ibrahim memandang mereka dengan marah.
“Kalian membuat aku kecewa. Kukira kalian pintar, ternyata kalian sama tololnya dengan si Wakijan. Kalian tidak bisa melihat jauh ke depan.”
Ia bangkit lalu berjalan menuju pintu. “Arifin!” ia memanggil setengah membentak dengan kesal lalu duduk kembali di kursinya. Arifin masuk membawa baki yang ditaruhnya di atas meja. Ia membuka lap merah basah yang menutupi baki. Adam dan Sahari terkesiap. Kepala Gunawan terhidang di atas baki. Wajahnya lebam, penuh luka dan berlumuran darah. Bau darah memenuhi ruang tamu dan beberapa ekor lalat terbang mengelilingi rambut Gunawan yang mengkilat dan lengket penuh darah.

Leave a comment