Mengapa kita selalu terpikat melihat wajah cantik atau tampan? Sebaliknya, mengapa kita memalingkan wajah, seringkali tanpa sadar, menghindar saat melihat pengemis dengan cacat yang menjijikkan di tepi jalan? Dari mana kita tahu mana wajah yang elok, mana yang buruk? Mengapa naluri itu muncul begitu saja dalam benak kita tanpa ada yang mengajari? Tanpa disadari benak kita dengan cepat mengambil kesimpulan bahwa orang dengan wajah cantik dan tampan pasti menyenangkan sementara mereka yang berwajah sangar akan segera membuat kita berhati-hati. Melalui banyak pengalaman dalam perjalanan hidup, kita telah dibuat lebih bijak, seraut wajah tidak selalu menunjukkan watak asli seseorang, walaupun demikian benak kita tetap saja selalu mengambil kesimpulan seketika saat kita berhadapan dengan seraut wajah: terpikat atau berpaling, tak mau melihat.
Dalam sejarah seni potret yang usianya terentang selama 3000 tahun sampai hari ini, kedua naluri ini sama-sama muncul, hanya saja tentu lebih banyak wajah rupawan yang dilukis dan dikenang orang lewat karya-karya seni. Masalahnya, seni kiwari (malah sejak jauh sebelum itu) tidak demikian, ia justru malah sering menunjukkan sifat kebalikannya. “Seni potret adalah sebuah pekerti.” demikian Lucian Freud pernah menjelaskan pada Sebastian Smee dalam sebuah wawancara. Para perupa sudah lama bosan dengan wajah-wajah yang elok tapi tak memiliki hubungan langsung dengan kehidupan sosial atau pasang-surut emosi sehari-hari. Bila suatu wajah tidak bisa tampil rupawan di atas kanvas karena kenyataannya memang begitu, biarlah itu terjadi. Dengan begitu, cara seorang perupa memandang diri dan dunianya akan sangat memengaruhi pendekatannya saat mengimba seraut wajah di atas kanvas.
Maka apa yang sebenarnya terjadi dalam benak kita saat kita melihat seraut wajah? Apa yang ada di dalam benak kita saat melihat Dresie dan Cressie, dua laki-laki idiot berwajah aneh, seperti bukan manusia, yang bajunya basah dan kotor karena lelehan air liur yang tak ada habisnya dalam karya fotografi Roger Ballen di atas ini? Sebagai perupa kita tidak bisa mengabaikan naluri ini begitu saja, kita harus menyelidiki apa sebenarnya motif di balik karya-karya potret kita. Sadarkah kita akan apa yang terjadi di dalam benak kita sendiri saat kita memilih wajah yang mana yang akan kita imba? Mengapa kita memilih wajah yang ini, bukan yang itu, atau mengapa kita memilih wajah kita sendiri? Bila kita memang memilih seni potret sebagai jalur kekaryaan kita, sudah selayaknya kita selalu mempertanyakan motif kita sendiri, menyelidikinya sambil terus berkarya. Kita akan bahas masalah ini lebih mendalam suatu saat nanti, ya. 🙂