Anjungan di Antariksa: Sebuah Pameran Seni Rupa Pasca-Internet

Tulisan ini dibuat sebagai pengantar kuratorial pameran “Superhighway Visual Transformation”, sebuah pameran para pengajar prodi DKV di Fakultas Industri Kreatif, Kalbis Institute, Jakarta (22-26 April 2019). Pameran ini menampilkan karya enam perupa: Dr. Hadi Sutopo, Betha Almanfaluthi, Juniar Vdaya, Vicky Septian Rahman, Yori Pusparani, dan Yunia Fitri Andriani. Pameran ini terbuka untuk umum dan gratis.

Sebuah pameran seni rupa yang dilakukan di kampus, yang menampilkan karya para pengajar di kampus tersebut, dan diapresiasi oleh mahasiswa-mahasiswi mereka, tentu menarik untuk diamati. Sepanjang sejarah, para siswa mencari guru-guru yang mumpuni untuk mendapatkan bimbingan dan inspirasi. Namun yang lebih menarik lagi, ini bukan pameran seni rupa konvensional. Karya-karya dalam pameran ini dinikmati dengan menggunakan kacamata VR, menampilkan tayangan yang sama sekali tidak biasa. Pengalaman yang didapatkan pemirsa pameran ini akan berbeda dengan melihat lukisan berderet-deret dipajang di dinding galeri. Pemirsa diajak naik ke garis Kármán dan berdiri di atas sebuah anjungan futuristis yang menampilkan karya para peserta pameran. Selama lebih dari dua dasawarsa berkiprah sebagai perupa profesional, saya belum pernah melihat presentasi secanggih ini.

Seni media baru tidak lahir kemarin sore. Karya-karya fotografis eksperimental, termasuk yang melibatkan gerak, cahaya, dan bunyi, sudah hadir sejak awal abad ke-19. Perkembangan lebih lanjut dari dunia televisi melahirkan video art pada tahun 1960-an, sementara dunia komputer grafis, gim, dan internet melahirkan seni digital pada tahun 1990-an. Perkembangan teknologi selanjutnya membuat kita mengenali banyak hal baru dalam kehidupan kita sehari-hari termasuk kacamata trimatra, kacamata VR, realitas tertambah (augmented reality), dsb. Umat manusia di perkotaan kini lahir, hidup, dan mati di bawah tatapan lensa kamera. Citraan diproduksi, direproduksi, didistribusikan, dan dikomodifikasi dengan kecepatan tinggi setiap hari. Kita telah memasuki sebuah abad citraan. Peradaban manusia belum pernah mengalami intensitas visual sekuat ini, karena itu tak aneh bila dunia semakin materialistis karena netralah yang pertama menilai segalanya. Di sisi lain, perkembangan ini mempengaruhi produksi karya seni rupa dan pola interaksinya. Wajah seni rupa di abad ke-21 tak pernah sama lagi dengan sebelumnya.

Ada beberapa cara untuk memahami pameran ini. Pertama, yang paling mendasar, adalah dengan mengamati bahan dasar karya-karya yang ditampilkan. Bila kita menggunakan media konvensional bahan dasarnya adalah atom, tapi karya Betha, Yori, dan Vicky berbasis bit data. Karya-karya mereka murni dibuat secara digital, sejak awal sampai presentasi akhir. Ini adalah karakteristik khas seni digital pasca 1990-an. Kedua, adalah konversi dari media konvensional berbasis atom ke basis bit data. Ini mencakup karya Dr. Hadi, Yunisa, dan Juniar. Transmaterialisme seperti ini lazim terjadi dalam seni media baru. Ketiga, ada aspek gerak dalam karya-karya yang ditampilkan, sebuah watak seni media baru yang mengadopsi dunia film dan televisi dalam penciptaan karya seni video. Namun hal yang paling menonjol dalam pameran ini adalah pola interaksi dan iktikad para perupanya.

Untuk bisa menikmati pameran ini secara utuh pemirsa harus mengenakan kacamata VR. Sejatinya pemirsa menikmati sebuah realitas maya, tapi realitas tersebut unik dan berbeda dengan pengalaman hidup mereka sehari-hari. Di sisi lain para perupa sudah menyadari sejak awal bahwa karya-karya mereka akan ditampilkan melalui kacamata ini, hal itu mempengaruhi iktikad mereka saat mencipta. Bila kita gunakan gawai untuk memotret kawan-kawan seusai makan bersama, kita menggunakan mode lanskap supaya semua orang bisa masuk bingkai. Namun kita juga memotret sudut lain dengan mode potret karena kita tahu, itulah yang terbaik untuk menampilkan Instagram Story. Aksi memotret dengan mode potret khusus untuk Instagram Story berasal dari iktikad yang tak mungkin ada tanpa preseden sebelumnya. Para perupa menyadari sepenuhnya: potensi macam apa yang tersedia bila kelak karya-karya mereka dipresentasikan ke hadapan publik. Iktikad inilah yang menyebabkan hadirnya aspek gerak dalam karya-karya Betha, Vicky, Yori, Yunisa, dan Dr. Hadi. Secara keseluruhan, ini adalah watak khas seni media baru, seni digital, dan seni rupa pasca-internet.

Betha, Yori, dan Vicky memiliki modus operandi serupa dalam penciptaan kali ini, mereka menafsirkan fotografi digital menjadi karya rupa. Bila Betha dan Vicky mengambil anak-anak mereka sebagai waktra, Yori membuat sebuah kompilasi potret diri. Betha menggunakan potret Bariqi, anak laki-lakinya dalam usia berbeda-beda (2,3, dan 8 tahun), sedang memainkan kostum serupa yang terbuat dari kardus, seperti permainan cosplay. Sementara Vicky menggunakan foto digital Verrell—anak laki-lakinya yang baru berusia 9 bulan—menjadi karya figuratif dengan latar belakang abstrak yang imajinatif, Yori merunut foto digital dirinya sendiri. Ia menafsirkan foto-foto digital tersebut menjadi figur-figur vektoral yang menunjukkan pose dan fesyen dirinya sendiri, dengan wajah yang dihilangkan. Yori mengimbuhi figur-figur tersebut dengan puisi-puisi pribadinya.

Walaupun kekaryaan mereka murni digital dan dibuat dengan basis bit data, kekaryaan jenis ini berasal dari tradisi tua di dunia seni lukis, yakni seni potret. Terutama sejak masa Renaissance di abad ke-14, perupa memandang cermin dan mengimba diri mereka dengan cat minyak. Karya-karya pesanan yang mereka kerjakan biasa terdiri dari anggota keluarga, baik secara tunggal maupun berkelompok, termasuk anak-anak mereka. Selain mengerjakan karya pesanan, perupa pada masa itu juga biasa melukis orang-orang terdekat yang mereka cintai: suami, istri, saudara dari keluarga batih, atau anak-anak mereka sendiri. Tradisi ini masih berlanjut hingga sekarang, dan transformasi media menjadi digital dengan basis bit data tidak menghilangkan substansi utama seni potret dalam kekaryaan Betha, Vicky dan Yori: perayaan, kasih sayang, harapan, pemujaan, narsisisme sekaligus kritisisme terhadap sang Subyek.

Dr. Hadi Sutopo, Dekan Fakultas Industri Kreatif, Kalbis Institute, menggunakan keahlian melukisnya dalam karya ilustrasi “Nabi Nuh”, menggambarkan drama dalam kisah yang dikenang sepanjang masa. Yunisa menggunakan observasi bola mata untuk menyadur wajah figur para puan berprestasi: Song Hye Kyo; Son Ga In; Kendall Jenner; Jourdan Miller; Allison Harvard; dan Yoona. Ia memilih figur-figur yang berkarakter dan berdaya, sukses, dan menginspirasi perempuan dunia. Sementara itu Juniar membuat sebuah karya berbasis riset. Ia menafsirkan kalender Tenganan—sebuah sistem penanggalan tradisional asli Bali yang masih digunakan hingga sekarang, untuk menentukan waktu-waktu penting seperti saat upacara—menjadi sebuah karya kontemporer menggunakan teknik drypoint, sesuai dengan disiplin ilmunya saat kuliah dulu, sekaligus serupa dengan cara kalender asli dikerjakan: menggarit daun lontar dengan taji ayam jantan.

Karya Dr. Hadi, Yunisa, dan Juniar dikerjakan di atas kertas dan daun lontar, menggunakan teknik menggambar, melukis dan menggarit yang konvensional. Karya-karya ini kemudian mengalami transmaterialisasi, dari atom menjadi bit data, dan pada akhirnya bertransformasi menjadi karya digital. Sistem figur dalam karya Dr. Hadi dan Yunisa memiliki tuturan yang langsung dan tidak langsung. Karya ilustrasi Dr. Hadi disusun menjadi sebuah tuturan naratif, sementara figur-figur dalam karya Yunisa memiliki tuturan referensial karena figur yang diimba adalah para pesohor yang dikenal banyak orang. Juniar sendiri memanfaatkan simbol-simbol tradisional dalam kalender Tenganan menjadi ikon dalam susunan obyek yang kompleks dalam kalender buatannya sendiri, Gregorian dan eklektik. Keseluruhan karya dalam pameran ini memperlihatkan konvensionalisme sekaligus kekinian, baik dalam pemahaman maupun praktiknya. Menurut saya ini adalah sebuah spektrum yang menarik untuk dicermati.

Merasuknya teknologi ke dalam kehidupan sehari-hari mengubah cara kita berpikir, melihat, dan memahami dunia. Sebagai dampaknya, ekspektasi dan perilaku kita pun berubah. Walaupun demikian, apresiasi seni rupa tetap memiliki sebuah aspek mendasar yang takkan hilang walaupun teknologi telah mengubah banyak hal: karya seni dicipta untuk menyentuh batin pemirsanya. Sebuah karya seni tidak dicipta untuk menyebarkan informasi pada tataran intelektual, tapi emosional. Apresiasi seni yang berhasil serupa dengan rasa haru saat menonton film drama, rasa kagum saat melihat matahari terbit dari puncak gunung yang kita daki semalaman, atau perasaan ingin berjoget saat melihat sekelompok orang menari dengan koreografi yang rancak. Apresiasi seni yang sangat berhasil akan menerbitkan sebuah emosi kuat yang tak bisa dijelaskan dalam batin pemirsa. Picasso mengatakan, “Kita tak paham apa yang dikatakan burung, tapi kita menikmati kicauannya.”

Bagaimana membuat sebuah karya yang kuat, yang mampu merebut hati para pemirsa? Ini adalah permasalahan semua perupa sepanjang zaman. Seperti juga seorang biduan yang sedang bernyanyi di atas panggung, atau seorang aktor yang menjalankan peran di atas pentas, seorang perupa membutuhkan penghayatan saat mencipta. Tidak seperti biduan atau aktor, penghayatan seorang perupa berdurasi panjang, bisa berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan lebih dari setahun. Penghayatan seorang perupa adalah flow, seperti yang dijelaskan dalam dunia psikologi positif oleh Prof. Mihaly Csikszentmihalyi. Namun selain flow, perupa juga perlu memahami psikologi pemirsa yang mengapresiasi karya-karyanya.

Pemirsa adalah manusia, sama seperti perupa. Manusia adalah mahluk yang menghasilkan puluhan ribu subyek pikiran setiap hari, melompat dari satu topik ke topik yang lain berganti-ganti. Pikiran mereka amat sibuk seperti lalu lintas padat. Perupa perlu menyadari bahwa karya mereka harus mampu menghentikan jalan pikiran yang sibuk itu, walaupun hanya sedetik. Bila itu bisa dilakukan, citra karya mereka akan tertanam dalam benak pikiran pemirsa untuk waktu yang lama. Sebuah karya yang baik harus mampu menghentikan waktu dalam pikiran pemirsa.

Waktu dalam pikiran manusia hanya akan berhenti karena dua hal. Pertama, karena rasa takut yang kuat, yang memicu mekanisme pertahanan diri. Kedua, karena rasa cinta, kagum, iba, haru, lapang, sukacita, dan hasrat penyatuan dalam rasa lapar atau birahi. Walaupun amat berbeda satu dengan lainnya, keduanya adalah emosi universal. Rasa takut adalah emosi yang kuat, dampaknya terasa pada tubuh, namun emosi jenis kedua bersifat spiritual. Sebuah karya seni mampu membangkitkan emosi jenis kedua, sementara film horor atau thriller yang menegangkan memanfaatkan emosi jenis pertama. Bila satu dari dua jenis emosi ini bangkit dalam diri pemirsa, pikiran mereka yang semula sibuk akan berubah menjadi fokus, single channeled, thus sebuah karya akan mampu menghentikan waktu dalam pikiran pemirsa. Inilah yang membuat orang-orang tertentu bisa berdiri mematung di depan karya seni, di tengah hiruk-pikuk pemirsa lain dalam sebuah pameran besar. Ia lupa bahwa ada ratusan orang di sekelilingnya. Suara berisik di sekelilingnya menjadi tak terperhatikan karena pikirannya menjadi sunyi dan tertuju pada satu karya di hadapannya.

Fokus seperti ini terjadi di beragam jenis apresiasi: saat menonton teater, sendratari, film, membaca buku, melihat iklan di televisi/surat kabar/majalah, termasuk saat pemirsa memperhatikan sebuah karya seni rupa dengan saksama di galeri, museum, atau melalui kacamata VR. Karena itu sebuah karya seni bukan semata obyek, tetapi juga sebuah rangkaian kejadian, sekaligus pengalaman. Seorang pemirsa yang serius bukan hanya melihat, namun mengalami karya seni yang ia apresiasi. Hal seperti ini juga bisa terjadi saat seorang pemirsa melihat iklan di televisi.

Bila kita sedang menjalankan ibadah puasa Ramadan, lalu melihat iklan hamburger McDonald di televisi pada jam 4 sore, emosi yang kita alami bisa kuat sekali. Pikiran kita yang semula sibuk memikirkan banyak hal segera berhenti dan kita dilanda hasrat yang kuat sampai liur kita hampir menetes. Netra hanya melihat tumpukan burger beterbangan dalam gerakan lambat, tapi imajinasi membuat tubuh kita merasa sedang mengecap kenikmatan burger tersebut. Semua manusia yang normal memiliki kemampuan ini, dan seniman tahu persis bagaimana memanfaatkannya. Baik mencipta maupun mengapresiasi karya seni, keduanya membutuhkan imajinasi. Pengalaman luar biasa saat mengapresiasi karya seni rupa sudah membuat ribuan anak bercita-cita menjadi seniman. Mereka akhirnya tumbuh menjadi seniman besar dan menginspirasi ribuan anak lainnya.

Kita tak bisa menghindari perkembangan teknologi. Sebelum perubahan tersebut mempengaruhi cara kita mencipta, hidup kita sudah terlebih dahulu berubah banyak. Seni media baru, seni digital, dan seni rupa pasca-internet adalah wacana baru, namun pola interaksi, pengalaman pemirsa, dan bagaimana pada akhirnya pemirsa memberi makna pada pengalaman tersebut tetap sama baik, di masa Renaissance maupun hari ini. Saya berharap, pola interaksi yang menyegarkan karena melibatkan teknologi realitas virtual dalam pameran ini mampu memberikan pemirsa sebuah pengalaman yang berbeda. Saya juga berharap karya-karya yang ditampilkan akan mampu memberikan inspirasi pada pemirsa, terutama para mahasiswa, sehingga mereka mampu memikirkan secara imajinatif kemungkinan apa saja yang bisa mereka capai dalam penciptaan mereka, baik di bangku kuliah maupun saat mereka lulus dan berkiprah di dunia nyata kelak.

Bandung, 17 April 2019

R.E. Hartanto

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s