NFT: Antara Spekulasi dan Inovasi

Di awal bulan April 2021 seorang seniman digital misterius bernama Murat Pak[1] yang berkolaborasi dengan Nifty Gateway dan Sotheby’s berhasil meraup angka penjualan total US$16,8 juta (sekitar Rp.244 miliar) melalui serangkaian lelang yang dilakukan di kedua platform tersebut[2]. Sejak September 2020 berita tentang karya NFT yang terjual dengan harga fantastis terdengar tak henti-hentinya. Di pusat pemberitaan tersebut ada Beeple (dibaca ‘bipl’), alias Mike Winkelmann, seorang seniman digital berusia 39 tahun dari South Carolina, Amerika Serikat, yang memecahkan rekor penjualan US$69,3 juta (hampir Rp.1 triliun) di balai lelang Christie’s, pertengahan bulan Maret 2021 lalu[3]. Selain Pak dan Beeple, ada banyak seniman termasuk para pesohor yang meraup banyak uang dengan menjual/melelang obyek NFT mereka. Salah satunya adalah Edward Snowden yang baru saja menjual foto digitalnya dalam sebuah lelang dengan harga US$5,4 juta (sekitar Rp.78 miliar) yang diadakan hari Sabtu, 17 April 2021[4].

Bila selama ini Anda mengikuti pemberitaan tersebut dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya tengah terjadi, dunia seni memang sedang mengalami sebuah revolusi yang tidak pernah diduga sebelumnya oleh arus utama seni rupa modern dan kontemporer yang selama ini sudah dianggap sangat mapan. Game changer dalam revolusi ini adalah NFT.

“The First Emoji”, salah satu rinci dari “Everydays: The First 5000 Days”, karya Beeple yang terjual seharga US$69,3 juta di balai lelang Christie’s, Maret 2021 lalu.

Double-Spending Problem, Sistem Blockchain, dan Kelahiran NFT

Dunia digital selama ini memiliki sebuah karakteristik yang menjadi keunggulan sekaligus kelemahannya yaitu masalah duplikasi. Bila saya mengirimkan email pada Anda, yang Anda terima sebenarnya adalah salinannya. Bila saya mengirimkan email pada sepuluh atau seratus orang sekaligus, no problem, mereka juga akan mendapatkan salinannya. Mana email yang asli mana yang salinan bukan masalah, yang penting adalah isi emailnya. Ini adalah keunggulan dunia digital. Namun bila saya mengirimkan uang sejumlah 100 pada Anda: Anda menerima 100 sementara uang di dompet saya tidak berkurang karena yang Anda terima adalah salinannya. Ini disebut double-spending problem dan di sinilah terletak kelemahan dunia digital.

Dalam sebuah makalah yang diterbitkan pada tahun 2008 di sebuah milis kriptografi, model mata uang digital Bitcoin digagas untuk pertama kalinya. Konsepnya: pencatatan transaksi dilakukan oleh banyak server secara tersebar alih-alih terpusat. Desentralisasi ini adalah sebuah konsep jaringan peer-to-peer, dengan begitu bila saya mengirimkan uang sejumlah 100 pada Anda, server-server yang aktif akan mencatat transaksi tersebut sehingga seluruh sistem mengetahui bahwa uang sejumlah 100 telah sampai di dompet digital Anda, dan dompet saya kini berisi 0. Sistem ini diyakini aman karena bila ada yang ingin meretas datanya, ia harus meretas semua server aktif di seluruh dunia pada saat yang bersamaan. Itu nyaris mustahil dilakukan.

Prinsip inilah yang pada akhirnya melahirkan berbagai jenis mata uang digital seperti Bitcoin, Ethereum, Litecoin, dsb. Mata uang digital ini disebut cryptocurrency. Dalam perkembangan lebih lanjut mata uang digital ternyata mampu mengungguli sistem perbankan dunia yang sentralistis, lambat, mahal, terbatas secara politik dan dipenuhi berbagai kepentingan ekonomi. Prinsipnya, mata uang digital mampu memberikan kekuasaan lebih pada penggunanya karena data dibuat, didistribusi, dan disimpan secara tersebar alih-alih terpusat, dalam sebuah sistem pencatatan data yang disebut blockchain[5].

Dalam perkembangannya, mata uang digital yang naik terus nilainya—seperti Bitcoin, misalnya—akhirnya diperdagangkan, dijadikan instrumen investasi sekaligus spekulasi. Sementara di akar rumput para pekerja migran di berbagai penjuru dunia menggunakan mata uang digital untuk mengirim uang pada keluarga di kampung halaman karena pengirimannya yang cepat dan ongkosnya yang murah[6]. Sistem blockchain dan mata uang digital telah merevolusi dunia finansial. Walaupun demikian, revolusi ini terjadi bukan tanpa kontroversi. Kerahasiaan identitas pemilik dompet digital, salah satu karakter mata uang digital, membuatnya rentan disalahgunakan untuk praktik pencucian uang, pendanaan terorisme, dan beragam jenis transaksi ilegal lainnya. Sistem perbankan dunia yang sudah mapan ternyata masih belum mampu meregulasi mata uang digital. Dari sistem canggih inilah pada akhirnya NFT lahir.

NFT adalah singkatan dari non-fungible token. ‘Non-fungible’ artinya ‘non-interchangeable’, tidak bisa dipertukarkan. Konsep NFT lahir di tahun 2012 dan berkembang dengan lambat hingga akhirnya mulai menemukan momentumnya di akhir 2020. NFT sejatinya adalah serangkaian unit data yang disematkan ke dalam sistem blockchain yang menyatakan bahwa sebuah entitas digital tertentu adalah unik. Dengan begitu sebuah karya digital yang dulunya bisa diduplikasi—misalnya dokumen video dalam format MP4—kini bisa dinyatakan sebagai sebuah karya yang unik, tidak ada duanya di dunia ini. Ini membuatnya serupa dengan sebuah lukisan atau karya seni patung yang dicipta di studio seniman. 

Unik berarti langka, dan semua barang langka bisa dijual mahal bukan hanya di primary market, tetapi juga di secondary market. Bila karya Anda dijual di galeri dengan harga normal, itu adalah primary market. Namun bila ada banyak orang menginginkan karya Anda, mereka akan berebut membeli dan rela membayar lebih tinggi di balai lelang. Itu disebut secondary market. Ini persoalan supply dan demand, dan tidak ada yang bisa memancing demand menjadi tinggi selain supply yang terbatas, tepatnya: kelangkaan. Prinsip inilah yang memicu boom karya NFT yang terjadi beberapa bulan terakhir ini. Namun berbeda dengan perkembangan NFT yang relatif baru, boom ini sudah ratusan tahun usianya dalam sejarah ekonomi dunia.

Spekulasi

Ilustrasi bunga tulip Semper Augustus.

Boom tertua yang pernah tercatat dalam sejarah adalah Tulip Mania, terjadi di Belanda pada paruh pertama abad ke-17. Pada saat itu 5 hektar tanah pernah ditawarkan untuk membeli sekuntum Semper Augustus, bunga tulip langka yang paling mahal harganya. Pada saat Tulip Mania terjadi ekonomi Belanda sedang kuat-kuatnya, didukung oleh angkatan laut terkuat di dunia, salah satunya berkat jalur perdagangan baru di Hindia Belanda. Semasa tahun 1600-1720, pendapatan per kapita Belanda adalah yang tertinggi di dunia, sistem ekonominya juga merupakan yang termaju dan tercanggih dibandingkan negara manapun juga. Masa ini disebut ‘Dutch Golden Age’, sebuah masa keemasan ekonomi, politik, militer, sosial, dan budaya kerajaan Belanda. Dalam masa seperti inilah bunga tulip—juga varietas tanaman lain seperti kentang, cabai, tomat, dan beragam jenis sayuran lainnya—masuk ke Belanda.

Tulip adalah bunga yang indah, kelopaknya yang besar dan berwarna cemerlang disukai banyak orang. Selain itu ternyata bunga tulip mampu bertahan terhadap cuaca dingin negeri Belanda. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Belanda, kecantikan bunga tulip menjadikannya simbol status bagi kalangan berada di sana. Cermin gosok ukuran besar, permadani dari Turki, lukisan potret pesanan dari pelukis top macam Rembrandt van Rijn, dan rangkaian bunga tulip di atas meja adalah simbol-simbol status para nouveau riche pada saat itu. Di perkebunan, pengembangbiakan bunga tulip pun melahirkan tulip-tulip jenis baru. Bunga tulip dikelompokkan menjadi tulip jenis Couleren (berwarna tunggal merah, kuning, atau putih), Rosen (bergaris putih di atas kelopak berwarna merah atau merah jambu), Violetten (bergaris putih di atas kelopak warna ungu atau ungu muda), dan—yang terlangka dan termahal dari semuanya—Bizarden (bergaris kuning atau putih di atas kelopak berwarna merah, coklat, atau ungu).

Lucunya, bunga tulip terlangka dan termahal ini sebenarnya adalah bunga yang cacat karena terinfeksi virus tertentu. Virus ini merusak pembentukan warna yang seharusnya solid pada kelopak bunga sehingga warna pada kelopak bunga menjadi tidak sempurna. Namun ketidaksempurnaan itu justru membuat bunga tulip jenis Bizarden terlihat indah dan eksotis. Selain indah bunga seperti ini juga langka karena kemunculannya acak, tidak bisa diprediksi. Keindahan dan kelangkaan bunga tulip jenis ini membuat orang rela membayar mahal untuk memilikinya. Lukisan-lukisan still life terkenal yang dicipta pada masa itu hampir selalu memperlihatkan bunga tulip Bizarden. Permintaan yang tinggi terhadap bunga tulip jenis ini, terutama permintaan yang datang dari Perancis pada tahun 1634, pada akhirnya memicu spekulasi dan melahirkan Tulip Mania.

“Buket Bebungaan Dalam Vas”, karya Ambrosius Bosschaert, 1618, dengan bunga tulip Semper Augustus.

Spekulasi sejatinya adalah semacam perjudian, orang bisa untung atau buntung. Dalam kondisi boom atau mania, ada kepercayaan—atau harapan—dalam benak banyak orang bahwa produk yang dibeli dengan harga tertentu hari ini bisa dijual dengan harga lebih tinggi esok hari di secondary market, padahal tidak ada yang bisa menjamin hal itu pasti terjadi. Orang rela mengambil risiko karena selama masih ada orang yang mau membeli esok hari, laba dipastikan bisa diraih. Dalam Tulip Mania, karena yang diperdagangkan adalah bunga tulip yang butuh waktu dan perawatan yang intensif sampai mekar dengan sempurna, yang diperjualbelikan bukanlah bunga tulipnya, tapi kontrak penjualannya di masa datang saat bunganya mekar. Dalam istilah ekonomi Indonesia ini disebut ‘pasar berjangka’, dan pada puncaknya, kontrak berjangka ini bisa berpindah tangan sampai puluhan kali dalam sehari dengan harga yang meroket tinggi. Semua orang mengambil untung kecuali mereka yang membeli di harga tertinggi. Pada suatu titik, kepercayaan atau harapan yang ada di benak semua orang bahwa harga akan terus naik, tiba-tiba runtuh, dan tak ada seorang pun yang mau membeli di harga yang sudah terlalu tinggi. Speculative bubble pun pecah pada titik ini dan pasar dengan segera dilanda kelesuan. Dalam kasus Tulip Mania, bubble pecah di awal Mei 1637. Wabah sampar yang membunuh jutaan orang di Eropa pada saat itu diperkirakan memicu sekaligus mengakhiri Tulip Mania.

Apa yang tengah terjadi di pasar NFT tahun ini sejatinya sama dengan yang terjadi pada masa Tulip Mania di abad ke-17, begitu juga dengan berbagai boom lain termasuk boom yang telah berkali-kali terjadi di dunia seni rupa. Komoditas yang diperdagangkan selalu berubah, tapi motif dan modus operandi para pelaku pasar selalu sama. Boom adalah pesta spekulasi. “Crypto art sudah bisa dipastikan adalah speculative bubble,” Beeple berkata dalam sebuah wawancara di siniar Sway akhir Maret lalu. Menurutnya apa yang terjadi di pasar NFT saat ini adalah spekulasi gila-gilaan dan sangat berisiko bagi investor karena suatu saat nilainya akan jatuh ke titik nadir. “Namun bagi seniman, bukan masalah,” tukas Tom Malik, pengusaha dan kolektor seni rupa dari Jakarta. Tom dan Detty Wulandari, istrinya, sudah mulai mengoleksi karya-karya NFT. Mereka mendukung para seniman yang berniat untuk mencoba peruntungan di pasar NFT. Ini adalah wilayah baru yang layak untuk dicoba para perupa karena potensinya yang besar. Dalam waktu singkat, NFT telah mengubah begitu banyak hal karena inovasi-inovasinya. Boom NFT kelak akan berakhir, tapi teknologinya akan tetap tinggal dan mengubah kultur dunia seni rupa.

Inovasi

Karya seni, terutama lukisan di atas kanvas dan kertas, akan rusak bila tidak dirawat. Konservasi dan restorasi karya seni adalah bisnis besar dan pranatanya sudah terbentuk dari hulu ke hilir. Dalam sejarah kita mengetahui bahwa ada saat-saat tertentu di mana karya seni hilang karena bencana, misalnya saat bencana banjir melanda Florence, Italia, pada akhir tahun 1966. Ada sekitar 1400 karya yang rusak dan tidak bisa diperbaiki lagi. Crypto art tidak demikian. Karya seni digital yang diubah menjadi NFT akan tercatat dalam sistem blockchain dan selama sistem blockchain masih aktif di dunia ini, karya tersebut akan lestari. Sebuah karya crypto art hanya bisa dihilangkan bila sengaja dihapus oleh pemiliknya. Ini adalah sebuah revolusi karena karya digital yang niskala bisa dikatakan kekal, tidak seperti karya seni konvensional yang senantiasa terancam bahaya konservasi.

Saat seorang seniman mengubah karya digitalnya menjadi NFT (prosesnya disebut ‘minting’), ia akan menuliskan smart contract. Smart contract adalah serangkaian instruksi yang akan dieksekusi secara otomatis bila prasyaratnya terpenuhi. Dalam smart contract, misalnya, seniman bisa meminta 10% komisi bila karya yang telah dibeli kolektor dijual kembali. Dengan begitu, setiap kali karya tersebut berpindah tangan, ia akan mendapatkan 10% dari nilai transaksi. Komisi itu akan masuk secara otomatis ke dompet digital sang Seniman, bahkan tanpa ia sadari. Ini tidak pernah terjadi dalam dunia nyata. Bila sang Seniman memiliki visi dan komitmen tertentu, komisi ini juga bisa disumbangkan ke dompet digital lembaga yang dipilih, misalnya pada World Food Programme untuk mendukung program mereka di negara-negara berkembang. Tidak mengherankan bila Edward Snowden menyumbangkan seluruh dana yang ia dapatkan dari hasil lelang karya NFT-nya untuk Freedom of The Press Foundation[7].

Di awal Maret 2021, Injective Protocol, sebuah perusahaan blockchain, membeli karya cetak saring Banksy yang dibuat tahun 2006. Mereka mengeluarkan uang sebanyak US$95.000 (hampir Rp.1,4 miliar) untuk membeli karya berjudul “Moron (White)” tersebut. Selanjutnya, dalam aksi yang dimaksudkan sebagai sebuah ekspresi seni, mereka membakar karya tersebut di sebuah taman di kota New York. Momen itu digubah menjadi NFT dan berhasil mereka jual seharga US$380.000 (sekitar Rp.5,5 miliar), menghasilkan keuntungan hampir 400%. Aksi kontroversial tersebut mengundang beragam reaksi publik, tapi Mirza Uddin, juru bicara Injective Protocol, menjelaskan bahwa karya Banksy sengaja dipilih karena itu adalah “bahasa” Banksy sendiri[8].

Di bulan Oktober 2018, “Gadis dengan Balon”, sebuah karya cetak saring yang dibuat Banksy tahun 2006 merusak dirinya sendiri setelah dinyatakan terjual dalam lelang Sotheby’s seharga US$1,4 juta (sekitar Rp.20,3 miliar)[9]. Banksy mengunggah rekaman video perusakan itu di akun Instagramnya sembari mengutip Picasso di takarir, “Dorongan untuk merusak juga dorongan kreatif”. Pemenang lelang memutuskan untuk tetap memiliki karya tersebut, dan Sotheby’s menyatakan bahwa itu adalah satu-satunya karya yang diciptakan live saat lelang berlangsung. Karena nilai sejarahnya, karya tersebut kini dipastikan berharga jauh lebih tinggi. Dalam sebuah aksi apropriasi, karya asli Banksy yang lain lenyap dibakar, namun momen itu tetap eksis dalam bentuk digital dan kini bernilai lebih tinggi. Inovasi NFT memungkin ironi macam ini terjadi.

Momen bukan hanya bisa dikenang, tapi juga dijual. Di akhir Februari tahun ini, perputaran uang dari perdagangan NBA highlights telah mencapai US$230 juta (sekitar Rp.3,3 triliun)[10]. Kita dulu mengenal kartu baseball dan basketball sebagai barang koleksi para penggemar sejak awal abad ke-20. Para penggemar membeli dan memajang kartu bergambar idola di kamarnya. Kartu-kartu itu bisa dijual atau dipertukarkan, dan kartu-kartu jenis tertentu yang kondisinya sempurna kini bisa dijual dengan harga tinggi. Kartu-kartu semacam itu tidak hilang, mereka masih diperdagangkan hingga saat ini. Namun mereka juga telah berevolusi menjadi produk digital dan kini dijual sebagai NFT.

Kini era baru fandom sudah dimulai. Bukan hanya kartu bergambar idola olahraga saja yang dijual, tapi momen-momen penting yang mereka alami. NBA Top Shot adalah situs resmi berlisensi yang menjual momen-momen penting NBA. Total sudah ada lebih dari 7,6 juta momen yang diperdagangkan. Dari kacamata seni, ini adalah media yang sama sekali baru untuk dijelajahi. Bayangkan performance art Marina Abramovich, “The Artist Is Present” (MoMa, 2010), dipecah-pecah menjadi video-video pendek lalu dijual sebagai NFT. Potongan performance Marina dan Ulay yang emosional bisa jadi akan terjual dengan harga paling tinggi. Alih-alih menjual obyek monolitik seperti seni lukis atau seni patung, NFT memungkinkan satu fragmen kejadian dibekukan lalu dijual.

Bagi Detty, ini sebuah lompatan. “Seniman fotografi atau video yang selama ini sulit menjual karya, kini berkesempatan untuk mengkomersialisasi karya-karyanya,” tuturnya. Lain dari itu, inovasi ini juga memberi kesempatan pada seniman untuk maju satu langkah mendekati pasar tanpa perantara. Tanpa tedeng aling-aling Tom mengingatkan, “Galeri siap-siap saja mati.”

Pasar memang selalu berubah. Sejak berdiri pada tahun 2006, Saatchiart (d/h Saatchi Online), sebuah galeri yang murni daring dan tidak ada hubungannya dengan Saatchi Gallery di Inggris, telah mulai mengubah cara orang mengapresiasi dan membeli karya seni. Sebelum ada galeri daring, kelas menengah tidak terlalu terbiasa membeli karya di galeri. Galeri terasa elitis dan tidak terbuka untuk semua orang. Bila Anda masih menanyakan berapa harga sebuah karya yang dipajang di galeri, berarti Anda bukan kolektor sejati. Dengan beroperasinya Saatchiart di web, semua orang bisa masuk dan menelusuri galeri untuk mencari karya yang ia sukai. Harga dengan jelas terpampang di sana, orang bahkan bisa mencari karya dalam rentang harga tertentu, sesuai anggaran yang dimiliki. Bagi seniman, galeri daring seperti ini juga jauh lebih terbuka menerima karya mereka.

Bukan rahasia lagi, memasuki lingkaran galeri sebagai seniman pendatang baru bisa sulit bukan main, apalagi bila kita bukan berasal dari jalur tertentu. Galeri daring seperti Saatchiart atau Big Cartel jauh lebih inklusif. Selain mengubah cara kolektor berbelanja, galeri daring seperti ini juga melahirkan jenis kolektor baru: kolektor kelas menengah, yakni mereka yang membeli karya dengan harga murah meriah. Ini adalah potongan kue besar di pasar dan penjualan karya seni secara daring menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan. Statista, sebuah perusahaan pengolahan data statistik, mencatat: total penjualan karya seni global secara daring pada tahun 2019 mencapai US$4,82 miliar (hampir Rp.69 triliun). Pada tahun 2024, angka tersebut diproyeksikan akan mencapai US$9,3 miliar (sekitar Rp.133 triliun)[11].

Galeri konvensional mengambil komisi 30%, 40%, bahkan 50%. Saatchiart mengambil komisi 35% dari hasil penjualan, tapi kini marketplace tempat para seniman menjual karya NFT hanya mengambil 2,5% dari transaksi. Walaupun seniman masih harus membayar gas fee yang tidak murah pada saat minting, marketplace hanya mengambil komisi sedikit sekali dibandingkan galeri. Galeri memang belum tentu akan langsung mati dengan kehadiran NFT, tapi bila para seniman mau belajar dan berusaha, mereka memang bisa langsung bertemu kolektor di pasar NFT tanpa perlu perantaraan galeri atau art dealer. Otonomi ini adalah kabar baik bagi seniman karena pilihannya bertambah.

Peran Galeri

Walaupun demikian tidak semua orang melek teknologi. Bagi kalangan tertentu, mempelajari NFT, sistem blockchain dan dunia kripto secara umum adalah hal yang memusingkan. Untuk itu Rachel Gallery sudah mengejar bola bahkan sejak isu NFT masih sangat baru dan belum diketahui orang banyak. Rachel Gallery membentuk Rach.galx, sebuah divisi khusus yang bergerak di bidang crypto art. Pamuji Slamet (Pam), representatif Rachel Gallery, Jakarta, sejak akhir 2020 sudah mengadakan serangkaian temu wicara di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta untuk mewartakan perihal crypto art ke berbagai komunitas seni rupa dan desain. Ia menjabarkan potensi pasar NFT dan mengajak para seniman yang tertarik untuk terjun ke marketplace.

Rach.galx akan membantu seniman di semua aspek. Dari mulai: edukasi; pengolahan karya digital; minting; listing dan penjualan; termasuk promosi di jaringan galeri dan berbagai komunitas NFT. Hasilnya, sudah ada sekitar 20 orang perupa, baik dari komunitas seni rupa kontemporer maupun di luar itu, yang bergabung dan mengerjakan proyek ini bersama-sama. Semua seniman diperlakukan secara individual karena kasusnya berbeda-beda. Ada seniman yang masih perlu banyak dibantu untuk membuat karya, terutama ketika prosesnya membutuhkan lebih banyak sentuhan digital, ada juga seniman yang lebih familiar dengan seni digital sehingga lebih siap saat mencipta. Peran dan porsi kerja manajemen yang berbeda-beda inilah yang pada akhirnya menentukan berapa profit sharing yang disepakati. Untuk seniman yang perlu banyak dibantu di sana-sini profit sharing bisa mencapai 50%, yang pasti semua melalui proses negosiasi antara pihak galeri dan seniman.

“Kami juga mengajak para kolektor,” papar Pam, “sayang bila mereka tidak tahu. Gabung atau tidak bukan masalah, yang penting mereka tahu potensi dari pasar NFT ini dulu.” Kolektor di sini adalah klien-klien yang selama ini mengoleksi dan memesan karya seni dari Rachel Gallery. Banyak dari mereka yang kurang familiar dengan dunia kripto, sistem blockchain dan NFT. “Karena itu salah satu program utama kami adalah edukasi,” lanjut Pam. Dengan mengedukasi baik seniman maupun kolektor, Rach.galx sebenarnya tetap menjalankan fungsi manajemen seni dan fungsi komersial galeri seperti sebelumnya, hanya saja kini komoditasnya adalah crypto art. Peringatan yang dilontarkan Tom Malik bukan pepesan kosong, marketplace memang berpotensi menyingkirkan peran galeri. Walau demikian, cara Rach.galx menjemput bola dan menjadi perantara antara seniman dan kolektor membuat posisi tawarnya tetap kuat di ranah baru ini. Sampai saat tulisan ini diterbitkan belum ada satu pun galeri komersial di Indonesia yang melakukan apa yang dilakukan Rach.galx, dan beberapa seniman yang bergabung dengan mereka sudah mulai memetik hasil penjualan NFT di marketplace.

Perupa dan NFT

Rukmunal Hakim adalah salah satu perupa yang sudah terjun ke pasar NFT secara mandiri. Saat tulisan ini dibuat, pameran tunggal daring bertajuk “Yang Rebah Bangun Karena Terinjak” sedang berlangsung di situs pribadinya[12]. Presentasi tunggal ini menyuguhkan sepuluh lukisan digital yang lahir dari pengalaman hidupnya yang berliku sebagai seorang seniman. Karya-karya yang ia tampilkan begitu ekspresif dan penuh drama, menunjukkan pergulatan batin yang keras alih-alih pembawaan dirinya yang lembut dan simpatik. Hakim membuat sketsa dengan pensil grafit, seperti kebiasaannya sejak bertahun-tahun yang lalu, lalu menggubah sketsa tersebut menjadi gambar digital dalam format JPG dengan resolusi tinggi dan full color. Praktik ini tidak asing bagi Hakim, itu adalah metoda kerjanya sebagai seorang ilustrator. Tema kekaryaan yang personal ini ia gubah menjadi NFT dan ia jual di Opensea, sebuah non-curated marketplace yang terbuka bagi siapa saja yang ingin masuk ke pasar NFT.

“Hari Lahir”, format JPG, 3543×4724 pixel. Terjual di Opensea.

Bila seorang seniman ingin masuk ke pasar NFT, prosedurnya sebenarnya cukup sederhana. Pertama ia harus memilih marketplace yang cocok. Kedua, ia harus membuat dompet digital (wallet). Ketiga, saat mengubah karyanya menjadi NFT dan menaruhnya dalam katalog di marketplace, ia harus membayar gas fee. Bila terjadi transaksi, dana akan masuk ke wallet yang sudah dibuat tadi. Prinsipnya seperti itu. Ada dua jenis marketplace yang bisa dimasuki seniman: yang terkurasi dan yang tidak terkurasi. Marketplace yang terkurasi menetapkan seleksi terhadap mutu karya yang masuk. Hal itu mereka lakukan supaya karya yang masuk rata-rata baik. Ini berbeda dengan marketplace yang tidak terkurasi. Marketplace semacam ini, termasuk Opensea yang dimasuki Hakim, sangat iklusif. Siapa saja boleh masuk dan menjual karya NFT-nya. Namun karena tidak terkurasi mutu karya yang bagus tidak banyak, karya yang masuk kebanyakan hanya semenjana. Walau begitu, marketplace yang tidak terkurasi seperti Opensea atau Rarible lebih ramah bagi pemula, sementara marketplace yang terkurasi seperti Superrare dan Nifty Gateway bisa sangat kompetitif. Seniman bisa menunggu berminggu-minggu sampai lamarannya diterima. Yang tidak diterima juga banyak karena tingkat kompetisinya yang tinggi, termasuk karena selera subyektif kuratornya.

Terjun ke pasar NFT membuat Hakim jadi nobody dan harus mulai dari nol lagi, padahal ia sudah berkiprah sebagai perupa selama 11 tahun. Namun hal itu tidak membuatnya kecil hati, sebaliknya, ia malah merasa bisa keluar dari zona aman dan zona nyamannya selama ini untuk melihat kekaryaannya dari sudut yang sama sekali berbeda. Untuk itu, Hakim merasa harus mampu melihat gambaran besar yang melingkupi NFT, marketplace, cryptocurrency, dan sistem blockchain itu sendiri. Ia berkeyakinan, pada gilirannya pemahaman tentang lanskap, karakter, dan kultur dunia digital inilah yang akan meneteskan gagasan di kepala seniman. Ini sama sekali berbeda dengan dunia seni rupa tradisional yang selama ini dikenalnya.

“Seniman sebaiknya tidak terjun ke pasar NFT semata-mata karena mengejar uangnya, karena FOMO,” papar Hakim. Inovasi yang terjadi karena NFT memungkinkan seniman mengembangkan kekaryaan ke arah yang tidak pernah diduga sebelumnya. Potensi inilah yang menarik perhatian Hakim. Seperti lazimnya generasi milenial, Hakim sudah hidup dalam kultur digital, terutama karena kesukaannya bermain video game dan ketergantungan hidupnya pada internet. Ia terbiasa membeli item untuk menambah kesenangan bermain video game, ia juga terbiasa menikmati musik dari Spotify atau film dari Netflix. Ia ingin karya-karyanya juga bisa dinikmati dengan cara seperti itu, dan ia merasa NFT memungkinkan hal itu terjadi. Hakim memiliki persepsi yang positif dan optimisme terhadap masa depan NFT. Walaupun demikian ia mengakui bahwa tidak semua orang sepaham dengan jalan pikirannya.

Isu Lingkungan

Kita telah memasuki fase Anthropocene, yakni sebuah fase geologis di mana nasib ekologis planet Bumi sangat dipengaruhi oleh aktivitas umat manusia. Bila tidak karena pandemi Covid-19, demonstrasi lingkungan rutin setiap hari Jumat yang dipimpin oleh aktivis lingkungan muda belia Greta Thunberg pasti akan masih berlangsung dalam skala yang makin besar. Dari banyak jenis aktivitas umat manusia yang selama ini sudah merugikan lingkungan, beroperasinya sistem blockchain, aktivitas mining, perdagangan cryptocurrency, termasuk NFT adalah beban tambahan yang mempercepat pemanasan planet Bumi. Dalam hal ini, yang diserang oleh para aktivis lingkungan tentu saja adalah marketplace, namun selain itu, para seniman yang terjun ke pasar NFT juga turut mendapat serangan. Alasannya satu: sistem blockchain dan semua derivatnya menggunakan energi yang luar biasa besar.

Memo Akten, seorang seniman Turki berkebangsaan Inggris, menghitung: sebuah NFT edisi tunggal memiliki emisi karbon yang setara dengan mobil berbahan bakar bensin yang berjalan sejauh 1000 kilometer. Dalam waktu enam bulan, sebuah NFT dengan banyak edisi sudah mengisap listrik sebesar 260 MWh dan memuntahkan CO2 sebanyak 160 ton. Itu baru NFT, belum sistem blockchain; belum proses mining dan trading dari cryptocurrency[13]. Bila semua aktivitas itu digabungkan dan dihitung emisi gas buangnya, ini adalah beban yang amat berat untuk ditanggung planet Bumi.

Mengapa aktivitas ini begitu menguras energi? Mata uang digital seperti Bitcoin dan Ethereum menggunakan algoritma tertentu untuk menentukan nilainya. Algoritma ini disebut ‘proof of work’ (PoW). PoW adalah sebuah cara untuk mengkonfirmasi bahwa kerja komputasi benar-benar telah dilakukan oleh suatu sistem tertentu. Bila suatu sistem tidak bisa menunjukkan PoW layanan yang ia minta tidak akan dipenuhi, dengan begitu serangan spam/denial-of-service bisa dihindari. Secara sederhana, PoW adalah semacam puzzle yang harus dipecahkan oleh sebuah sistem sebelum layanan yang ia minta dipenuhi. Memecahkan puzzle membutuhkan kekuatan komputasi, dan itu membutuhkan energi.

Di tahun 2009, mata uang digital Bitcoin memanfaatkan algoritma PoW dalam proses mining. Awalnya PoW tidak membutuhkan banyak usaha dan energi, tapi seiring dengan berkembangnya Bitcoin, server yang jumlahnya semakin banyak saling berkompetisi untuk memecahkan perhitungan blockchain demi imbalan mata uang digital yang mereka buru. Makin banyak komputer yang digunakan untuk menambang Bitcoin, makin besar daya komputasinya, dan makin besar pula kemungkinan mereka memenangkan kompetisi ini. Lain dari itu, untuk mengoperasikan puluhan, bahkan ratusan komputer yang bekerja keras tanpa henti secara bersamaan, ruangan harus dibuat sangat dingin untuk memperpanjang umur perangkat kerasnya. Implikasinya, tenaga listrik yang digunakan menjadi besar sekali. Listrik yang disediakan banyak pemerintah di dunia sebagian besar masih menggunakan batu bara sebagai bahan bakar, dan batu bara menghasilkan polusi.

Maka dalam sebuah reaksi berantai yang panjang, satu kali klik transaksi Ethereum akan mengeluarkan emisi gas buang yang setara dengan 20 kilogram CO2, lebih berat daripada segalon air mineral. Sebuah NFT bisa mengakibatkan transaksi berkali-kali. Riset Memo Akten lebih lanjut menunjukkan: beragam transaksi untuk satu buah dokumen NFT akan mengeluarkan emisi gas buang sesuai daftar di bawah ini.

Minting: 142 kWh, setara dengan 83 kg CO2
Bid: 41 kWh, setara dengan 24 kg CO2
Cancel bid: 12 kWh, setara dengan 7 kg CO2
Sale: 87 kWh, setara dengan 51 kg CO2
Transfer kepemilikan: 52 kWh, setara dengan 30 kg CO2

Dengan begitu, satu buah dokumen NFT rata-rata bisa mengisap listrik sebesar 340 kWh dan memuntahkan emisi gas buang sebanyak 211 kilogram CO2[14]. Dengan begitu dampak lingkungan yang ditimbulkan NFT dan sistem blockchain memang tidak main-main. Dunia kripto menyadari hal ini dan mereka mati-matian berusaha untuk memodifikasi sistemnya supaya lebih ramah lingkungan. Algoritma PoW yang dianggap terlalu boros energi kini mulai digantikan oleh Proof of Stake yang lebih ramah lingkungan. Ethereum 2.0 dirancang dan diwujudkan secara bertahap dengan perombakan di sana-sini untuk tujuan yang sama. Orang bahkan mulai membuat dan menggunakan sistem blockchain yang dipercaya lebih ramah lingkungan, misalnya Tezos.

Perdebatan tentang dampak lingkungan NFT dan sistem blockchain masih hangat. Mereka yang menentang menganggap tidak/belum ada cara yang efektif untuk menurunkan emisi gas buang sementara pertumbuhan pasar NFT naik secara signifikan. Di sisi lain, mereka yang pro-NFT berargumentasi bahwa sistem pasti akan menemukan cara yang lebih ramah lingkungan tidak lama lagi karena dunia IT adalah dunia yang bergerak dengan kecepatan tinggi. Bila seorang seniman ingin terjun ke pasar NFT dengan cara yang lebih ramah lingkungan, itu seharusnya bisa dilakukan dengan memilih marketplace dan sistem blockchain yang menggunakan lebih sedikit energi, walaupun sistem blockchain tersebut belum sebesar sistem lain yang lebih mapan tapi kurang ramah lingkungan. Semua aktivitas manusia di muka bumi, bila dilihat dari sisi lingkungan, sebenarnya selalu saja merusak. Menonton video di YouTube atau Netflix pun memiliki dampak lingkungan yang serupa dengan memperdagangkan NFT. Yang bisa kita lakukan adalah meminimalisasi kerusakan itu.

Epilog

Perkembangan terkini di dunia seni digital pada akhirnya memberikan dorongan perubahan pada dunia seni rupa kontemporer. Dalam dunia crypto art, kini seniman sudah bukan lagi pencipta satu-satunya. Desainer, ilustrator, 3D artist, concept artist, animator, coder, bahkan arsitek atau insinyur pun kini bisa mencipta seni digital dan menjualnya di pasar NFT dengan posisi yang setara. Dengan begitu definisi seni rupa sudah bukan lagi ditentukan oleh seniman, kurator, kritikus maupun sejarawan seni rupa. Di satu sisi, bagi kalangan tertentu, ini bisa dianggap kontaminasi. Di sisi lain, percampuran seperti ini berpotensi membuat dunia seni rupa tetap hidup dan berkembang.

Filosofi dari NFT dan sistem blockchain adalah desentralisasi. Ada beberapa titik penting dalam sejarah modernisasi dunia: mesin cetak Gutenberg di abad ke-15, world wide web di abad ke-20, dan sistem blockchain di abad ke-21. Ketiganya melakukan desentralisasi informasi dan sebagai implikasinya semua berubah dan wajah dunia tidak pernah sama lagi. Apakah hal itu membawa perubahan baik atau buruk, itu tergantung dari sudut mana kita melihat. NFT dan sistem blockchain masih akan terus berubah, dunia seni juga dipaksa berubah untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. Tulisan ini diharapkan mampu memberikan gambaran umum tentang perubahan di tahap awal ini.

Saya mengucapkan terima kasih pada mereka yang telah membantu terciptanya tulisan ini: Muhammad Akbar, Tom Malik, Detty Wulandari, Pamuji Slamet, Rukmunal Hakim, dan Yusrila Kerlooza. Kritik dan saran tentang artikel ini mohon dialamatkan ke alamat email saya: rehartanto@gmail.com. Terima kasih. 😊🙏

Pranala:

[1] “X by Pak” https://niftygateway.com/collections/pak

[2] “The Fungible Collection by Pak” https://www.sothebys.com/en/digital-catalogues/the-fungible-collection-by-pak

[3] “JPG File Sells for $69 Million, as ‘NFT Mania’ Gathers Pace” https://www.nytimes.com/2021/03/11/arts/design/nft-auction-christies-beeple.html

[4] [7] “Edward Snowden NFT Sells For More Than $5.4 Million” https://www.theverge.com/2021/4/16/22388548/edward-snowden-nft-freedom-of-the-press-stay-free4

[5] “How Does a Blockchain Prevent Double-Spending of Bitcoins?” https://bit.ly/3gD3Cad

[6] “Bitcoin is Wooing the Millions of Workers Who Send Their Earnings Abroad” https://qz.com/africa/1983610/bitcoin-draws-millions-of-workers-sending-their-money-abroad/

[8] “Blockchain Company Buys and Burns Banksy Artwork To Turn It Into a Digital Original” https://www.cbsnews.com/news/banksy-nft-injective-destroy-art-digital-token/

[9] “Watch This $1.4 Million Banksy Painting Shred Itself As Soon As It’s Sold” https://www.smithsonianmag.com/smart-news/watch-14-million-bansky-painting-shred-itself-soon-it-sold-180970486/

[10] “People Have Spent More Than $230 Million Buying and Trading Digital Collectibles of NBA Highlights” https://www.cnbc.com/2021/02/28/230-million-dollars-spent-on-nba-top-shot.html

[11] “Estimated Value of The Online Art Market Worldwide from 2013 to 2024” https://www.statista.com/statistics/284586/global-online-art-market-sales-2013/

[12] “Yang Rebah Bangun Karena Terinjak”, An Online Solo Exhibition by Rukmunal Hakim. https://www.rukmunalhakim.com/

[13] [14] “The Unreasonable Ecological Cost of #Cryptoart” (Part 1)” https://memoakten.medium.com/the-unreasonable-ecological-cost-of-cryptoart-2221d3eb2053

2 thoughts on “NFT: Antara Spekulasi dan Inovasi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s