Pindah ke Ungaran

kampung_seni_lerepTeman-teman tercinta, sebagian dari Anda sudah saya beritahu langsung mengenai kepindahan saya. Sebagian lain yang tidak sempat saya jumpai biar saya sapa dalam unggahan ini. Saya, Fini & Caka, anak-istri saya, akan pindah ke Ungaran pada bulan Juni ini. Di bulan Juli, paling lambat di awal bulan Ramadhan, Insya Allah kami sudah ‘mapan’ di tempat baru kami.

Saya sengaja tidak memberi tahu rencana kepindahan kami sampai saat-saat terakhir, karena beberapa tahun yang lalu saya bilang pada semua orang bahwa saya akan pindah ke Yogya dan ternyata tidak jadi. Jadinya malu, deh. Karena itu, sesudah mengatur ini-itu dan sudah mendapat kepastian tempat tinggal dan studio, maka saya pun mulai mengabari teman-teman. Keputusan pindah ini sebenarnya sudah ada sejak empat bulan lalu.

Semua yang saya kabari bertanya, mengapa saya harus pindah? Pertimbangan saya terutama adalah urusan pekerjaan, urusan berkarya. Di Bandung kami menempati rumah kontrakan yang cukup besar untuk ukuran keluarga satu anak. Lokasinya sangat strategis, ke mana-mana cukup dekat karena ada dekat pusat kota. Dulu kami memilih rumah ini dengan pertimbangan lokasi dan ukurannya. Kalau cukup besar tentu bisa dipakai tempat tinggal, studio untuk berkarya sekaligus gudang karya. Pertama semua berjalan lancar tapi sesudah Caka lahir, apalagi sesudah Caka bisa jalan dan mulai lari-lari di rumah, saya baru menyadari bahwa tempat tinggal dan tempat kerja sebaiknya dipisah. Semenjak itulah irama kerja saya terganggu. Saat Caka sudah mendekati dua tahun, saya praktis tidak bisa lagi bekerja di rumah saat ia jaga. Sayangnya di malam hari pun kadang-kadang saya sudah terlalu lelah untuk bekerja.

Namun selain itu, rupanya tempat tinggal yang nyaman ini selalu terpapar polusi suara. Kebetulan, saya termasuk orang yang peka terhadap polusi suara. Bukan hanya terganggu, emosi saya sering tersulut bila mendengar suara gaduh yang tidak semestinya. Kavling sebelah rumah kami dipakai gudang baja ringan sementara rumah di depannya jadi sebuah pabrik awningrolling door dan sebangsanya sehingga suara-suara bising gerinda, bongkar-muat barang dan suara-suara orang tak ada hentinya Senin sampai Sabtu, dari pagi sampai sore. Hanya terpaut beberapa rumah, di belakang rumah kami ada mesjid yang corongnya persis menghadap rumah. Bisa dibayangkan seperti apa jadinya. Rumah ini baru terasa agak sepi selewat Maghrib tapi mulai Jumat malam, sebuah klab malam dekat sini akan mulai memperdengarkan suara bass yang dalam sampai malam. Hanya hari Minggu rumah ini cukup sepi tapi kalau sedang sial, pagi-pagi saya sudah dibangunkan oleh suara para siswa SMK yang berlatih marching band. Luar biasa. Sungguh sebuah cacophony yang bisa bikin gila.

Saya mengeluhkan kondisi ini pada Pak Handoko, manajer pemasaran karya-karya saya dan Beliau menawarkan saya untuk bekerja di tempatnya, di Ungaran. Saya bisa pulang sekali sebulan atau sekali dalam dua minggu, usulnya. Saya senang sekali, saya tahu tempat di Ungaran itu sempurna untuk berkarya, tapi kalau harus jauh dari anak-istri saya tidak mau. Akhirnya sesudah berdiskusi cukup lama dengan Fini, kami memutuskan untuk pindah dan tinggal di Ungaran. Kebetulan Fini tidak bekerja di kantor dan berkomitmen untuk mengurus Caka di rumah sampai beberapa tahun ke depan. Dengan demikian kepindahan ini menjadi lebih mudah bagi kami, tinggal masalah penyesuaian diri di tempat baru.

Penyesuaian diri ini saya harap bergerak ke arah yang lebih baik. Studio yang akan saya tempati jauh berbeda dengan studio mini saya yang bersebelahan dengan dapur. Studio ini ada di sebidang tanah seluas satu hektar, sangat hijau dengan pepohonan, berkontur lereng bukit, lembah dengan mata air dan sungai kecil, lalu menanjak ke lereng bukit lagi. Tidak ada suara gerinda atau suara marching band di sini, hanya suara desir angin menerpa dedaunan, suara aliran sungai, suara serangga dan berbagai macam burung. Mesjid jauh sehingga suaranya sayup-sayup di kejauhan, suara adzan yang terdengar sayup-sayup seperti itu jauh lebih indah dan syahdu. Menurut saya, tempat seperti ini adalah studio idaman setiap seniman. Kami menyewa rumah mungil yang luasnya kurang dari seperempat luas rumah kami di Bandung, rumah ini hanya untuk rumah tinggal dan jaraknya hanya 10 menit naik sepeda motor dari studio. Masalah pemisahan antara tempat tinggal dan tempat kerja selesai seketika. Saya sungguh beruntung.

Tahun ini adalah tahun penting dalam hidup saya, dalam hidup keluarga kecil saya. Meninggalkan Bandung bukan hal sepele, saya dan Fini lahir dan besar di Bandung. Satu-satunya saat di mana saya tidak tinggal di Bandung adalah saat saya residency di Belanda selama dua tahun, lain dari itu saya selalu di Bandung. Tapi Bandung sekarang bukan Bandung yang dulu lagi. Walaupun Bandung bertambah canggih, fasilitasnya tambah banyak, masalahnya juga bertumpuk. Terus-terang, saya merasa Bandung sudah makin sumpek untuk dihuni dan saya sudah tidak tahan dengan lalu-lintasnya. Sejak beberapa tahun lalu, setiap kali saya terjebak  dalam kemacetan lalu-lintas kota Bandung, saya selalu menyumpah-nyumpah di dalam hati dan berkata bahwa suatu saat saya akan pindah dari kota ini. Ternyata itu menjadi kenyataan. Saya sudah merasa Bandung bukan ‘rumah’ saya lagi.

Kami juga berharap, Caka bisa tumbuh lebih baik di Ungaran. Saya dan Fini sudah sangat sering kerepotan karena Caka ternyata adalah seorang anak yang aktif sekali. Ini sudah terlihat sejak bayi dan sekarang semakin menjadi-jadi. Sampai sekarang Caka masih minum ASI tapi dulu Caka susah makan, Fini pusing karena sudah membuatkan makanan sehat berbagai jenis tapi hanya sedikit yang bisa masuk. Tapi sekarang selera makan Caka sedang bagus sekali, semua dilahap dan walhasil energinya tidak habis-habis. Kelihatan sekali Caka perlu tantangan fisik, energinya sudah tidak bisa lagi tertampung di rumah ini. Kami berdua yakin, Caka akan cocok tinggal dan tumbuh di desa, dekat dengan alam. Dan tentu saja ada sesuatu yang romantis tentang pengalaman masa kecil hidup di desa. Kami harap Caka akan menghargai itu ketika dia dewasa.

Tentu saja, akan pindah ke tempat baru membawa kegairahan sekaligus rasa waswas bagi saya dan Fini tapi makin lama kami makin optimis dan makin bergairah. Seperti mau berangkat liburan ke tempat mengasyikkan yang belum pernah dikunjungi. Beberapa bertanya, apakah saya akan seterusnya tinggal di Ungaran? Wah, saya tidak tahu. Pastinya untuk dua tahun, selebihnya, it’s a matter of wind. Saya tahu Ungaran kedengaran terisolasi tapi itulah yang saya butuhkan sekarang. Isolasi bagi saya kini berarti fokus, intensitas, kreativitas dan refleksi yang, saya harap, bisa mendalam dan bermakna. Lagipula di jaman sekarang ini, dunia hanya sejauh beberapa klik di internet. Dan kalau bicara masalah hiburan, ada setidaknya 20 titik di peta wisata Kabupaten Semarang, kebanyakan wisata alam. Bila membutuhkan suasana perkotaan, kota Semarang bisa dicapai dalam 30 menit lewat tol. Dan salah satu yang membuat saya bersemangat adalah, pergi ke Yogya bisa jadi piknik yang menyenangkan karena tidak terlalu jauh.

Demikianlah. Untuk waktu yang tidak lama lagi, unggahan dalam blog ini akan dibuat dari tempat yang berbeda. Jadi sekarang, saya sedang sibuk mengepak semua barang. Kata orang, urusan yang paling merepotkan adalah urusan pindah rumah dan perceraian. Itu ada benarnya. Namun bagaimanapun kami bersemangat untuk segera pindah, yang pasti kami akan merindukan keluarga dan sahabat kami di Bandung.

One thought on “Pindah ke Ungaran

  1. Pingback: Tolong! Anak Saya Ingin Jadi Seniman! (bagian pertama dari dua bagian) | Cakrawala Hartanto

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s