Baca artikel terbaru tentang mood dalam berkarya di sini: Memelihara Mood
Saya kadang-kadang merasakan hal yang dialami banyak teman yaitu: kalau ada pekerjaan yang harus diselesaikan, saya malas mengerjakannya, tapi bila ada pekerjaan yang tidak harus dikerjakan, tidak dikejar tenggat-waktu juga tidak menghasilkan uang, saya malah justru asyik mengerjakannya. Padahal pekerjaan yang harus diselesaikan itu jelas-jelas lebih penting, kalau terlambat bisa berabe atau barangkali bisa menghasilkan uang. Tapi entah kenapa, mengerjakannya tidak asyik, baru mengerjakan sebentar sudah berkali-kali menghembuskan napas panjang, bahu melorot ke bawah dan ingin segera berhenti.
Seniman itu pekerjaannya ya berkarya. Hampir semua aspek hidupnya akan berangkat dan kembali pada karya. Tidak ada bedanya seniman kontemporer jaman sekarang dengan seniman jaman tahun 1600-an di Eropa, semua sama-sama sibuk. Semua sama-sama dikejar waktu dan dikejar tanggung-jawab moral untuk selalu menyelesaikan karya dengan baik. Lalu bagaimana masalah mood dalam berkarya? Bagaimana harus berkarya kalau sedang ‘tidak mood’?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan saya lontarkan karena saya sudah berhasil mengatasi masalah mood dalam berkarya, saya kadang-kadang masih mengalami kesulitan berkarya karena ‘tidak mood’. Tapi ngomong-ngomong soal mood, saya jadi ingat suatu saat, hampir 20 tahun yang lalu saat saya masih kuliah.
Sebagaimana umumnya mahasiswa seni yang karyanya belum banyak, masih belum eksis dan berusaha mencari pengakuan dengan cara apapun, saya berusaha tampil nyentrik supaya eksis di kampus. Salah satunya adalah dengan tampil di panggung-panggung puisi sore dan membacakan puisi bergantian. Kalau dulu sih yang begitu keren. Kebetulan saya, dan beberapa teman saat itu, sedang asyik-asyiknya membaca karya-karya sastra dan mulai menulis puisi-puisi sendiri. Hanya saja kalau soal menulis, saya menulis apa saja. Catatan harian, puisi, cerita pendek, novel yang tidak pernah jadi, pokoknya curahan pikiran dan perasaan saya, saya tuliskan.
Pada saat itu, saya kira antara tahun 1994-1996, ada suatu periode di mana saya tidak pernah kehilangan semangat menulis. Saya menulis menggunakan mesin tik Papa saya. Walaupun di saat-saat itu keluarga kami mulai memiliki komputer PC, peran mesin tik ini tidak tergantikan. Pada saat-saat itu, saya memiliki sebuah rutinitas yang tidak pernah membosankan saya. Rutinitas itu begini:
1. Saya pulang ke rumah antara jam 5-6 sore.
2. Saya lalu mandi sore dan berganti baju bersih.
3. Saya membereskan kamar sampai bersih dan rapi.
4. Saya membuat segelas besar kopi dan membeli satu pak rokok kretek.
5. Saya menyiapkan mesin tik dan kertas.
6. Saya menyalakan lampu belajar di atas meja.
7. Sesudah menyalakan musik, saya pun mulai menulis.
Sampai sekarang, saya masih ingat setiap rinci rutinitas saya tersebut. Pertama, adalah penting untuk mandi dulu. Saya tidak bisa menulis sebelum mandi, saya harus bisa mencium wangi sabun di tubuh saya dan baju yang kering-bersih juga menyegarkan. Lalu, membersihkan kamar artinya merapikan tempat tidur sampai rapi sekali. Saya tidak mau melihat ada lipatan pada seprai atau sarung bantal, semua serba rapi. Lalu saya menyapu kamar saya (dan adik saya) yang kecil, tidak lama menyapunya. Meja lipat besar di kamar kami pun saya rapikan, rak buku dirapikan. Pokoknya, walaupun kondisi kamar saya cukup sederhana, tapi kerapihannya boleh dipuji. Sesudah kamar rapi dan bersih, mesin tik dan kertas saya siapkan, saya akan mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu belajar di atas meja. Maka uap akan terlihat mengepul dari gelas kopi saya, terang di bawah cahaya lampu. Kamar akan terlihat temaram. Sesudah menyalakan musik dari kaset atau radio, saya pun akan mulai menulis dengan mesin tik. Sebenarnya kalau dilihat, karena rambut saya saat itu masih gondrong, badan ceking dan mengetik memakai sarung, saya mirip seniman Lekra, tapi saya tidak pernah kehilangan gagasan untuk menulis. Saya bisa mulai menuliskan beberapa kata dan gagasan akan mengalir begitu saja. Sangat mudah dan lancar.
Keasyikan tersebut akan berlangsung beberapa jam, dipotong makan malam, sampai akhirnya saya tertidur lewat tengah malam. Di rumah, semua orang sudah terbiasa mendengar suara mesin tik di malam hari, bahkan lewat tengah malam. Rutinitas tersebut seingat saya berjalan sekitar 2 tahun. Saya masih menyimpan tulisan-tulisan dari masa itu. Sebenarnya kalau saya baca lagi saya jadi malu sendiri, tapi yang berkesan bagi saya adalah rutinitas yang tidak membuat saya bosan. Saya selalu in the mood untuk menulis. Mengingat proses kekaryaan sekarang, hal itu cukup luar biasa.
Sekarang masalahnya, apakah metoda ini bisa diulang, barangkali dibuat semacam pengkondisian supaya pola ini terulang lagi? Kalau bisa, wah, bahagia sekali. Selama ini, terutama sesudah punya anak, pola kerja saya agak serabutan. Saya bukan jenis seniman jenius yang hidup sesukanya lalu berkarya tanpa-usaha dan menggegerkan dunia. Semua yang saya capai saya lalui melewati jalan cukup panjang, beberapa membutuhkan waktu bertahun-tahun. Jadi sebenarnya dalam hal ini, rutinitas justru penting bagi saya. Rutinitas supaya bisa tetap mood dalam berkarya.
Pingback: Mana yang Lebih Penting: Bakat atau Jam Terbang? | Cakrawala Hartanto