Walaupun sempat ketar-ketir takut kehabisan waktu, ternyata saya beruntung bisa melihat karya-karya Raden Saleh Bustaman yang dipamerkan selama dua minggu di Galeri Nasional. Tidak seperti biasanya, pameran ini menarik minat masyarakat banyak dan hari pameran selalu dipenuhi pengunjung, bahkan sampai antri. Sungguh sebuah peristiwa langka di Galeri Nasional Indonesia. Saya pun datang di pagi hari, di hari terakhir pameran, untuk menghindari menonton pameran berjejal-jejal seperti masuk Museum Van Gogh di musim panas.
Ada sesuatu yang menyegarkan melihat karya-karya Raden Saleh Bustaman. Sebenarnya kalau di Eropa, melihat karya-karya dengan gaya seperti ini tidak sulit, namun melihat karya-karya dengan gaya Eropa di Jakarta, yang dibuat oleh seorang pelukis kelahiran Semarang, di tengah gempuran citraan seni rupa kontemporer selama 10 tahun terakhir, ternyata cukup menyegarkan. Saya menemukan beberapa hal yang bisa dipelajari dari karya-karya Beliau dalam kaitannya dengan praktik seni rupa yang saya lakukan.
Pertama adalah cahaya, komposisi dan narasi. Melihat karya-karya Raden Saleh, saya memahami bahwa cahaya adalah unsur yang sangat penting. Kelihatan sekali, entah obyek lukisan dikisahkan berada di dalam maupun di luar ruangan, cahaya adalah esensial. Bila obyek lukisan ada di dalam ruangan, cahaya jatuh dari sudut tertentu, mengaksentuasi bagian-bagian penting, dan bila lukisannya berkisah di luar ruangan, tata-cahaya diatur sedemikian rupa supaya figur-figur di dalamnya terpadu dengan dramatis, sementara lembayung senja menciptakan suasana yang dramatis pula. Tidak seperti karya-karya saya yang biasanya obyek dan sumber cahayanya hanya satu, cahaya dalam karya-karya Raden Saleh sangat kompleks, salah-satunya karena karya-karya Beliau full-color.
Tata-cahaya yang diatur sedemikian rupa ini mendukung fokus, inti dari narasi di atas kanvas. Sudah tata-cahayanya diatur, obyek terpenting di dalam lukisan pun biasanya berwarna terang pula, dicat dengan tinta putih. Dari kanvas ke kanvas, saya melihat banyak obyek utama yang berwarna ‘terang’ misalnya kuda putih, baju putih, surban putih dan sebagainya. Lain dari itu, persis seperti teori melukis klasik tentang komposisi: obyek selalu ada di tengah dan obyek-obyek pendukung akan mengembalikan mata kita, pemirsa, kembali ke tengah. Beberapa lukisan Raden Saleh memiliki banyak obyek. Dan bukan hanya sekedar banyak, obyek-obyek itu sedang ‘bergerak’ semua. Rata-rata, obyek yang berada di tepi kanan kanvas, biasanya manusia, selalu menengok ke kiri, tidak ada yang membuang muka ke kanan dan membawa mata pemirsa ‘keluar’ dari kanvas.
Yang menakjubkan bagi saya, karya-karya Raden Saleh begitu ‘lengkap’ dalam pengertian, dalam satu kanvas: karyanya figuratif, latar-belakangnya landscape dan pengaturan obyek dan tata-cahayanya still-life, tetapi ini bukan still-life yang diam di atas meja, ini adalah sebuah komposisi bergerak dalam sebuah narasi visual dramatis yang membeku, seperti contoh karya di atas. Dua ekor singa Afrika menyerang serombongan orang Arab bersenjata. Narasi tersebut dibuat tidak dalam posisi satu pihak akan menang, narasinya berisi ketidakpastian. Kedua pihak sedang berjuang saling mengalahkan dengan dibayangi maut bila kalah. Lembing, gigitan taring dan darah, letusan pistol, asap mesiu, jeritan panik, kemarahan dan ketakutan. Sebuah drama antara hidup dan mati. Bila kanvas adalah sebuah panggung, karya-karya Raden Saleh memang diatur sedemikian rupa sehingga mampu menampilkan dramatisasi sebuah ‘teater beku’. Menurut saya, secara komposisi, karya-karya Raden Saleh, begitu juga dengan karya-karya Romantis lain, cukup luar biasa. Kualitas seperti ini jarang sekali ditemukan di dunia seni lukis kontemporer Indonesia.
Saya menyadari, memang naif bila kita membandingkan karya-karya Raden Saleh dengan seni lukis kontemporer kita apple to apple. Hanya saja, salah satu sumber kegelisahan saya dalam berkarya, dan saya bisa melihat hal yang sama dalam seni lukis kontemporer Indonesia, adalah masalah kedua: excellence. Sangat sedikit, terlalu sedikit karya-karya seni lukis kontemporer Indonesia yang excellent. Saya percaya bahwa seni lukis figuratif masih akan bertahan lama, tetapi yang mutunya istimewa begitu sedikit. Ini mencakup karya saya sendiri dan hal itu membuat saya gelisah.
Coba lihat karya-karya Raden Saleh. Lihat bagaimana figur dibuat. Bahkan bagian terkecil seperti selembar kain batik, rumput yang hanya serumpun, lipatan kain pada surban, bordiran pada baju seragam, semua dibuat sesempurna mungkin. Pada tataran ini saya tidak bicara masalah teknis lagi, kalau kita hanya melihat apa yang terlihat pada kanvas kelihatannya memang itu masalah teknis tapi tidak, ini masalah attitude. Ada sebuah keinginan yang kuat dalam diri Raden Saleh untuk membuat setiap rinci dalam karyanya menjadi sempurna. Ini adalah sikap yang serupa dengan yang dikatakan Chuck Close dalam unggahan saya sebelumnya. Ada sebuah ketidakrelaan untuk membiarkan bahkan sepetak kecil dari kanvas tidak tergarap dengan sempurna. Inilah excellence dan hal inilah yang paling meresap dalam hati saya, pelajaran paling berharga yang saya dapat sepulang dari menonton pameran karya-karya Raden Saleh.
Ada yang bilang, seni lukis sudah mati. Tentu saja ini bisa diperdebatkan, tapi kalau kita bicara tentang excellence, pernyataan itu ada benarnya. Kita hidup di jaman di mana seni rupa bukan lagi semata-mata soal keindahan, sejarah seni rupa kita sudah melihat banyak pemberontakan dan seni rupa sudah begitu konseptual, ia hanya bermakna bagi orang-orang yang sangat berpendidikan dalam lingkaran yang sangat kecil. Kenyataan bahwa pameran Raden Saleh di Galeri Nasional Indonesia dibanjiri penonton dari berbagai kalangan, jauh berbeda dengan pameran-pameran seni rupa kontemporer di tempat yang sama, barangkali menunjukkan pada kita bahwa ada nilai-nilai lebih yang bisa didapat dibandingkan dengan karya-karya seni rupa kontemporer yang kita lihat dalam waktu 10-20 tahun terakhir ini. Kalau salah satu dari nilai-nilai tersebut adalah excellence, saya setuju.