Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang kawan dan senior saya di kampus, Mbak Riama Maslan. Kami janjian bertemu untuk memilih beberapa gambar karya anaknya untuk dipamerkan di sebuah pameran kelompok di Hong Kong. Marsha, anak perempuan Mbak Riama yang berusia 16 tahun, adalah seorang autis dan pameran ini memang sebuah pameran karya-karya anak autis. Mbak Riama membawa banyak sekali buku gambar besar yang dijilid serupa, diberi tanggal. Melihat jumlahnya dan memahami bagaimana semua itu mencerminkan intensitas Marsha saat berkarya sungguh membuat saya malu. Saya tidak punya intensitas sekuat itu, apatah lagi karya gambar sebanyak itu. Maka sambil ngobrol, kami pun memilih gambar yang kami pikir layak dipamerkan dan sambil membuka-buka buku yang banyak sekali itu, saya pun terpukau dalam kekaguman.
Walaupun autisme adalah sebuah fenomena yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat luas, saya sendiri sebenarnya bisa dikatakan tidak tahu apa-apa tentang autisme. Yang saya tahu adalah Marsha membuat rekaman banyak sekali informasi tentang dunianya. Rekaman ini berbentuk teks, simbol dan gambar. Walaupun catatan itu berisi informasi dalam klasifikasi yang luas dan beragam, Marsha mencatatnya dengan rinci, semua diberi nomor. Marsha akan mencatat, misalnya, pohon keluarga saudara dan teman-temannya, lengkap dengan tanggal lahir, termasuk horoskop Barat dan shio Cina setiap orang di dalamnya. Dalam catatan yang lain, ia menuliskan nama-nama planet dalam tata-surya, lengkap dengan simbol-simbolnya. Di catatan lain, ia menuliskan puluhan daftar konversi ukuran berat, panjang, luas, sampai satuan ukuran yang sangat spesifik a la apoteker; kosa kata dan percakapan dalam bahasa Jepang berikut arti, pelafalan dan cara penulisannya dalam aksara Katakana, Hiragana dan Kanji; catatan percakapan SMS lengkap dengan tanggal, jam dan menitnya; puluhan kalau tidak ratusan abreviasi berikut kepanjangannya; daftar judul buku berikut harganya; catatan nilai ujian dan masih banyak lagi yang lainnya. Ini benar-benar luar biasa.
Dan bukan hanya catatan tulisan dan simbol, Marsha juga akan membuat catatan dalam bentuk gambar. Marsha yang kebetulan suka film kartun, komik dan novel, memiliki sebuah pengamatan khusus pada binatang-binatang tertentu seperti naga, macan tutul, kuda, dinosaurus, burung-burungan dan banyak lagi. Dalam sebuah halaman, saya menemukan gambar hampir sepuluh ekor burung nasar dari jenis yang berbeda-beda lengkap dengan nama populernya. Dalam sebuah gambar, Marsha menggambar naga hampir memenuhi seluruh kertas, namun di bagian ekornya, dia menambahkan gambar ujung ekor yang kedua untuk membedakan mana yang jantan dan mana yang betina. Dan tumpukan buku gambar yang banyak sekali itu diisi dengan gambar dan cerita komik buatan Marsha sendiri. Penuh adegan dramatis pertempuran binatang-binatang. Tarikan garisnya, yang hampir semua dibuat dengan spidol hitam, sangat ekspresif. Kalau Marsha mau mencoba menggambar di media yang ukurannya lebih besar dengan menggunakan charcoal, misalnya, saya sudah bisa membayangkan hasilnya pasti luar biasa.
Jadi dari buku-buku berisi gambar dan catatan ini saya merasa menemukan sebuah refleksi mekanisme pertahanan diri sekaligus sebuah sanctuary. Di mata saya, Marsha melihat dunia ini sebagai sebuah kekacauan besar, lingkungan termasuk orang di dalamnya dan seluruh dunia ini adalah chaos dan itu harus diorganisasi supaya dia bisa merasa aman dan nyaman. Mengorganisasi kekacauan ini nampak seperti sebuah pekerjaan yang benar-benar menyita waktu karena kalau Marsha belum merasa selesai dengan pekerjaannya ia tidak bisa tidur. Namun di sisi lain, pekerjaan ini pun menjadi penyelamatan bagi Marsha karena saat mencatat atau menggambar, Marsha berada dalam dunianya sendiri, tenang tanpa terganggu.
Saya tidak mampu menahan kekaguman saya pada cara Marsha melakukan observasi terhadap lingkungannya. Ini adalah sebuah observasi yang, dalam arahan akademis, mencerminkan sikap ingin-tahu dalam penelitian tingkat doktoral. Ini bukan jenis observasi sekilas di permukaan tapi jenis observasi a la pisau bedah yang mengupas kulit, mengurai pembuluh darah, memilah-milah jaringan lalu organ, menemukan dan mengerkah tulang, mengambil sumsum tulang untuk diletakkan di bawah lensa mikroskop untuk diteliti lagi. Sebuah observasi yang obsesif sampai ke inti-intinya. Tidakkah ini luar biasa untuk ukuran seorang gadis 16 tahun? Saya pun merasa menemukan arahan untuk diri saya sendiri, sebagai seorang seniman, mengenai bagaimana seorang seniman seharusnya melakukan observasi terhadap lingkungan di sekelilingnya atau terhadap apapun juga yang diminatinya.
Seniman dan ilmuwan adalah mahluk pencipta di ekstrim yang berbeda. Menurut saya, walaupun pekerjaannya menghasilkan produk yang berbeda, proses kerjanya dimulai dari langkah yang sama: penelitian, dan bila kita bicara tentang penelitian otomatis kita bicara tentang observasi. Saya yakin seorang seniman yang baik adalah seorang seniman yang memiliki naluri observasi yang kuat. Mata dan visi seorang seniman sudah seyogyanya terasah tajam seperti pisau bedah. Bila ia menggunakan model untuk dijadikan lukisan, banyak sekali aspek yang bisa diobservasi. Bagaimana wajahnya? Apakah ada fitur yang kuat dan khas? Bagaimana dengan lengkung alisnya, bentuk mata dan tatapannya? Bagaimana bentuk hidung, bibir dan rahangnya? Sisi mana dari wajahnya yang yang paling baik untuk dilukis? Itu pun barangkali akan berbeda bila disinari cahaya tertentu, jadi bagaimana pencahayaan terbaik saat dilukis? Belum lagi rambutnya. Bagaimana jenis rambutnya? Tebal, tipis, lurus, berombak? Bila ia telanjang, pose mana yang paling baik? Bila ia menggunakan pakaian, pakaian seperti apa? Dan seterusnya, dan seterusnya, tidak ada habisnya. Pelukis potret Amerika idola saya, John Singer Sargent, pernah mengatakan, “Kita tidak akan pernah bisa membuat cukup sketsa. Buatlah sketsa tentang semuanya dan jagalah rasa ingin tahu kita supaya tetap segar.”
Melihat catatan dan gambar-gambar Marsha membuat saya merenung. Saya katakan pada Mbak Riama, bila saya memiliki setetes saja intensitas dan kualitas observasi yang dimiliki Marsha, karya saya pasti berbeda sekali. Beruntung saya bertemu Mbak Riama sebelum kepindahan saya karena saya mendapatkan hal penting untuk saya perhatikan saat saya bekerja di tempat baru saya kelak: observasi.