Makna Jadi Seniman (bagian pertama dari dua bagian)

bessengue_cityDalam acara artist talk yang diselenggarakan segera setelah pameran di Balé Tonggoh dibuka, saya menceritakan sebuah kisah sepuluh tahun lalu, di tahun 2002, saat saya dan tiga orang teman membuat sebuah proyek seni di Douala, Kamerun, Afrika Tengah. Kisah ini saya ceritakan sebagai pembuka paparan saya tentang karya-karya saya yang dipamerkan di sana, karya-karya yang berkisah tentang tentang kecemasan dan depresi saya. Saya katakan bahwa kecemasan dan depresi ini berasal dari Afrika, 10 tahun lalu. Di Afrika saya secara intens melihat dari dekat, merasakan dan memahami sedikit makna penderitaan.

Douala adalah kota bisnis sementara Yaounde, ibukota Kamerun, adalah kota pemerintahan, berjarak sekitar 240 km di timur. Walaupun disebut ‘kota bisnis’ keadaan Douala sangat memprihatinkan. Kamerun, seperti banyak negara di Afrika, memiliki alam yang indah, tapi Douala diselimuti kemiskinan dan kekacauan. Di tengah kota tak ada pemandangan yang indah dipandang mata. Bila ada tembok pasti berlumut, bila ada struktur logam pasti berkarat, jalan-jalan kota dipenuhi lubang raksasa yang menganga, pasar tradisional berisi kumpulan sayur-mayur yang ditaruh begitu saja di tanah, berkubang lumpur dan sangat kotor. Kota ini sangat jorok, lalu lintasnya kacau balau. Kota ini merupakan basis oposisi dan sudah sejak 30 tahun lalu dianaktirikan dan terbengkalai. Hanya beberapa tahun sebelum kami datang, konflik kekerasan terjadi di Kamerun dan orang tidak bisa keluar rumah setelah gelap karena alasan keamanan.

Proyek kami berjalan selama lima minggu, lima minggu penuh penderitaan. Kami membuat sebuah shelter dan radio gelap yang mampu membuat siaran dalam radius 1 km dari lokasinya, sebuah lokasi pembuangan sampah yang dikosongkan. Proyek ini dikerjakan di tengah sebuah kampung kumuh di daerah urban kota Douala, namanya lembah Bessengue. Proyek ini diberi nama “Bessengue City”.

Kamerun beriklim tropis dan Douala berada di tepi pantai. Cuaca di bulan Oktober 2002 panas dan lembap. Nyamuk di sana jauh lebih ganas daripada nyamuk di Bandung, gigitannya menyengsarakan. Panas, gatal, dan tak hilang-hilang. Kami harus makan obat keras anti-malaria setiap hari. Sebelum berangkat kami harus divaksinasi, lengan atas saya bengkak dan sakit berhari-hari. Proyek kami berjalan lambat karena sulit meyakinkan masyarakat di sana untuk terlibat dalam proyek kami tanpa dibayar, untuk sama-sama “mengalami seni”.

Di sana kami diperas habis-habisan. Bagi banyak orang di sana kami adalah orang-orang yang membawa banyak uang dari Eropa (saat itu kami masih jadi partisipan di Rijksakademie, Amsterdam). Barang-barang kami hilang dicuri, setiap hari selalu ada yang hilang dari mulai barang sepele sampai barang penting. Poster-poster promosi kami disobek-sobek oleh orang-orang yang tidak suka dengan kehadiran kami. Bila ada yang minta rokok pada saya, mereka mengambil tiga-empat batang sekaligus tanpa malu-malu. Orang-orang Douala tidak bisa bicara perlahan, mereka nyaris selalu berteriak seperti bertengkar, sama kerasnya saat mereka menyetel musik. Teman saya begitu terguncang melihat seorang pencuri cilik dihajar beramai-ramai di pasar dipimpin oleh seorang tentara. Intinya, kami putus-asa karena ternyata visi kami tidak menemukan sasarannya. Kami merasa diperas dan diperalat. Kami yang semula datang dengan ramah dan bersahabat akhirnya pulang dengan sikap menjaga jarak, ketus, dan tak peduli. Satu-satunya penghiburan kami adalah sebotol Black Label selundupan murah-meriah dari pelabuhan tapi itu pun tidak bisa menurunkan ketegangan kami. Namun akhirnya waktu pun berlalu dan proyek kami selesai. Pulang ke Amsterdam lewat Paris, kami mabuk-mabukan dan mengacau di pesawat. Kami tidak peduli.

Kami merasa jadi orang tolol di Afrika sana. Di tengah kampung urban yang miskin dan kumuh, di tengah pengangguran dan kepungan kriminalitas tinggi kami bertanya-tanya: untuk apa kami membuat proyek seni di sana? Mereka tidak butuh seni. Mereka butuh sanitasi, kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja. Kami iba pada masyarakat Bessengue tapi sekaligus kesal dan marah karena perlakuan mereka terhadap kami. Goddy Leye, teman kami dari Douala, adalah penggagas proyek tersebut. Ia mengajak saya, James Beckett (Inggris/Afrika Selatan), dan Jésus Palomino (Spanyol). Goddy senang dengan hasil proyek ini karena proyek ini jadi portofolio artist initiative yang kemudian ia dirikan, Art Bakery. Namun saya, James, dan Jesus stres berat. Sejak seminggu kami di sana kami bertiga sudah bertengkar terus dengan Goddy. Mulanya karena hal besar, lama-lama untuk hal sepele. Situasi senantiasa tegang dan melelahkan.

Kami kembali ke Amsterdam hanya dua minggu sebelum Open Atelier, sebuah presentasi bagi seluruh partisipan Rijksakademie (saat itu berjumlah sekitar 60 orang) yang sudah bekerja selama setahun penuh. Ini adalah sebuah acara di mana kami berkesempatan menyajikan karya-karya terbaru, bertemu pers dan alumni, mengembangkan jaringan dengan orang-orang penting dari museum/galeri, dan mendapat kesempatan mengikuti proyek/pameran di tempat-tempat prestisius. Open Atelier betul-betul sebuah acara yang berorientasi pada karier dan para partisipan menyambutnya dengan persiapan serius. Sementara itu, bagi kami yang baru kembali dari “medan perang”, semua itu nampak seperti lelucon besar. Kami hadir di Open Atelier 2022 pada momen yang salah, kami masih terlalu terguncang saat itu.

Kami pikir, bila mau jujur, sebagian besar wajah peradaban di dunia ini sebenarnya mirip dengan Bessengue, termasuk di Indonesia. Sebenarnya kami frustrasi karena kami, dengan seni kami yang adiluhung ini, tak berdaya dan tidak mampu berbuat apa-apa untuk memperbaiki situasi tersebut. Akhirnya kami sungguh tidak peduli dengan Open Atelier 2002. Kami pikir, persetan segala jejaring dan karier, semua ini hanya lelucon. Saya membuat presentasi sekadarnya dan disebut sebagai seniman dengan presentasi yang paling malas tahun itu. Jésus membaluti meja-kursi dan barang-barang di studionya dengan selofan lalu menaburkan beras dan tepung di lantai Benda-benda yang sangat berharga di Bessengue itu berserakan dan terinjak-injak. Kami patungan membeli kokain dan mabuk sepanjang minggu dalam usaha meredakan kemarahan dan mengobati luka batin kami. Usaha kami berhasil namun hanya untuk sementara. Minggu-minggu tenang sesudahnya, kami lebih banyak diam dan merenung, mengepak barang untuk pulang ke negara masing-masing. Sejak itu saya mulai mengalami apa yang saya sebut sebagai sebuah periode “muak pada seni”. Saya ingin berhenti jadi seniman. Dalam pikiran saya waktu itu menjadi seorang seniman adalah pilihan yang konyol dan sia-sia. Saya kembali ke Bandung dan segera menyibukkan diri, berusaha melupakan Bessengue.

Namun seperti ingatan traumatis yang mengiris dalam dan pedih, ternyata proyek seni yang paling saya benci adalah yang paling mengubah diri dan kekaryaan saya hingga sekarang. Sejak saat itu saya mulai dekat dengan tema “penderitaan”. Saya menyadari bahwa kondisi di Bessengue adalah kenyataan pahit yang mewarnai sebagian besar tempat di dunia. Lalu apa yang bisa saya lakukan? Saat begitu banyak seniman (dari negara ketiga) berusaha mencari alasan supaya tidak pulang dari Amsterdam, saya justru bersemangat untuk segera pulang karena saya pikir, bila ada sesuatu yang bisa saya lakukan, itu akan jauh lebih bermakna bila saya lakukan di Indonesia. Di Belanda, superstruktur seni rupa sudah sangat mapan. Keterlibatan saya di Bandung Center for New Media Arts dan Common Room adalah ikhtiar saya untuk memberi makna lebih pada apa yang saya lakukan. Saat itu saya juga berpikir, bila saya melakukan sesuatu tentu akan lebih bermakna bila saya melakukannya untuk orang banyak, bukan untuk saya sendiri. Namun ternyata apa yang kemudian terjadi menyadarkan saya akan makna menjadi seniman.

Di kedua organisasi tersebut saya terlibat dengan banyak sekali program publik. Saya tidak keberatan menjadi fasilitator dan mengerjakan proyek-proyek seni untuk publik tapi sebuah fakta sederhana meninju rahang saya: bila saya tidak berkarya, hidup saya jadi sengsara. Saya mulai depresi dan saya mulai merasa jadi gila. Di penghujung tahun 2005, di musim hujan seperti sekarang ini, saya merenungi hidup saya dengan sedih. Saya merasa tidak berguna karena akhirnya saya sadar bahwa apa yang bisa dan ingin saya lakukan dalam hidup ini sebenarnya hanya berkarya. Saya tidak melakukannya. Rasanya sungguh menyengsarakan.

Pada titik inilah saya mulai menyadari bahwa bakat, minat, dan profesi kreatif saya memiliki sebuah sisi gelap. Saya memiliki sebuah berkat yang mengandung kutukan. Bila bakat kreatif ini tidak saya gunakan, saya dihinggapi depresi. Namun dunia selalu berubah. Hidup saya yang sulit tiba-tiba berubah saat terjadi boom seni lukis 2007-2011. Saya mendapatkan banyak keuntungan materi dan publikasi dari situasi ini. Saya yang seumur-umur kere tiba-tiba dapat uang banyak dan nama saya mulai dikenal di pasar seni rupa Indonesia. Namun aksi, reaksi, dan konsekuensi hidup saya pada akhirnya membawa saya pada situasi di mana saya jadi tidak bisa berkarya.

Ini berbeda dengan sebelumnya. Dulu saya tidak berkarya, sekarang saya ingin berkarya tapi tidak bisa. Dan saya pun kembali jatuh ke dalam fase kecemasan dan depresi hidup saya. Ternyata, ingin berkarya tapi tidak bisa melakukannya jauh lebih menyengsarakan daripada semata-mata tidak berkarya karena alasan ini-itu.

Maka akhirnya saya baru benar-benar bisa memahami bahwa makna menjadi seorang seniman bagi diri saya ternyata sangat sederhana. Saya hanya perlu berkarya, itu saja. Pada akhirnya apapun yang terjadi dalam hidup saya: kecemasan, depresi, harapan, ketidakpastian, kesulitan, kesuksesan, pencapaian, semua tak ada artinya bila saya tidak bisa berkarya. Tidak berkarya atau tidak bisa berkarya ternyata adalah sebuah dunia yang mengerikan.

(dilanjutkan ke bagian kedua)

One thought on “Makna Jadi Seniman (bagian pertama dari dua bagian)

  1. Pingback: Tolong! Anak Saya Ingin Jadi Seniman! (bagian pertama dari dua bagian) | Cakrawala Hartanto

Leave a comment