Melestarikan Kertas

paper_trailSaya baru saja pulang dari Yogyakarta malam ini. Saya diundang oleh Indonesian Visual Art Archive yang memfasilitasi sebuah seminar dengan judul “Paper Trail”, yakni sebuah seminar satu hari yang dibagi dalam dua sesi yang mengulas segala sesuatu tentang kertas dalam kaitannya dengan praktik kekaryaan. Sesi pertama seminar ini membahas berbagai jenis kertas, berbagai jenis bahan baku yang digunakan, macam-macam teknik pembuatan kertas baik yang menggunakan mesin maupun tangan termasuk segala teknologi yang terus dikembangkan untuk membuat kertas tertentu menjadi semakin baik mutunya sebagai media karya seni. Pada sesi kedua, paparan dan tanya jawab terpusat pada masalah pelestarian kertas. Saya bicara dan membagi pengalaman saya berkarya dengan media kertas.

Bagi saya, yang paling menarik adalah masalah pelestarian ini. Saya senang bisa berkenalan dengan Mbak Christine Cocca, seorang konservator yang kebetulan adalah istri Mas Entang Wiharso, salah satu seniman kontemporer Indonesia yang paling penting saat ini. Bersama suaminya, Mbak Christine berusaha meningkatkan pengetahuan dan wawasan mengenai pelestarian karya seni, termasuk kertas, demi melestarikan karya-karya Mas Entang. Mbak Christine menyatakan bahwa banyak seniman Indonesia yang memikirkan masalah pelestarian ini namun kekurangan informasi dan strategi dalam pelaksanaannya. Mbak Christine sendiri mendapatkan kesempatan untuk belajar langsung mengenai teknik pelestarian karya seni di Amerika Serikat beberapa tahun lalu. Unggahan ini berisi sari-sari ilmu dan wawasan yang dibagikan oleh Mbak Christine dalam paparan dan tanya-jawab seminar tersebut.

Menyadari hidup dan berkarya di bawah garis katulistiwa, saya menyadari bahwa karya-karya seni di Indonesia, terutama yang berbahan dasar kertas dan kain, senantiasa diintai masalah. Peninggalan budaya dalam wujud kertas dan kain bisa dikatakan cukup langka di negara ini karena tidak ada yang bisa bertahan lama karena iklimnya. Saya selama ini selalu mengira bahwa kelembapan adalah musuh utama karya-karya kertas namun saya baru tahu bahwa ternyata bukan hanya itu.

Fluktuasi suhu yang terlalu ekstrim ternyata berbahaya bagi karya seni. Saya langsung teringat pengalaman saya di Kampung Seni Lerep saat memasang kanvas ke spaanram. Di musim kering tengah tahun, apabila saya memasang kanvas di pagi atau siang hari, kanvas akan terentang dengan tegang dan bagus, tetapi ketika hari beranjak malam, kanvas saya kendur. Saya langsung menyadari bahwa perubahan suhu yang ekstrim telah menyebabkan kayu spaanram saya mengalami susut-muai dan menyebabkan kain kanvas mengencang dan mengendur. Mbak Christine memaparkan bahwa bangunan kolonial yang memiliki tembok tebal, ventilasi secukupnya dan tidak memiliki terlalu banyak jendela adalah ruangan yang mendekati ideal untuk dijadikan ruang penyimpanan karya seni karena perubahan suhu yang ekstrim di luar tidak terlalu memengaruhi suhu di dalam ruangan. Di negara empat musim yang bisa mengalami suhu rendah dalam waktu yang panjang, ruangan penyimpanan karya rata-rata bersuhu rendah namun di negara yang hangat seperti Indonesia, tidak masalah kalau ruangan penyimpanan karya bersuhu hangat. Yang penting perubahan suhunya tidak terlalu jauh dari siang ke malam, dari musim kemarau ke musim penghujan, karena materi akan melakukan aklimatisasi dengan suhu lokal.

Walaupun demikian, bukan hanya stabilitas suhu yang perlu dijaga, Mbak Christine pun membagi pengalamannya dari ruang penyimpanan karya-karya Mas Entang tentang suhu itu sendiri. Dalam ruang penyimpanan karya, Mbak Christine dan Mas Entang mengusahakan suhu tidak melebihi 22°C karena di atas itu, mikroorganisma akan semakin cepat tumbuh di materi organik seperti kertas atau kanvas. Ventilasi diperlukan sehingga udara segar bisa mengalir namun diusahakan supaya debu yang masuk harus sesedikit mungkin. Penggunaan AC dalam ruangan penyimpanan karya sebenarnya tidak realistis karena mahal dan kurang bisa diandalkan bila kita benar-benar bergantung pada sumber listrik PLN Indonesia yang doyan padam. Bayangkan kalau ruangan penyimpanan karya kita didinginkan pada suhu 17°C dengan AC lalu tiba-tiba listrik padam selama beberapa jam di siang hari yang terik, suhu di dalam ruangan bisa naik secara drastis dan “membangunkan” mikroorganisma dengan tiba-tiba. Pemecahannya adalah dengan kipas angin. Ya, kipas angin yang bisa berputar ke beberapa arah. Kipas angin tidak merubah suhu dan mampu memecah kantung-kantung udara stagnan di dalam ruangan penyimpanan karya. Mengetahui hal ini, saya berkesimpulan bahwa ruangan penyimpanan karya ada baiknya dirancang sejak awal dan dibangun sesuai dengan wawasan dan pengetahuan tentang pelestarian ini. Saya kira itu yang terbaik.

Lain dari itu, masih ada informasi berharga dari Mbak Christine misalnya tentang kayu. Semua kayu mengandung asam. Kayu yang diolah menjadi kertas ada yang diproses dengan teknik tertentu sehingga menjadi bebas asam. Menggunakan kertas bebas asam untuk aplikasi karya seni adalah yang terbaik namun itu saja belum cukup. Bila sebuah ada sebuah gambar cat air yang dibuat di selembar kertas bebas asam, misalnya, ditaruh di dalam laci lemari yang terbuat dari kayu, seluruh lemari terutama lacinya bisa memengaruhi tingkat keasaman kertas itu sendiri. Begitu pula dengan logam. Bila ada sebatang klip kertas berada di laci yang sama dengan kertas bebas asam, proses kimiawi yang terjadi, walaupun perlahan, akan memengaruhi kertas. Pada tahapan ini saya kira masalah pelestarian karya kertas menjadi mulai rumit.

Saya beranggapan bahwa dengan membingkai karya kertas dalam sebuah bingkai kaca, karya akan aman. Gunakan saja selotip dan segel bagian belakang bingkai tersebut untuk menghambat proses oksidasi. Ya, itu sudah betul tapi bagaimana dengan bingkai kayu itu sendiri? Dan bagaimana dengan backing board, lembaran kayu yang digunakan untuk menahan karya supaya tetap tegak? Bila tidak diolah secara khusus, atau bila tidak diakali dengan benda lain, kayu-kayu tersebut bisa memengaruhi keawetan karya. Mbak Christine menyarankan untuk menggunakan impra board, semacam corrugated paper tetapi terbuat dari plastik untuk digunakan sebagai backing board alih-alih menggunakan tripleks biasa (apalagi tripleks sekarang memiliki muatan kimiawi yang luar biasa, bisa menyebabkan hidung dan mata perih saking kuatnya). Dan bingkai kayu bagian dalam pun sebaiknya diberi lapisan pelindung sehingga kayu tidak secara langsung menyentuh kertas. Saya lupa, pelindung macam apa yang disarankan oleh Mbak Christine, tapi dalam kasus kain kanvas untuk lukisan, lapisan pelindung asam yang disarankan oleh Smithsonian adalah PVA (poly vinyl acetate) atau lem putih dengan pH netral. Bila mengering, lapisan ini akan menjadi sebuah lapisan keras seperti plastik yang sangat tipis dan transparan.

Selain itu, cahaya juga tidak baik dalam soal pengawetan karya seni. Cahaya apa saja, cahaya alami maupun buatan. Lampu kilat dalam kamera merusak karena itu di dalam museum kita tidak boleh memotret karya seni dengan menggunakan lampu kilat. Untuk alasan itu, ruang penyimpanan karya seni biasanya gelap. Lampu dinyalakan hanya pada saat diperlukan. Mbak Christine juga mengingatkan soal yang lebih rinci lagi yang seringkali tidak kita sadari. Saat bekerja dengan kertas, keringat dan lemak yang berasal dari jari-jemari kita akan menempel dan itu bisa mengundang mikroorganisma. Memegang kertas yang sudah disimpan di ruang penyimpanan sebaiknya dilakukan dengan sesedikit mungkin sentuhan jari, misalnya dengan menjepit ujung karya dengan sepotong kertas atau dengan menggunakan sarung tangan.

Selain itu, debu juga merupakan masalah yang tidak ada habisnya. Bila kita meletakkan kertas untuk waktu yang cukup lama di atas bidang datar seperti meja, debu akan turun dan menempel pada permukaan kertas. Bila tidak dibersihkan dan kertas tersebut terpapar kelembapan, debu akan menempel permanen pada kertas. Karena itu, ada baiknya untuk selalu melapisi karya supaya tidak terpapar debu. Tingkat polusi di perkotaan tinggi, debu dari kendaraan bermotor, pembangunan sarana perkotaan termasuk juga debu industri seperti pabrik, semuanya merusak dan sebisa mungkin harus ditangkal supaya tidak menyentuh karya seni. Masalah debu ini sedemikian penting, Mbak Christine menjelaskan bahwa pekerjaan seorang konservator adalah bersih-bersih. Ya, bersih-bersih, seperti pembantu rumah tangga. Semua debu harus disedot dari lantai, dari bagian-bagian tersembunyi, dari laci. Kita juga harus mencegah hadirnya serangga-serangga kecil seperti perak-perak (silverfish) atau kutu-kutu dan semua itu harus dilakukan secara teratur. Pada tataran ini, seorang konservator bahkan jauh lebih telaten mengurusi karya seni dibandingkan senimannya. Karya-karya seni bisa diibaratkan seperti anak emas yang selalu dilindungi dan konservator ibarat orangtua yang sangat protektif. Itu semua sangat merepotkan namun kita bicara soal pengawetan, pelestarian karya seni. Semua kerepotan yang kita lakukan akan membantu melestarikan karya seni karena karya adalah saksi sejarah yang membawa semangat zaman, sangat penting untuk dipelihara.

Unggahan ini hanya menyentuh bagian permukaan dari bidang pelestarian karya seni, terutama preventive conservation, yakni hal-hal yang penting untuk diketahui oleh seniman secara mendalam sehingga meresap ke dalam kesadaran sehingga semua perlakuannya pada karya seni akan turut membantu memperpanjang usia karya tersebut, jauh lebih panjang daripada usianya sendiri. Saya berterima kasih pada Mbak Christine Cocca, beliau adalah konservator pertama yang saya kenal secara pribadi dan saya yakin saya akan lebih banyak lagi bertanya pada beliau di masa yang akan datang perihal pelestarian karya-karya seni. Semua tentu dengan senang hati akan saya bagi dalam unggahan-unggahan di blog ini.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s