Zaman saya kuliah dulu, antara tahun 1992-1996, ada sebuah gerakan romantis di Seni Rupa ITB. Kami, para mahasiswa, jadi senang membaca dan menulis karya-karya sastra, sebagian yang lain aktif dalam kegiatan happening art, sebuah seni olah tubuh yang sangat dipengaruhi Butoh dan kami sebut sebagai péréngkél jahé. Yang selalu muncul dari waktu ke waktu tentu saja pertunjukan Musik Sore karena hampir semua anak Seni Rupa senang musik dan main band. Pada prinsipnya, apapun juga yang bisa jadi tontonan pasti disambut dengan meriah. Yang disambut paling meriah adalah kedatangan para mahasiwa dan mahasiswi baru karena para senior senang sekali bisa menonton orang banyak sedang “menderita”.
Bagi para mahasiswa, kuliah di Seni Murni pada masa itu berarti rambut gondrong sepanjang mungkin, pakai anting, berkesenian, mabuk-mabukan, pakai celana-jaket jeans, kaus oblong, boots dan jadi “penduduk” di kampus. Saya kira ini adalah sebuah desperate measure untuk menunjukkan pada dunia bahwa kami adalah seniman. Maklum, karya kami masih sedikit jumlahnya, kebanyakan juga masih jelek karena masih belajar sehingga wajar kalau kami belum masuk hitungan dan tentu saja sangat sedikit, bisa dihitung dengan jari, karya-karya sebagian dari kami yang dikoleksi. Dengan demikian, dunia profesional, dunia karir seni rupa, apapun artinya itu, benar-benar seperti istana di atas awan yang hanya bisa dikagumi dari kejauhan. Karena itu, ya sudah, kami bersenang-senang saja di dunia kami sendiri. Di kampus. Kalau dunia belum mengakui kami sebagai seniman, biar kami yang mendefinisi diri sendiri, dengan cara nyaris apa saja. Pekerjaan kami selain kuliah adalah berkumpul, biasa di studio, kantin atau warung. Mengobrol ini-itu tak ada habisnya. Kadang-kadang pergi ke satu tempat rame-rame, pokoknya kemana-mana selalu bersama terutama untuk urusan tinggal di kampus. Akhirnya kami jadi semacam “suku” di lingkungan kami sendiri, melengkapi puluhan “suku” yang ada di kampus.
Tentu saja saya ingin menjadi salah satu dari mereka. Tekanan batin yang saya alami di masa SMA karena tidak betah dengan suasana belajarnya, saya buang sejauh-jauhnya di kampus, depresi menjadi mania. Dan saya pun jadi rajin membaca buku sastra juga menulis apa saja: catatan harian, cerita pendek dewasa, cerita pendek anak-anak, novel yang tidak pernah selesai, esai-esai yang tidak jelas, puisi, pokoknya apa saja yang saya pikirkan pasti saya tulis. Dan saya selalu menggunakan mesin tik Ayah saya. Di rumah, keluarga saya sudah biasa mendengar suara mesin tik sampai lewat tengah malam dan tidak pernah terganggu. Selama masa-masa tersebut banyak sekali tulisan yang saya hasilkan. Kalau saya baca-baca lagi, saya sampai bergidik karena malu sendiri. Kok bisa saya menulis begitu banyak karya picisan seperti itu? Begitu berlebihan, emosi begitu menggelora, begitu terhanyut, terbawa perasaan. Tapi ya, apa boleh buat? Begitulah adanya.
Suatu saat, selain Musik Sore, ada juga acara Puisi Sore yang diadakan teman-teman dari Studio Seni Patung dan saya diminta untuk tampil oleh kawan saya Aribowo Juliarso, teman seangkatan (1992). Bowo berjanji akan mentraktir saya kopi kalau saya mau tampil. Akhirnya saya membuat puisi khusus untuk acara tersebut. Kebetulan, sudah beberapa minggu saya sangat terganggu oleh sakit gigi. Gigi saya betul-betul rusak waktu itu, gusi saya bengkak karena perawatan yang buruk dan takut ke dokter gigi. Saya sudah minum obat penahan rasa sakit sampai kebal dan akhirnya saya menyerah. Saya pergi juga ke dokter gigi dan mimpi buruk saya pun jadi kenyataan.
Tapi puisi ini diciptakan sebelum ke dokter gigi, saat serangan sakit gigi selalu datang di malam hari dan saya sambil merintih-rintih mengetik empat halaman “Sajak Sakit Gigi” di atas kertas buram. Sajak ini saya pentaskan di Lapangan Merah, saat itu ada karya-karya patung yang bagus sekali. Batang-batang kayu yang berdiri tegak membentuk instalasi (karya siapa, ya?). Di atas pentas, saya memakai koyo Salonpast di kedua pipi saya, tapi karena panas sekali, saya lepas satu koyo dan saya tempelkan di salah satu batang kayu itu. Saya rasanya tidak pakai alas kaki, rambut saya sudah mulai gondrong, masih kurus sekali, pakai kacamata bundar ekstra besar à la Janis Joplin, tidak pakai baju dan hanya pakai sarung. Barangkali karena melihat kebodohan dan kenekatan saya, orang-orang pada tertawa saat menonton. Mereka bertepuk-tangan dan bersuit-suit dengan riuh ketika saya selesai membacakan puisi-puisi saya. Dan hati saya pun bergelora, senang, mendapatkan tepuk-tangan, merasa sudah jadi “seniman” di dunia kecil saya di dalam kampus. Maka kini terimalah, saya persembahkan karya lama saya, “Sajak Sakit Gigi I”.
“Sajak Sakit Gigi
Duri berkumpul di sela-sela rahangku,
membentuk koloni besar dan membuat kelompoknya
sendiri-sendiri.
Sebagian membentuk partai politik
lalu menegakkan slogan besar-besar
dan berdebat – lama sekali,
terutama pada malam hari.
Yang sebagian lagi membentuk sebuah firma
dan memperkuat dirinya dengan pekerja-pekerja
dari kampung.
Seperti biasa, terjadilah kecurangan
dan para pekerja (yang kampungan)
segera melakukan unjuk rasa.
Mereka duduk-duduk di halaman kantor,
tertawa-tawa karena tak bekerja.
Sementara sebagian kecilnya
berteriak-teriak marah,
lama sekali.
Terutama pada siang hari.
Duri-duri yang lain agaknya berjiwa muda.
Mereka naik mobil-mobil bagus milik orangtuanya,
lalu jalan-jalan sambil menyetel musik keras-keras.
Mereka bergembira di balik kesedihannya,
minum bir dan menghisap ganja.
Mereka bersuka-ria,
lama sekali,
terutama pada sore hari.
Dan sekelompok duri yang terakhir
lebih suka menjadi ibu-ibu rumah tangga.
Memakai daster sekaligus cincin berlian.
Menawar sayur-sayuran sekuat tenaga,
sama kuatnya saat mereka
menggembar-gemborkan kekayaannya.
Bergunjing tentang janda yang didatangi keponakannya
sebagai wanita jalang pelahap daun muda.
Mereka berkisah lama sekali,
terutama pada pagi hari.
Kurasa wajahku oval,
tapi ternyata rahangku cukup luas
untuk menampung mereka semua.
Luar biasa.
Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu,
tetapi tentu saja mereka tak memberiku kesempatan.
Mereka tetap asyik dengan seluruh kegiatannya,
seperti biasanya.”
Tulisan ini saya unggah khusus untuk Agung Ages Firmansyah, karena dia saya jadi ingat tulisan ini dan waktu saya cari-cari ternyata masih ada di lemari buku saya. Sajak ini bertanggal 1 September 1994. Astaga, 18 tahun yang lalu!