Sudah sepuluh tahun terakhir ini saya bekerja dengan fotografi. Awalnya fotografi saya jadikan rujukan untuk menggambar atau melukis namun akhirnya saya juga menghasilkan karya fotografi. Ada suatu saat di mana saya membuat persiapan yang sangat rumit untuk melukis. Pada awal tahun 2008, saya mengumpulkan puluhan model berdasarkan storyboard yang telah dibuat sebelumnya sebagai panduan untuk pose yang akan dilakukan setiap orang. Beberapa teman bekerja sebagai juru rias, seorang mengukur semua ukuran tubuh model lalu membuat pakaian yang harus dikenakan. Satu orang teman lain mengurus property yang akan digunakan untuk setiap model. Satu tim kecil mengurus tata cahaya dan fotografi. Pada hari-H, saya mengarahkan pose tiap model lalu semua difoto. Kami bekerja lima hari di sebuah studio foto profesional yang saya sewa. Total model ada 34 orang, tim saya berjumlah 15 orang. Kami menghasilkan 24 foto yang akhirnya saya pindahkan ke atas kanvas dan saya pun akhirnya bisa pameran tunggal dari sesi pemotretan tersebut. Sekedar catatan, biaya yang saya keluarkan adalah sekitar 30% harga sebuah rumah ukuran kecil di perumahan yang layak di perkotaan. Itu baru satu sesi pemotretan. Dalam rangkaian seri yang saya buat itu, saya membuat enam kali sesi pemotretan dalam berbagai skala. Kalau dihitung-hitung, biaya yang dikeluarkan bisa digunakan untuk membeli rumah tadi.
Tapi yang mengganggu saya bukan masalah biaya produksinya (karena toh penjualan karya menutup semua itu) tetapi sebuah logika yang aneh di belakangnya. Selama bertahun-tahun bekerja dengan modus seperti itu, selama itu pula saya “dihantui” sebuah pertanyaan, “Kalau fotonya sudah sempurna, mengapa harus dipindahkan ke atas kanvas? Kenapa tidak fotonya saja yang dijadikan karya?” Pertanyaan ini tidak habis-habisnya datang di kepala saya terutama pada saat sesi pemotretan menjadi begitu rumit, menghabiskan waktu, tenaga dan biaya yang besar. Walaupun malu mengakuinya, saya tidak bisa menghindari fakta bahwa lukisan bisa dijual jauh lebih mudah dan jauh lebih mahal daripada karya fotografi (setidaknya di Indonesia pada saat itu) tapi harusnya ada alasan lain yang lebih konseptual daripada sekedar pertimbangan ekonomi. Saya pikir, mungkin memindahkan fotografi (yang sudah sempurna) ke atas kanvas adalah membuat realita yang saya cuplik menjadi lebih fiktif lagi karena fotografi bagaimanapun juga masih mencuplik realita apa adanya (walaupun semua model yang berpose adalah sebuah simulasi). Okelah, sebagai sebuah argumen itu cukup valid, tapi ada sebuah masalah lain yang mengganggu saya: proses melukis di studio jadi tidak menyenangkan.
Proses dalam sesi pemotretan sangat menyenangkan tapi tidak pada saat melukis. Pada saat melukis, saya merasa menjadi semacam “printer”, saya menjadi mesin yang tidak perlu berpikir, tugas saya hanya memindahkan citraan fotografis ke atas kanvas belaka. Pak Handoko, manajer saya, sih tidak ada masalah dengan cara kerja saya, Beliau hanya menyarankan saya untuk menurunkan biaya produksi karena mahal. Kenyataannya, makin ke sini biaya produksi semakin turun dan saya akhirnya mampu membuat sebuah sesi foto dengan anggaran rendah tapi masalah di studio saat melukis tidak hilang. Akhirnya saya tersadar, berkarya murni dari fotografi tidaklah menyenangkan. Saya kira, intinya, berkarya murni dari fotografi tidak imajinatif dan tidak merangsang kreativitas. Ini sangat berbeda dengan sesi pemotretan itu sendiri, tantangannya besar dan sangat menyenangkan karena walaupun sudah ada storyboard, saya tidak bisa menebak apa yang akan benar-benar terjadi di lapangan. Perlu diingat, saya menggunakan model amatiran yang kadang-kadang merasa terintimidasi oleh lensa kamera. Dibutuhkan komunikasi yang baik untuk membuat sang model lebih tenang dan tidak terlalu “sadar diri” supaya mampu berekspresi sesuai dengan yang saya inginkan. Sesi pemotretan saya sarat komunikasi, penuh improvisasi dan sangat dinamis sementara di studio begitu statis, hanya “menyalin” citraan.
Sebenarnya alasan dari semua alasan mengapa saya repot-repot memotret semua model saya untuk melukis adalah satu: saya tidak mampu menggambar dan melukis obyek tanpa bantuan fotografi. Saya perlu mengakui bahwa saya tidak terlatih dalam seni gambar tradisional yang mengharuskan seniman menyadur obyek lewat pengamatan mata belaka. Walaupun para seniman besar tetap menggunakan model tapi mereka semua mumpuni dalam seni gambar tradisional. Kemampuan ini yang tidak saya miliki karena itu, sejauh teknologi mengizinkan, saya memotret dulu semua obyek yang akan saya lukis lalu menjiplaknya ke atas kanvas. Ternyata hal mendasar ini menyebabkan banyak sekali kerepotan sekarang. Teknik menjiplak sendiri menurut saya tidak salah, semua seniman besar yang berkarya dalam langgam realisme pun menjiplak. Masalahnya, menjiplak atau tidak, proses berkarya di studio saya menjadi minim imajinasi, tidak ada improvisasi, tidak ada variasi, tidak membutuhkan kreativitas. Yang dibutuhkan hanya keterampilan. Skill, skill, skill. Saya kira di sinilah inti masalahnya mengapa proses melukis di studio jadi dingin dan membosankan.
Fotografi bagi saya telah menjadi sebuah zona nyaman dan saya harus secepatnya keluar dari situ, lagipula yang saya sebut dengan zona nyaman pun sudah lama tidak nyaman lagi. Selama ini fotografi telah menjadi candu bagi proses kekaryaan saya, tanpanya saya tak berdaya. Kalau saya harus kecanduan, seharusnya saya kecanduan berkarya, bukan kecanduan pada fotografi. Tulisan ini dibuat bukan pada tahap di mana saya telah melampaui dan menyelesaikan masalah ini, saya justru masih berkutat di dalamnya jadi anggap saja ini curahan hati seorang pelukis di blognya. Tapi saya kira, walaupun akhirnya saya terpaksa mengambil jalan yang lebih sulit dengan meninggalkan fotografi untuk berkarya, itu adalah jalan yang paling benar. Kalau suatu proses sudah tidak lagi memberi hasil yang diinginkan, kita harus mencoba melihat dari sudut pandang yang berbeda, kadang-kadang banting setir sama sekali. Mungkin ini yang dimaksud Aristoteles dengan unlearn. Maka, ya, okelah. Coba kita lihat akan kemana proses kekaryaan saya menuju nanti. Saya harap tahun 2014 yang sebentar lagi akan datang bisa membukakan pintu-pintu kemungkinan yang selama ini tidak pernah saya buka.