Parang Berkilat

jantung-perokok
Keesokan harinya Wakijan berangkat naik sepeda motor ke arah utara. Perjalanannya jauh, sekitar 150 kilometer, tapi cuaca pagi yang cerah membuatnya bersemangat alih-alih pikirannya yang dipenuhi masalah. Sejak dulu saat Pak Haji masih sehat, Ibrahim sudah sering menunjukkan dominasi yang tidak semestinya. Ia berkali-kali didamprat Pak Haji karena mengabaikan atau bertindak tidak sesuai dengan petunjuknya. Wakijan sendiri sejak dulu merasakan tekanan-tekanan dari Ibrahim namun semua tak pernah ia gubris. Sikapnya itu lebih merupakan cerminan rasa hormatnya pada Pak Haji namun kali ini ia sudah tidak bisa lagi bertindak pasif. Sepeda motornya melesat kencang di jalanan kosong dan melambat di keramaian saat masuk kota kecil atau melewati pasar tradisional. Setiap melewati pasar tradisional, ia merasa melihat bayangan hitam Ibrahim dan anak-anak buahnya, berkeliaran di dalam pasar dan memeras para pedagang. Wakijan menggelengkan kepala lalu memacu motornya. Setelah hampir tiga jam ia akhirnya tiba di tujuan, sebuah rumah kecil di pedesaan. Seorang ibu berusia lanjut keluar dari pintu dan tersenyum lebar menyambutnya.

“Aku kira kamu sudah lupa tempat ini.”
“Maafkan aku, aku jarang berkunjung. Bagaimana kabar Ibu?” ia mencium tangan perempuan tua itu dengan hormat. “Ibu kelihatan masih sehat sekali.”
“Ya jelas, dong. Aku masih bisa merubuhkanmu dalam sepuluh jurus.”
Wakijan tertawa senang. Wanita tua itu merangkul bahu Wakijan dengan tenaga seorang laki-laki muda.
“Ayo masuk. Bapak baru saja selesai mandi.”

Wakijan duduk di teras dan memandang berkeliling. Ia menghabiskan waktu lama sekali di tempat ini, saat ia muda dulu. Ia jadi salah satu dari lima orang murid Haji Wastar, guru beladiri yang terkenal di daerah sini. Haji Wastar adalah petani turun-temurun. Sawahnya luas dan buruh taninya banyak, tapi rumahnya sendiri kecil dan hidupnya sederhana. Dua tahun pertama latihan di perguruan ini, semua murid sama sekali tidak diajarkan silat tapi harus mengurus sawah. Wakijan harus bangun di pagi buta lalu berangkat ke sawah sebelum sarapan. Ia harus mengangkat banyak beban berat, mencangkul berjam-jam sampai sore dipanggang terik matahari, membawa kerbau untuk membajak sawah dan semua yang dilakukan petani. Dalam periode dua tahun pertama kerja berat itu selalu saja ada murid yang mundur karena putus asa dan tidak sabar. Pak Haji selalu tersenyum senang setiap kali ada murid yang mengundurkan diri. “Ilmu-ilmu tertinggi hanya boleh jatuh ke tangan mereka yang sabar dan tahan segala cobaan.” katanya.

Tapi Wakijan tetap bertahan. Ketika periode kerja berat itu ia lewati, badannya sudah kekar, liat dan hitam legam tapi masa-masa bekerja di sawah belum selesai. Ia masih terus harus bekerja di sawah hanya saja kali ini setiap kali ia pergi ke sawah ia diberi beban berat dalam pikulan dan harus mengambil rute yang jauh memutar. Pak Haji mengawasinya selama enam bulan pertama. Ia harus melalui jalan berlumpur yang licin, jalan berbatu cadas, pedataran berumput dan melewati sungai dengan banyak batu menyembul di permukaan air. Ia tidak bisa berjalan normal, seringkali ia harus melompat sambil berusaha supaya pikulannya tidak jatuh berantakan. Itu adalah pelajaran kuda-kuda dan itu berlangsung dua tahun lamanya. Murid-murid berguguran lagi dan Pak Haji hanya tertawa namun Wakijan bertahan. Setelah dua tahun, ia bisa membawa pikulan yang amat berat sambil melompat-lompat mengandalkan insting dan tidak ada sebutir bawaan pun yang jatuh. Ia sudah menguasai keseimbangan tubuh dengan sempurna dan karena selalu dibebani, ia bisa melompat amat tinggi bila tidak membawa beban. Pelajaran kuda-kuda selesai dan ia pun menghabiskan waktu enam tahun lagi untuk mempelajari semua jurus dan teknik rahasia Pak Haji. Murid-murid masih terus berguguran tapi Wakijan tetap bertahan. Ketika akhirnya ia dinyatakan lulus, hanya ada tiga orang selain dirinya yang berhasil melalui semua proses latihan fisik dan mental selama sepuluh tahun. Dan itu semua sudah berlalu sepuluh tahun yang lalu, ia hampir tak percaya waktu yang demikian panjang berlalu begitu saja.

Sebuah benda berwarna gelap dengan batang mengkilat melesat dari arah pintu menyerang pipi kanannya. Untuk sepersekian detik bibir Wakijan menyunggingkan senyum tipis, ia kenal betul serangan semacam itu. Ia hanya menggerakkan kepalanya sedikit ke belakang dan menoleh ke samping, menghindari lemparan parang lalu tangan kirinya menyambar. Parang itu sudah ada dalam genggamannya. Suara tawa khas terdengar dari pintu. Pak Haji terbahak-bahak di pintu tanpa mengenakan pakaian. Tubuhnya masih amat kekar untuk ukuran orang berusia 70-an. Ia mengenakan celana pangsi hitam tanpa alas kaki. Rambutnya sudah putih semua tapi disisir rapi, segar karena baru mandi. Wakijan meletakkan parang itu di meja lalu segera menghampiri dan berlutut menyambut gurunya.

“Kau masih awas, Wakijan.” Pak Haji meraih bahunya, menyuruhnya berdiri.
“Dan Bapak masih senang melucu.” mereka berdua tertawa lalu duduk di kursi teras.
“Bapak masih kelihatan sehat sekali.” Wakijan memerhatikan tubuh gurunya.
“Ya, syukurlah. Aku dan ibumu tidak sakit atau dapat celaka. Kau sendiri kelihatan sehat.” Pak Haji tersenyum. “Hanya pikiranmu saja yang terganggu.”

Maka tanpa banyak basa-basi Wakijan mengisahkan masalah Ibrahim dan warga Pasar Abimanyu. Pak Haji mendengarkan dengan serius. Istrinya datang membawa teh lalu duduk bergabung dan turut mendengarkan.
“Ibrahim ini..” Pak Haji memandang Wakijan serius. “Siapa gurunya?”
“Haji Sodikin sendiri. Ia dilatih sejak kecil semenjak diangkat anak.”
Pak Haji merenung mengingat-ingat orang yang pernah dikenalnya.
“Sodikin itu orang baik, sayang dia sudah mati. Dia pemberani sekali bahkan cenderung nekad. Dulu ia dan beberapa kawannya pernah mengobrak-abrik sarang gerombolan di Jawa Barat dan menghabisi beberapa orang penting. Semenjak itu mereka selalu dikejar-kejar.”
“Gerombolan?”
“Tentara Darul Islam. Itu terjadi karena gerombolan secara tidak sengaja membunuh adik sepupunya di kampung, saat mereka sedang merampok bahan-bahan makanan. Nah, kalau Ibrahim adalah murid Sodikin sendiri, yah, dia tidak bisa dianggap enteng. Berapa lama dia dilatih?”
“Seumur hidupnya. Sampai Pak Haji wafat.”
Haji Wastar mengangguk-angguk. Istrinya bertanya pada Wakijan.
“Kau tahu Haji Sodikin bisa menghilang?”
“Yang betul? Tidak, aku tak pernah tahu itu.”
Haji Wastar menangguk. “Itu betul, aku melihatnya sendiri. Orang sudah lama membicarakan tapi semua akhirnya dianggap kabar burung. Sodikin sendiri tidak pernah mengakui bahwa ia menguasai ilmu itu. Tapi di suatu kesempatan aku berhasil melihat sendiri secara tidak sengaja, di Banjarsari. Aku sedang melacak Sodikin karena harus menyampaikan pesan. Aku mendengar banyak suara tembakan dan orang berteriak-teriak. Aku ikuti suara-suara itu lalu kuintai. Saat itu ia terluka parah, dikejar-kejar gerombolan dan sudah tertembak. Ia sudah terkepung. Sebelum sempat berbuat apa-apa, aku lihat Sodikin menghilang begitu saja dari tengah hutan. Gerombolan kebingungan. Jadi, kabar burung itu ternyata benar tapi aku tak pernah membicarakannya pada siapapun kecuali istriku. Sekarang ditambah kau sendiri.”
“Apa ada kemungkinan Ibrahim mewarisi ilmu itu?” nada suara Wakijan terdengar gelisah.
“Kalau dia dilatih seumur hidupnya, aku yakin begitu.”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s