Dua Harimau Jawa

jerangkong-kudaJam menunjukkan pukul 3 dini hari. Suasana di rumah Wakijan sepi. Anak buahnya siaga di depan dan di belakang rumah, rasa kantuk yang datang dikalahkan oleh kesadaran bahwa mereka sedang menunggu serangan dari pihak musuh. Wakijan menyimpan parang di kursi ruang tamu dan duduk di sana. Gurunya meluncur turun dari langit-langit rumah lalu berbisik. Wakijan bangkit dan bergerak ke ruang makan.

“Ada empat buah sepeda motor bersiaga di kejauhan. Delapan orang membawa senjata tajam.”
Wakijan mengangguk mendengarkan penjelasan gurunya. Ia berkata, “Mereka tidak akan menyerang, hanya mengawasi dan membeli waktu kalau-kalau kita bergerak.”
“Akan ada saat di mana kau dan Ibrahim harus bicara berdua, kukira itu akan terjadi siang nanti.”
“Ya, kukira begitu. Itu pasti akan terjadi di gudangnya. Bagaimana yang lain?”
“Enam orang termasuk Sudiatmo sudah bergerak ke sini. Kukira sebentar lagi mereka akan siaga di rumah aman. Istriku juga ikut membawa obat-obatan dan menunggu di tempat Mulyati.”
“Sekarang kita sudah punya bayangan, ini waktunya membuat rencana.” Wakijan mengambil gulungan kertas dan membukanya di meja makan yang telah dikosongkan. “Oke, ini petanya.”

Mereka berdua berbincang selama satu setengah jam. Hanya beberapa menit sebelum adzan subuh berkumandang, Haji Wastar sudah menyelinap lagi ke langit-langit rumah dan seisi rumah mulai terbangun. Anak buah Wakijan datang membawa sebuah mobil angkutan umum yang disewa. Saat matahari pagi mulai menerangi perumahan, mobil itu berangkat menuju terminal dengan membawa anak istri Wakijan dan Gunawan. Wakijan duduk di kursi depan sementara empat anak buahnya mengikuti dengan dua buah sepeda motor. Rumah kelihatan kosong namun Haji Wastar masih ada di langit-langit rumah, memantau keadaan. Enam dari delapan orang yang sejak dini hari mengawasi rumah Wakijan pergi berpencar sementara dua orang masih tetap di tempatnya. Haji Wastar memicingkan matanya.
“Anak-anak kecil.” gumamnya sambil mengawasi pengintainya.

Sementara itu keenam saudara seperguruan Wakijan sudah masuk ke dua buah rumah aman. Mereka duduk dengan tenang dan menunggu. Mereka kadang-kadang bercakap perlahan dan ketika hari beranjak siang mereka membuka bekal dan makan. Rumah kosong yang berdebu itu mengepul ketika dua orang di dalamnya melakukan pemanasan dan latihan jurus hampir tanpa mengeluarkan suara. Hanya suara napas. Satu jam kemudian mereka sudah bersimbah peluh. Pintu belakang diketuk dengan ketukan khusus. Dua orang anak buah Wakijan masuk dan segera menjelaskan rencana operasi mereka hari itu. Mereka memerhatikan dengan seksama. Sementara itu di bangsal RSJ Bening Batin yang kosong, empat orang duduk bersila di lantai dengan tenang di bagian selasar kamar mandi yang terbuka menghadap pekarangan belakang yang hijau dipenuhi pepohonan. Walaupun rumah sakit sudah sibuk seperti biasa, tidak ada seorang pun yang tahu bahwa ada orang-orang asing yang diam di bangsal belakang. Mereka semua duduk bersila, tidak ada yang bercakap-cakap. Tak lama kemudian terdengar suara decak halus, mereka semua menengok dengan siaga. Seorang anak buah Wakijan datang untuk menjelaskan rencana hari itu. Mereka semua bicara dengan berbisik sementara satu orang berdiri dekat pintu bangsal, berjaga-jaga kalau-kalau ada orang datang. Saat siang mulai bergerak ke arah sore semua orang sudah tahu apa yang harus dilakukan. Wakijan sudah duduk di rumahnya dengan tenang dan sebuah sepeda motor datang lalu berhenti di depan rumahnya. Dua orang turun dan segera dicegat oleh anak buah Wakijan yang berjaga.

“Pesan untuk Kang Wakijan.”
“Katakan.”
“Kang Ibrahim menunggu kedatangan Kang Wakijan di gudang sekarang juga.”
“Kalian mau menjebak, hah?”
“Tidak. Apapun hasil pembicaraan, keselamatan Kang Wakijan dijamin.”
“Apa jaminannya?”
“Aku jaminannya.” Arifin mengangkat kedua tangannya. Kunto melihat ke belakang, Wakijan sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Ia mengangguk pada Kunto lalu berjalan mendekat. Ia bicara pada Arifin persis di depan mukanya.
“Kalau kalian berbuat curang, kalian pasti hancur.”
Arifin memandang mata Wakijan tanpa rasa gentar sedikit pun.
“Kalau kami ingin kalian hancur, tidak perlu ada pembicaraan seperti ini.”

Wakijan mendengus lalu duduk membonceng sepeda motor. Anak buah Ibrahim menjalankan motornya kemudian berlalu. Arifin didorong masuk ke dalam rumah dan didudukkan di kursi ruang tamu. Anak-anak buah Wakijan memelototinya. Arifin tersenyum lalu berkata,
“Mata kalian mengingatkanku pada mata Gunawan. Dia juga melotot seperti itu saat disembelih.”
“Keparat, kau!” seorang anak buah Wakijan hendak menghajar Arifin tapi dicegah oleh temannya. Suasana di rumah langsung panas. Anak-anak buah Wakijan duduk di kursi ruang tamu dan memandang Arifin lekat-lekat. Arifin hanya berdecak lalu mengambil koran dan mulai membaca dengan tenang. Sementara itu sepeda motor sudah sampai di depan gerbang kompleks gudang milik Haji Sodikin yang kini dikuasai Ibrahim. Pintu seng itu digeser dan sepeda motor pun masuk. Suasana cukup sepi tapi saat mereka mulai bergerak masuk, Wakijan melihat sekitar 14 orang tersebar di berbagai posisi termasuk di atas atap gudang. Ia turun dari sepeda motor dan mulai masuk ke pintu gudang yang besar. Di dalam dingin dan suara-suara agak bergema. Lantai penuh oli tapi tidak ada truk yang parkir sedang diperbaiki. Di tengah gudang berdiri sebuah meja kayu yang tidak terlalu besar. Ibrahim sudah duduk petantang-petenteng sambil minum bir.

“Duduklah dan temani aku minum.” panggil Ibrahim. Wakijan melirik memantau situasi lalu berjalan dan duduk di hadapan Ibrahim. Seorang anak buah Ibrahim membuka kotak pendingin lalu membukakan sebotol bir untuk Wakijan. Ia segera menjauh. Wakijan melihat Ibrahim lekat-lekat. Ibrahim berkata,
“Seharusnya semua ini tidak perlu terjadi kalau saja kau mau bekerja sama denganku, Wakijan.”
“Aku tak sudi jadi pemeras seperti kamu.”
“Ck, ck, ck..” Ibrahim menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau memang sejak dulu tidak tahu diri. Tidak sadar dengan siapa kau bicara.”
“Cukup basa-basinya. Katakan, apa maumu?”
Ibrahim mendekatkan tubuhnya pada Wakijan.
“Enyahlah dari sini. Cukup Gunawan saja yang mati, tidak perlu jatuh korban lain. Akan kubeli rumahmu dan rumah anak-anak buahmu dan semua akan beres.”
“Dan meninggalkan warga pasar untuk kau mangsa, begitu? Dan mengapa kau pikir aku akan diam saja soal Gunawan?”
“O, aku juga tidak akan diam saja soal itu.” ia mengambil sesuatu dari tas yang diselempangkan di kursinya. “Ini untuk anak istri Gunawan.”
Ia melemparkan seamplop besar uang kertas. Debu mengepul saat amplop itu jatuh di atas meja. Dilihat dari tebalnya kelihatannya jumlahnya cukup banyak.
“Kau mau menghargai nyawa orang dengan uang dalam amplop ini?”
“Kenapa? Kau mau lebih? Mau minta bagian?”
“Kau tahu bukan itu maksudku.” Wakijan berkata geram.
“Kenapa kau kesal? Aku berusaha sudah lama menjelaskan maksudku padamu, kau harus enyah dari sini, tapi kau tidak pernah mengerti atau pura-pura tidak mengerti. Ini wilayahku. Aku mewarisinya dari ayahku. Masak begitu saja kau tidak mengerti? Sekarang karena Gunawan sudah mati, mungkin kau akhirnya sadar bahwa aku tidak main-main.”
“Kenapa kau berbuat seperti ini? Pak Haji tidak akan setuju dengan caramu, kau tahu?”
“Pak Haji sudah wafat, Wakijan.”
“Aku tidak mengerti, apa sih maumu? Kau mau masuk politik? Mau jadi bupati? Apa kau tidak sadar bahwa dengan memeras warga pasar kau akan membuat pasar kosong? Mereka semua akan pindah, mengerti kau?”
“Para pedagang datang dan pergi. Memangnya kenapa?”
“Dulu Pak Haji mengamankan pasar dari orang-orang seperti kau, Ibrahim.”
Ibrahim menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Jadi kau tidak mau pergi?”
Wakijan berdiri.
“Kalau kau mau menguasai Pasar Abimanyu, langkahi dulu mayatku. Aku tidak akan mundur sejengkal pun. Aku membawa amanat warga pasar, aku akan membela mereka seperti Pak Haji dulu. Dan kami tidak sudi menerima satu sen pun uangmu.”
Wakijan mengibaskan tangannya dan amplop yang tertampar itu melesat ke arah wajah Ibrahim. Ibrahim dengan refleks menangkis. Amplop itu robek di udara dan uang kertas beterbangan menyiram tubuhnya.
“Keparat, kau, Wakijan!” Ibrahim berteriak keras dan tidak sampai sedetik kemudian suara tembakan yang keras menggema di dalam gudang. Wakijan menyadari sejak awal bahwa ia mungkin sekali dikeroyok dalam pertemuan ini, ia telah berusaha bergerak secepat mungkin namun peluru menembus pinggangnya. Sementara itu di rumah Wakijan, Arifin terbelalak dan megap-megap. Darah membanjir dari mulutnya. Ia memegangi gagang parang yang menembus lehernya dari samping dan menancap dalam di kusen pintu depan. Dua orang anak buah Wakijan pingsan bergeletakan di lantai, kursi dan meja sudah terbalik. Satu orang anak buah Wakijan sedang menggelepar meregang nyawa, memegangi lehernya yang robek besar. Darah membanjiri lantai ruang tamu dan dari sela-sela jari-jemarinya, darah muncrat naik turun sesuai irama degup jantung yang penghabisan. Haji Wastar berjalan mendekati Arifin lalu mencabut parangnya. Arifin ambruk ke lantai dan terkejang-kejang sambil mengeluarkan suara seperti seekor sapi digorok saat perayaan Idul Adha. Semua yang semula menunggu, kecuali istri Haji Wastar, bergerak keluar dari kedua rumah aman, mendekat ke arah pasar dan gudang Ibrahim.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s