Pak Hassan dan istrinya menyiapkan makan malam di paviliun mereka. Ibu Dariah masuk sambil membawa dua lauk yang ia masak sendiri tadi sore. Malam agak pengap karena awan jenuh air yang berkumpul bergulung-gulung sejak beberapa hari lalu tidak juga mencurahkan hujan. Bu Hassan membuka jendela ruang makan dan menyalakan kipas angin.
“Ada perkembangan baru di pasar?” tanya Ibu Dariah. Pak Hassan mengangguk.
“Ada yang bilang Gunawan dibunuh.” jawabnya dengan nada khawatir.
“Siapa itu Gunawan?”
“Tangan kanan Wakijan.” jawab Bu Hassan sambil mengambilkan nasi untuk semua orang.
“Astaga! Lalu kalian sudah lapor polisi?”
“Sudah, polisi sudah tahu.”
“Lalu bagaimana?”
“Keluarga Gunawan sudah diungsikan. Aku dengar anak istri para anak buah Wakijan pun sudah mengungsi semua. Ini benar-benar pertanda tidak baik.”
“Perang akan pecah, Bu. Orang-orang pasar sudah bersiap-siap semua.”
“Kami tidak akan ke pasar besok, entah sampai kapan. Perang bisa pecah kapan saja.”
“Kok polisi tidak bertindak apa-apa?”
“Ini perebutan wilayah.” Pak Hassan mengambil lauk. “Sesudah Haji Sodikin wafat, semua orang sudah tahu cepat atau lambat ini pasti terjadi, termasuk polisi. Ini tidak bisa dicegah. Kalau aku jadi polisi, aku akan biarkan mereka saling bunuh dan bekerja sama dengan pemenangnya nanti.”
“Kok begitu?”
“Ya, mau bagaimana lagi? Ibrahim dan Wakijan sama-sama merasa berhak terhadap wilayah itu dan tidak ada yang mau mengalah. Buat mereka ini bukan hanya masalah bisnis tapi masalah harga diri.”
“Lalu orang-orang pasar bagaimana?”
“Kami semua mendukung Wakijan.”
“Kamu tidak ikut-ikutan perang, kan?” tanya Ibu Dariah khawatir. Bu Hassan tertawa.
“Orang macam begini kok ikut perang? Pantasnya dia perang sama saya, Bu, di atas ranjang.”
Mereka semua tertawa tapi rasa khawatir menyelimuti malam dan melayang-layang dalam pikiran semua warga pasar. Semua menanti-nanti dengan cemas, kapan perang akan dimulai dan bagaimana hasilnya kelak. Nasib mereka semua akan ditentukan oleh hasil perebutan wilayah itu dan beberapa pedagang sudah berpikir untuk pindah tempat kalau ternyata Ibrahim yang menang.
Sementara itu, jauh di Selatan, salah seorang murid Haji Wastar memacu sepeda motornya meninggalkan sebuah bengkel las yang kotor. Suara gerinda dan pijar-pijar besi yang dilas memenuhi udara. Seorang lelaki kekar dengan tubuh berkeringat dan kotor memandang sepeda motor itu sampai menghilang. Ia lalu bicara pada tangan kanannya dan segera pulang ke rumah. Ia adalah Sudiatmo, murid Haji Wastar dan sekaligus sahabat Wakijan. Ia hanya bilang pada istrinya bahwa ia dipanggil gurunya selama beberapa hari. Ia mandi lalu berkemas dan memasukkan senjatanya ke dalam tas olah raga. Ia berangkat naik bis menuju terminal yang berlokasi tidak jauh dari rumah Haji Wastar. Dalam waktu yang bersamaan, sebuah mobil pickup berisi dua orang juga melaju ke arah yang sama. Pengemudinya lebih muda, wajahnya keras dan tubuhnya amat berotot, tapi ia mengemudi dengan tenang dan waspada. Di sebelahnya duduk seorang laki-laki yang tidak kalah kekarnya namun berusia sekitar 10 tahun lebih tua. Ia termenung sambil merokok. Ingatannya melayang pada masa-masa berlatih di bawah bimbingan Haji Wastar dengan Wakijan. Ia mengingat Wakijan yang kuda-kudanya tidak bisa dipatahkan, yang bisa merobohkan pohon pisang dalam lima kali tendangan dan kepalannya keras sekali. Wakijan juga ahli menggunakan berbagai macam senjata tajam terutama parang panjang. Ia agak tidak habis pikir, siapa musuh Wakijan? Orang itu pasti tidak tahu bagaimana kekuatan Wakijan yang sebenarnya. Dan mengapa semua murid dipanggil? Pertanyaan-pertanyaan itu berlalu bersama angin, bersicepat dengan sebuah sepeda motor yang meraung dari arah timur, dipacu dengan cepat oleh pengemudinya. Dari Barat, dua orang sedang menumpang truk dengan tujuan searah. Saat itu masih siang, baru lewat tengah hari. Pada sore harinya dalam waktu yang tidak jauh bersamaan, saudara-saudara seperguruan sudah berkumpul di rumah Haji Wastar, disambut oleh istrinya.
“Yang akan kalian hadapi bukan orang sembarangan.” Ibu Haji menerangkan di teras rumah. “Dia bernama Ibrahim, anak angkat dan murid Haji Sodikin sendiri.”
Para murid saling berpandangan.
“Aku kira Haji Sodikin hubungannya baik-baik saja dengan Pak Haji Wastar.”
“Memang, mereka teman lama dan tidak pernah terlibat perselisihan apa-apa. Tapi Haji Sodikin sudah wafat dan sekarang Pasar Abimanyu dikuasai oleh Ibrahim. Pasar jadi tidak aman karena anak buahnya memeras para pedagang dengan menaikkan uang keamanan berkali-kali lipat. Warga pasar meminta bantuan Wakijan untuk menertibkan pasar.”
Para murid mendengarkan dengan serius.
“Wakijan menginginkan semua keributan tidak boleh terjadi di lokasi pasar. Harus dilakukan sejauh mungkin supaya tidak mengganggu kegiatan jual beli dan membuat para pembeli takut.”
Ibu Haji membuka sebuah gulungan kertas minyak penuh gambar. Itu adalah sebuah peta wilayah yang sudah diberi titik-titik penting berikut segala keterangannya. Semua memerhatikan baik-baik.
“Ini Pasar Abimanyu. Kantor polisi ada 2,5 kilometer di timur. Pasar ini berlokasi strategis di tengah kota. Ini rumah Wakijan, ini rumah Ibrahim. Haji Sodikin punya gudang yang dulu digunakan untuk menyimpan beras tapi tempat itu sudah lama tidak dipakai. Ibrahim dan anak buahnya bermarkas di sini. Sekarang tempat ini mereka gunakan untuk bengkel truk kawan-kawan mereka.”
“Kita punya rumah aman?” tanya salah seorang murid. Ibu Haji mengangguk.
“Ada dua. Pertama di sini, dari pasar terus lurus ke barat sejauh 1 kilometer. Ini daerah bengkel las dan cat mobil. Ada sebuah rumah kumuh yang digunakan untuk kantor penjualan barang antik. Pagarnya warna hijau, satu-satunya di daerah itu. Ini rumah dan kantor Mulyati. Suaminya dulu bekerja untuk Haji Sodikin tapi sekarang sudah meninggal. Rumah ini punya pintu menuju brandgang, dari situ kalian bisa berjalan sampai menemukan pintu merah. Ini kuncinya. Rumah itu kosong dan aman. Catatlah.”
Semua murid mencatat dan menyalin semua data yang diperlukan.
“Yang kedua ada di sini. Sekitar 1 kilometer di arah timur pasar. Sesudah perempatan besar di sini, daripada melewati jalan utama sebaiknya ambil gang di sebelahnya supaya tidak menarik perhatian. Ikuti gang itu terus sampai menemukan sebuah tanah kosong tanpa pagar dan penuh pohon besar. Rumputnya tinggi, sedada kalian. Seberangi tanah kosong berumput itu sampai kalian menemukan dinding setinggi empat meter yang bawahnya berlubang. Sesudah masuk lubang itu kalian akan sampai di pekarangan belakang belakang sebuah rumah sakit. Jangan khawatir, pekarangan itu sepi dan penuh pepohonan, tidak ada yang memerhatikan lubang itu. Kalian bisa menyusuri dinding tinggi itu sampai menemukan sebuah bangsal yang sudah lama tidak dipakai. Selama kalian tidak membuat keributan, bangsal itu aman dan kalau tiba-tiba ada orang datang, kalian bisa dengan mudah bersembunyi.”
Para murid mencatat semuanya dengan teliti.
“Sekarang kalian harus menyebar. Dua orang di rumah aman yang pertama. Sisanya di rumah kedua. Perintah akan dikirim tengah malam ini lewat kurir. Pak Haji sendiri yang akan memimpin. Ada pertanyaan?”
“Rumah sakit apa ini namanya?”
“Itu sebuah rumah sakit jiwa, namanya Bening Batin.”