Tentang Tulisan “Empat Tertawan”

gagaljantungKawan-kawan yang setia, saya sudah tiba di Ungaran dan senang sekali bisa bercengkerama lagi dengan anak dan istri yang amat saya rindukan. Selama di Bandung, saya membuat sebuah karya tulis berupa sebuah dongeng anak-anak, sesuatu yang amat mewarnai kehidupan saya sejak mulai bisa membaca (saya mulai lancar membaca di kelas 2 SD, pada usia delapan) dan mulai membaca buku cerita seri Cerita dari Lima Benua yang diterbitkan oleh Gramedia sampai kira-kira pertengahan SMP pada tahun 1988 di Bandung yang belum terlalu ramai. Pada saat-saat itu saya juga merupakan pendengar setia Sanggar Cerita, sebuah persembahan dari Sanggar Prathivi, yang mengisahkan banyak sekali kisah dari Nusantara dan manca negara dalam bentuk audio.

Saya berpartisipasi dalam sebuah lokakarya menulis yang dipandu oleh teman saya di kampus, Okke Sepatu Merah, yang diselenggarakan di Tobucil, Bandung, pada hari Sabtu, 21 Juni 2014. Saya agak malu karena datang cukup terlambat tapi saya mengikuti lokakarya tersebut sampai habis dan mendapatkan sesuatu yang berharga, berkaitan dengan penulisan saya. Ketika acara lokakarya selesai, kami sepakat untuk membuat sebuah blog di mana kami semua bisa bergabung dan mengunggah tulisan masing-masing. Blog itu berada di tautan ini.

Minggu berikutnya saya sibuk karena harus melakukan pemotretan tiga hari berturut-turut untuk karya saya, saya khawatir tidak bisa memenuhi deadline. Akhirnya saya berusaha tidur lebih cepat dan bangun lebih pagi supaya saya bisa menulis sebelum bekerja. Pada hari Selasa, 24 Juni 2014, naskah saya selesai dan saya langsung mengunggahnya di blog yang telah dibuat oleh Okke (seharusnya oleh saya tapi belum sempat :D). Okke langsung membacanya dan menyarankan saya untuk memasukkan naskah tersebut ke sebuah Lomba Menulis Dongeng Anak Nusantara Bertutur 2014. Sesudah membaca semua persyaratannya, saya merasa karya saya bisa diikutsertakan. Saya segera menggubah dan menyunting naskah awal saya menjadi “lebih Indonesia” karena naskah aslinya berjudul “Penculikan Hansel dan Gretel”, mengambil inspirasi dari kisah Jerman ciptaan The Brothers Grimm. Dongeng saya pun selesai pada hari Jumat, 27 Juni 2014 dan saya mengirimkannya pada panitia sehari kemudian. Sayangnya, lomba tersebut mensyaratkan semua karya tulis yang diikutsertakan dalam lomba tidak boleh dimuat di media apapun baik offline maupun online. Okke pun menyarankan kisah yang saya tulis dan unggah di website lokakarya kami dihapus. Saya pun menghapusnya sehari kemudian.

Saya menulis kisah itu dengan mengambil inspirasi dari dongeng versi audio dari Sanggar Prathivi yang berjudul “Kumala di Perut Buaya”. Dari sanalah nama “Ning Kumala”, sang penyihir tua yang buta diambil. Dari dongeng itu juga saya mengambil sebuah wilayah geografis, “Rungandi Tumbang Rakumpit”. Saat melakukan pencarian di internet saya menjadi bingung karena nama tempat ini. Di internet, saya menemukan kisah yang berjudul “Bawi Kuwu Tumbang Rakumpit” yang kemungkinan adalah kisah asli yang menginspirasi dongeng “Kumala di Perut Buaya”, mengisahkan anak gadis kepala suku yang disambar buaya jadi-jadian dan dijadikan permaisurinya. Dalam kaset, saya merasa mendengar Haja Singa, kepala suku dan ayah Kumala bicara, “…karena itu larangan bagi kita yang mendiami Rungandi Tumbang Rakumpit.” namun dalam tautan kisah “Bawi Kuwu”, daerah geografisnya disebut “…di tepian Sungai Rungan di Rakumpit”. Rakumpit sendiri adalah nama sebuah kecamatan di kota Palangka Raya di Kalimantan Tengah.

Jadi, saya tidak yakin apakah saya mendengar “…Rungandi Tumbang Rakumpit” atau “…Rungan di Tumbang Rakumpit”. Lagipula, apa makna kata “Tumbang” di sini? Apakah itu berarti ‘mati’? Dalam kisah aslinya, Bawi Kuwu (gadis pingitan, dalam versi Sanggar Cerita bernama “Kumala”) memang akhirnya mati. Perbedaan ini membuat saya bingung dan sebagai orang Jawa yang belum pernah pergi ke Kalimantan sama sekali, apalagi menyelami kehidupan berbudayanya, saya akhirnya sadar bahwa mungkin sekali saya membuat kesalahan pembuatan nama wilayah dalam dongeng saya. Pada akhirnya, saya memilih untuk menafsirkan nama wilayah itu sebagai “Rungandi Tumbang Rakumpit” karena saya benar-benar jatuh cinta dengan nama itu sejak pertama kali saya mendengarnya. Saya merasakan sesuatu yang begitu dekat sekaligus begitu jauh dalam nama tersebut. Maka bila suatu saat ada orang yang menyalahkan saya berkaitan dengan nama wilayah tersebut, dengan lapang dada saya akan menerima dan mau belajar lebih jauh.

Tulisan saya lebih jauh juga diinspirasi oleh episode Sanggar Cerita dengan judul “Serbuk Ajaib” yang mengisahkan seekor burung hantu (yang sebenarnya ratu sebuah kerajaan yang dikutuk penyihir jahat) mencuri dengar dan mengajarkan mantera untuk berubah kembali jadi manusia pada dua ekor burung bangau yang sebenarnya adalah raja dan perdana menteri Kerajaan Astralam yang telah ditipu oleh sang penyihir. Selain dua inspirasi tersebut, saya melakukan riset kecil-kecilan di internet untuk mencari nama laki-laki dan perempuan masyarakat suku Dayak Kenyah, dan menemukan nama Saduri dan Sarita yang menurut saya bagus sekali. Sarita adalah nama teman SMA saya yang selalu membantu saya karena dia bekerja di perusahaan kargo. Saya juga mencari nama-nama batu mulia yang berasal dari Kalimantan. Saya ingat tentang batu-batu mulia karena saat kuliah saya sempat diberi sebuah cincin yang terbuat dari batu Karnelian oleh ibu saya. Cincin itu jadi cincin kesayangan saya sampai dua atau tiga tahun.

Proses menulis cerita ini sangat menyenangkan walaupun diburu waktu. Sesudah mengirimkan naskahnya ke panitia lomba, saya baru tersadar bahwa kisah berlatar belakang Nusantara ini bukan yang pertama saya buat. Yang pertama adalah sebuah kisah dari tahun 2013 lalu, kisah Papa Umbu, seorang pemburu perkasa dari Flores, yang berusaha membunuh seekor babi hutan emas raksasa di Pulau Sulawesi. Cerita ini saya rekam menjadi sebuah rekaman audio dengan diberi iringan musik yang berasal dari album “Kurmat Pada Tradisi” karya Bapak Rahayu Supanggah yang bagus sekali, melalui email saya telah diizinkan untuk menggunakan karya beliau untuk dongeng saya.

Karena saya merasa bahwa salah satu karakter saya, cara saya memandang dunia, juga dibentuk oleh dongeng, saya merasa terpanggil untuk terus menulis dongeng-dongeng Nusantara yang memiliki nilai kemanusiaan universal dan terbebas dari dogma agama apapun juga. Saya harap ini bisa jadi hobi baru, bahkan bila mungkin, jadi karir kedua saya setelah karir saya yang pertama di dunia seni rupa. Yah, saya masih belum tahu, yang pasti saya menikmati prosesnya. 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s