Saya belum pernah menulis resensi buku satu kali pun seumur hidup saya. Kalau saya sedang terpikat pada sebuah buku biasanya saya hanya bercerita saja (kadang-kadang dengan menggebu-gebu) pada istri atau teman-teman saya tentang bagaimana indahnya membaca buku tersebut. Barangkali karena sekarang saya sedang mulai rajin menulis dan amat tertarik pada kisahnya, saya merasa terdorong untuk menulis semacam resensi buku di blog ini. Untuk alasan tersebut saya harap Anda memaklumi bila tulisan ini tidak memiliki analisa dan kritik sastra yang bernas karena bagaimanapun saya hanya seorang perupa. Alih-alih, tulisan ini semata-mata berusaha menggambarkan apa yang saya rasakan secara pribadi saat membaca novel tersebut.
Novel yang saya maksud berjudul “Bandar” karya Zaky Yamani, penulis yang tinggal di Bandung, diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, 2014. Saya mendapatkan buku ini saat melawat ke Bandung untuk urusan pekerjaan dan membacanya pada hari-hari terakhir lawatan saya. Di permukaan, novel “Bandar” berkisah tentang sebuah keluarga yang menguasai peredaran ganja. Kisah ini saja sudah kontroversial namun bila dibedah lebih dalam novel ini sebenarnya bercerita tentang sebuah perjalanan hidup yang rumit dan tragis tentang tiga-empat generasi keluarga yang penuh kemelut di Jawa Barat, dimulai sejak kalahnya Jepang dan pecahnya pertempuran antara tentara Republik dengan tentara Darul Islam pascakemerdekaan Republik Indonesia. Sebagai seorang pecinta sejarah, film perang dan penggambaran kekerasan, bagian inilah yang mulai menyedot perhatian saya. Ada pepatah mengatakan, “Perang hanya menarik bagi mereka yang belum pernah mengalaminya”. Pepatah itu benar adanya namun saya tidak bisa mengabaikan keterpukauan saya saat membayangkan kehidupan di pedesaan Jawa Barat yang penuh teror saat pasukan Republik dan Darul Islam saling bertempur dan “membagi” kekuasaan berdasarkan waktu alih-alih wilayah geografis: pada siang hari pedesaan dikuasai Republik, di malam hari dikuasai Darul Islam. Bagaimana rasanya hidup pada masa itu, di sebuah pedesaan di tepi rimba, jauh sebelum ada listrik, air ledeng, televisi, telepon selular dan internet? Saya hanya bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup di tengah ancaman konstan, dicekam ketakutan menghadapi ketidakpastian, tidak bisa tidur karena gelisah mendengarkan suara kontak senjata yang semakin mendekat dan naik sepeda melewati jalanan dengan potongan-potongan kepala manusia berbau mayat digantung di tepiannya.
Bagian yang hanya diceritakan sekilas ini amat mencekam dan menempel dalam ingatan saya. Saya memelajari pergerakan DI/TII untuk kepentingan karya saya pada tahun 2009, itu semua memang terjadi. Saya juga ingat cerita ayah saya yang saat itu masih kanak-kanak, tinggal di Desa Margasari, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, saat “gerombolan” (begitu pasukan Darul Islam disebut di sana) masuk ke desa-desa dan merampok bahan makanan. Mereka pernah merampok kerbau-kerbau milik keluarga, membuat nenek saya histeris. Di Margasari kabar akan segera tersebar bila gerombolan mendekat. Para pemuda akan bersembunyi di rumpun-rumpun bambu yang gelap, khawatir diculik untuk direkrut menjadi anggotanya. Untungnya tidak ada satu pun dari anggota keluarga ayah saya yang disakiti atau terluka. Kerbau-kerbau pun, entah bagaimana caranya, kembali sendiri masuk ke kandang keesokan paginya. Membaca bagian singkat ini saya merasa turut hadir di Wanaraja, tempat kelahiran Dewi, salah satu tokoh kunci dalam novel ini, dan merasakan cekaman teror yang dialami semua orang. Sesudah bagian ini, saya mulai tidak bisa berhenti membaca.
Dari halaman ke halaman, kisah yang ditulis Zaky meluncur seperti mobil yang bergerak cepat dengan arah yang tak terduga. Penggalan-penggalan ceritanya mengisahkan kultur yang didominasi laki-laki, keserakahan dan kepentingan ekonomi, nafsi-nafsu, kemuakan dan pemberontakan yang membuat saya jatuh iba pada sosok Dewi, bayi cantik yang dipuja-puja ayahnya. Dalam kebanyakan dongeng, walaupun awalnya selalu menderita, sang putri cantik biasanya selalu menang tapi tidak demikian kisahnya dalam novel Zaky. Tragedi demi tragedi membuat Dewi harus mengambil keputusan-keputusan sulit dan terperosok berulang kali sampai ke dasar jurang penderitaan. Saya heran, kenapa Dewi tidak bunuh diri? Toh dia tidak terlalu religius dan tidak akan mencemari nama siapapun karena sudah tercerabut dari keluarganya. Namun drama kehidupan terus diungkap oleh sang penulis karena dalam pedihnya penderitaan tiba-tiba muncul harapan. Namun saat Dewi mulai merasa mampu meneruskan kembali hidupnya, harapan itu direnggut dan ia bahkan jatuh lebih terpuruk daripada sebelumnya. Sosok Dewi dalam kisah ini disiksa, menjadi obyek permainan takdir yang kejam dan tanpa tedeng aling-aling. Bila manusia selalu gamang dan gelisah menghadapi ketidakpastian masa depan, kisah hidup Dewi adalah gambaran kenyataan yang bahkan lebih menyeramkan daripada mimpi buruk yang selalu ditakutkan akan terjadi. Mudah sekali merasakan ketegangan membaca kisah seorang gadis cantik yang begitu rapuh di tengah panasnya suasana peperangan, di mana semua orang pada akhirnya hanya mementingkan keselamatan dan kesejahteraan diri sendiri. Paparan pada bagian ini membuat saya tertegun. Bukan hanya karena kisah semacam ini mungkin (atau telah) terjadi dalam dunia nyata namun juga karena saya bisa membayangkan diri saya menjadi orang-orang jahat yang memperbudak dan memanfaatkan Dewi, termasuk juga menjadi mereka yang mencintai dan melindungi, bahkan menjadi Dewi sendiri.
Didorong oleh situasi yang serba sulit dan pilihan yang terbatas pada akhirnya Dewi berusaha mengambil alih kendali hidupnya dan pergantian generasi pun terjadi. Saya kira yang membuat saya tetap bersemangat membaca novel ini adalah dibukanya tirai dunia kelam yang jauh berbeda dengan kehidupan saya sehari-hari. Alih-alih segala kekurangan yang dimiliki keluarga kami, saya adalah anak sekolahan yang beruntung bisa mengenyam pendidikan yang cukup untuk jadi bekal hidup mandiri. Walaupun saya pernah merasakan kerasnya kehidupan, saya tidak pernah mengalami kondisi di mana saya terpaksa harus bekerja lebih dulu sebelum bisa makan pada masa pradewasa. Saya juga bukan jenis orang yang harus berkelahi supaya bisa bertahan hidup di masa damai. Saya kira karena itulah saya, termasuk jutaan pembaca dan pemirsa lainnya, senang dengan kisah para preman dan mafia yang kelam, curang, culas, tanpa kepastian dan penuh kekerasan. Kita bisa melihat drama dan tragedi dari sebuah jarak aman tanpa tersentuh konsekuensinya.
Lain dari itu, kisah dalam novel ini “Bandung pisan“, aroma Sundanya amat kental. Umpatannya berbunyi “anjing!”, akrab di telinga saya sejak kecil. Saya mulai membaca novel ini di rumah orangtua saya, di Gang Kina, Pajajaran, sementara paparan bagian awal dan akhir novel ini mengisahkan kehidupan keturunan Dewi di Gang Somad. Kehidupan di dalam gang berbeda dengan kehidupan di kompleks perumahan (yang semi indivualistis dan penghuninya orang-orang baru semua) atau di pinggir jalan primer/sekunder (yang bisa jadi dihuni oleh orang lama tetapi lebih individualistis lagi). Di gang di mana rumah orangtua saya berada para penduduk asli tinggal di sana sejak lama sekali, lebih dari tiga generasi, persis seperti yang digambarkan Zaky tentang Gang Somad. Saya kenal betul kehidupan di dalam gang yang jalannya hanya bisa dilalui dua sepeda motor yang berpapasan (beberapa lebih sempit lagi). Di tempat seperti itu kadang-kadang tidak ada privacy. Tetangga yang sudah akrab bisa langsung masuk ke rumah nyaris tanpa mengetuk pintu. Jarak antara kita dengan tetangga sampai pada taraf bisa mendengar percakapan tetangga sebelah yang sedang memasak sekaligus mencium aroma masakannya. Dari ruang tamu saya bisa mendengar suara tawa mereka yang melintas, racauan para pemuda mabuk, jeritan anak-anak kos yang sedang menonton pertandingan Piala Dunia, suara burung dan anjing, suara pedagang dan tentu saja suara adzan dari mesjid RW. Semua terdengar begitu keras seperti berasal dari rumah sendiri. Walaupun demikian, bahkan Gang Kina dengan Gang Somad nampak jauh berbeda seperti bumi dan langit karena walaupun di Gang Kina juga terdapat wilayah yang cukup kumuh, Gang Somad adalah sebuah “dunia bawah” berhukum rimba, sebuah dunia “anjing makan anjing”. Kesamaan dan perbedaan antara Gang Somad di dalam novel dengan Gang Kina yang saya tinggali selama hampir 20 tahun membuat sebuah ikatan khusus dalam hati saya. Membaca kisah para preman dan mafia yang beroperasi di Gang Somad, termasuk lika-liku politik ekonomi dan kekuasaan yang melingkupinya, membuat saya merasa ini bukan hanya sebuah kisah kekerasan biasa. Ini adalah jenis kekerasan yang ada di sekeliling saya. Dekat, nyata dan pada akhirnya memengaruhi cara saya hidup dan memandang dunia. Dan Zaky menulis dengan gaya realisme yang jauh dari berbunga-bunga, bahkan bila perlu kasar dan vulgar, cocok dengan dunia yang hendak digambarkannya. Novel ini ditutup dengan sebuah pertanyaan pada Parlan, generasi terakhir dalam cerita, jalan mana yang akan dipilihnya untuk melanjutkan hidup? Bagi saya itu bagaikan sebuah pertanyaan bagi diri saya sendiri, hendak saya bawa ke mana hidup saya setelah mengetahui sejarah panjang kehidupan orang-orang sebelum saya? Maka ketika saya akhirnya menamatkan novel ini (bukunya langsung disambar istri saya), saya merenungi kembali kisahnya, membandingkan kehidupan para pemeran dalam novel ini dengan kehidupan saya sendiri. Kisah dalam novel “Bandar” terasa dekat sekaligus jauh dengan kisah hidup saya. Barangkali karena itu saya merasa novel ini telah mengambil tempat di dalam hati saya dan saya masih akan mengingatnya untuk waktu yang lama.
Saya menemukan dua kekurangan teknis dan ini tidak berhubungan dengan mutu sastrawi novel ini. Pertama adalah huruf yang dipilih untuk bagian isi yang menurut saya agak terlalu kurus dan terlalu tipis. Saya kurang menyukai huruf sans-serif untuk bacaan panjang dan lebih menyukai huruf yang proporsional daripada yang tinggi-langsing. Barangkali karena saya sudah mulai uzur, saya juga merasa hurufnya terlalu kecil dan spasinya agak terlalu rapat. Apakah buku ini hanya ditargetkan bagi pembaca muda yang matanya masih awas? Mungkinkah kisah ini dibaca oleh seorang pensiunan seperti ayah saya yang, walaupun matanya sudah tidak awas lagi, pernah mengalami secara langsung persentuhan dengan gerombolan Darul Islam? Lain dari itu saya menyukai jenis kertas yang digunakan dalam buku ini. Walaupun tidak amat ringan, warnanya tidak putih cemerlang sehingga membantu proses membaca karena tidak terlalu memantulkan cahaya dan meletihkan mata. Kekurangan yang kedua adalah sampul buku yang berwarna putih. Antara tahun 2003-2006, saya mencari nafkah dengan menjadi ilustrator sampul buku untuk Bentang Pustaka, sebuah penerbit di Yogyakarta yang menerbitkan karya-karya sastra terjemahan dari manca negara. Dalam periode tersebut saya menghasilkan sekitar 20-an rancangan sampul, sebagian sudah diterbitkan. Salah satu rancangan yang paling saya banggakan, “Siddhartha” karya Hermann Hesse (tanpa logo penerbit di sampul depannya karena ego artistik saya), dibuat bersampul putih. Buku itu tampak bagus sekali saat baru dibuka dari plastiknya namun dalam sekejap menjadi kumal dan kotor karena seperti warna hitam pekat (seperti dalam kasus sampul buku “Supernova: Akar”, Dewi Lestari, Truedee Books, cetakan tahun 2003), warna putih amat sensitif terhadap noda, padahal sampulnya sudah diberi laminasi. Semenjak saat itu saya menghindari penggunaan warna yang terlalu terang atau terlalu gelap untuk sampul buku, supaya sampulnya bisa terlihat lebih bagus untuk waktu yang lebih lama. Walaupun begitu, saya suka sekali dengan gaya ilustrasi Resatio, seniman kolase yang menurut saya memiliki sebuah sentuhan artistik yang elegan dengan gaya “retro” litografi Eropa abad ke-19 namun mampu mengembangkannya lebih jauh menjadi sebuah gaya yang unik, rapi dan bercerita. Sesosok gadis berkepala kelinci yang “tanpa dosa” sedang duduk di atas sekuntum bunga (Papaver?) diintai sebutir biji mata yang mengintip dibayangi bulan yang misterius dan sebatang Cannabis indica. Ilustrasi ini dengan cantik sekaligus kuat melambangkan sosok Dewi dan mewakili seluruh kisah dalam novel ini.
Maka demikianlah “resensi” novel “Bandar” yang saya buat. Saya harap akan ada resensi-resensi lain yang lebih kritis mengulas mutu sastrawi novel ini sehingga bisa membantu kekaryaan dan karir sang penulis lebih jauh lagi. Saya bermaksud mengakhiri tulisan ini dengan mengucapkan selamat pada Zaky Yamani, sang penulis; Reita Ariyanti, sang penyunting dan Resatio Adi Putra, sang ilustrator, yang telah bekerja keras untuk menghasilkan novel “Bandar” yang telah mencekam dan merebut hati saya. Saya kira Gramedia tidak keliru memilih naskah ini untuk diterbitkan.