Pak Sidharta adalah kepala Studio Patung yang dipindahkan sementara untuk menjadi kepala Studio Lukis di ITB pada paruh kedua tahun 1994. Selain itu, Beliau juga diminta untuk memegang mata kuliah Studio Lukis 311 (tingkat 3 semester 1). Kepindahan itu membuat Beliau kesal dan Pak Sidharta tidak menyembunyikan perasaan tersebut. Pada saat itu Jurusan Seni Murni selalu kekurangan tenaga pengajar sehingga para dosen secara bergiliran selalu diberi pekerjaan lebih untuk mengurusi hal yang sebenarnya berada di luar tanggung jawabnya. Yang pertama Beliau lakukan saat menjadi kepala Studio Lukis adalah membereskan ruangan studio yang berantakan. Kanvas-kanvas sisa penilaian semester-semester lalu dirapikan, lantai dibersihkan, acara cekikikan dan main gitar sambil bertelanjang dada pada jam kuliah dibubarkan, dan semua mahasiswa perokok—termasuk saya—harus menggunakan asbak. Pak Sidharta pun mengumpulkan kami, tujuh orang mahasiswa Studio Lukis angkatan 1992. Beliau menjelaskan tata perkuliahan di bawah bimbingannya, “Pertemuan satu jam setiap hari Senin, mulai jam 9 pagi, jangan terlambat.”
Pada pertemuan pertama kami diminta untuk menjelaskan kekaryaan semester lalu sambil menunjukkan karya-karya kami secara langsung di hadapan Beliau. Semua paparan kami dicatat dalam sebuah buku hitam besar, semacam buku agenda yang selalu Beliau bawa setiap pertemuan Senin pagi. Pak Sidharta meminta kami membawa sketsa karya yang akan kami jadikan proyek kekaryaan pada semester tersebut. Semua mahasiswa bersemangat karena semester tersebut adalah kala pertama bagi kami untuk bebas menentukan tema sendiri saat berkarya di studio. Selama dua semester sebelumnya materi sudah ditentukan dalam program Trisula: kubisme, simbolisme dan ekspresionisme. Seminggu kemudian setiap mahasiswa memperlihatkan sketsa-sketsa yang dibuat di rumah. Pak Sidharta memperhatikan dengan saksama, bertanya, dan memberi komentar. Secara jelas Beliau mengatakan bahwa apabila kami belum mendapat lampu hijau, kami belum boleh berkarya. Semua sketsa harus disetujui dulu oleh Beliau sebelum kami diizinkan melanjutkan kerja ke tahap berikutnya. Bila sketsa sudah disetujui, kami boleh mulai melukis dan tidak perlu lagi ikut pertemuan Senin pagi. Pak Sidharta mencatat semua paparan kami seorang demi seorang di buku hitamnya. Ada yang ditanya ini-itu, ada yang dipertanyakan logikanya, ada yang dibantai. Saya sudah lupa sketsa macam apa yang saya bawa di pertemuan tersebut, tapi yang pasti presentasi saya termasuk yang dibantai.
Tidak mudah mendapatkan persetujuan Pak Sidharta dan Beliau seperti memiliki standar yang berbeda-beda untuk setiap mahasiswa. Sepertinya Pak Sidharta melihat dan menaksir potensi dan karakter kami masing-masing lalu membandingkan kesesuaiannya dengan sketsa-sketsa yang kami bawa. Seingat saya, sesudah dua atau tiga kali presentasi, beberapa mahasiswa pertama mulai disetujui sketsanya dan mereka sudah bisa mulai bekerja, melukis di atas kanvas. Saya tidak termasuk dalam kelompok itu. Sketsa-sketsa saya tidak pernah disetujui dan pada saat itulah untuk pertama kalinya saya mulai mendengar Pak Sidharta mengatakan, “Omong kosong!” saat saya membuat presentasi. Saya betul-betul lupa seperti apa sketsa atau cara saya bicara, tapi saya ingat Pak Sidharta selalu kelihatan kesal dan tidak sabar setiap kali melihat sketsa dan mendengar presentasi saya. Kemungkinan besar saya bicara melantur atau sketsa saya tidak ada hubungannya dengan apa yang saya paparkan. Saat hari Senin yang satu disusul hari Senin berikutnya, sketsa teman-teman saya makin banyak yang disetujui. Mereka berangsur-angsur mulai melukis dan tidak perlu lagi ikut pertemuan Senin pagi. Pada saat itulah saya mulai kehabisan akal. Sketsa apa lagi yang harus saya buat? Bagi Pak Sidharta, semua sketsa saya “omong kosong“.
Karena pada tahun 1990-an seni rupa kontemporer mulai berkembang pesat di Indonesia dan seniman bisa membuat karya macam apa saja, saya pun berpikir untuk membuat sebuah karya yang—menurut saya—avant-garde. Saya membawa bak mandi plastik berukuran besar (bekas mandi adik bungsu saya saat ia masih bayi), mengisinya dengan air lalu menaruh banyak kapal-kapalan kertas di permukaannya. Saya sendiri tidak ingat dari mana ide itu datang, tapi Pak Sidharta marah melihat presentasi saya hari itu. Bak mandi saya ditendang sampai airnya muncrat dan kapal-kapalan kertasnya berantakan. “Sampah!”, kata Beliau marah. Saya sungguh terguncang! Rupanya Pak Sidharta tidak menghargai ide avant-garde saya. Usaha saya untuk menjelaskan, lagi-lagi, dipotong dengan, “Omong kosong!”.
Di kesempatan yang lain saya sengaja tidak membawa sketsa. Sebagai gantinya, saya membawa sebuah “skema berpikir” yang saya tulis di atas sebuah kertas ukuran besar. Kertas itu saya tempelkan di alas kayu yang biasa kami gunakan untuk kuliah Menggambar. Demi melihat skema berpikir saya, Pak Sidharta marah besar. “Kamu nggak boleh ngomong! Diem aja, kamu!” bentaknya. Astaga! Nyali saya langsung ciut. Tapi saya tidak diusir keluar kelas, saya diizinkan untuk tetap duduk di ruang kuliah dan mengikuti pertemuan pada hari itu sampai selesai. Di akhir pertemuan, Pak Sidharta menegaskan bahwa saya harus membawa sketsa, bukan yang lain. Namun saya harus bawa sketsa apa lagi? Saya sudah bawa belasan dan puluhan sketsa dan semuanya omong kosong.
Sementara teman-teman yang lain sudah mulai melukis, saya masih tetap harus mengikuti pertemuan Senin pagi. Sejujurnya saya sering sekali berpikir untuk kabur saja dari pertemuan-pertamuan itu tetapi saya tidak bisa mangkir karena percuma. Pertama, Pak Sidharta sangat disiplin. Beliau selalu hadir tepat waktu dan tidak pernah mangkir. Kedua, kampus kami tidak terlalu besar jadi saya selalu berpapasan atau bertemu pandang dengan Pak Sidharta kalau sedang nongkrong di kantin atau berjalan di selasar kampus. Saya tahu hidup saya tidak akan tenang kalau saya menghindari Pak Sidharta jadi saya pun selalu hadir tepat waktu dan tidak pernah mangkir. Hasilnya? Semua gagasan saya masih tetap saja dibantai. Setelah berminggu-minggu berlalu, akhirnya hanya tersisa beberapa mahasiswa, termasuk saya, yang masih harus duduk di pertemuan Senin pagi. Sisanya sudah mulai melukis bahkan sudah mulai mengerjakan kanvas kedua, ketiga dan seterusnya. Waktu berjalan terus tapi kami belum bisa berkarya.
Dalam pertemuan Senin pagi yang keramat tersebut semua argumentasi saya dibolak-balik, dipatahkan, dan dibantai. Semua sketsa saya ditepis, dianggap tidak berharga. Pak Sidharta selalu merujuk pada catatan di buku hitam sialan yang selalu dibawanya itu. Semua paparan saya tercatat di situ jadi kalau saya ngomong A, Pak Sidharta bilang, “Minggu kemarin kamu ngomongnya nggak begini.” Kalau saya ngomong B, Beliau bilang, “Jangan berubah-berubah haluan terus, minggu kemarin kamu lebih jelas daripada hari ini.” Pokoknya yang saya ingat adalah: pada titik tertentu saya mulai mencari rujukan tentang Gerakan Dada di Zurich, pada saat kelahirannya, saat gerakan tersebut masih berupa pentas-pentas teater spontan dan belum menjadi sebuah gerakan seni rupa di Eropa. Namun sebanyak apapun studi saya, sketsa-sketsa saya tetap saja tidak diterima. Maka pertemuan Senin pagi pun lama-kelamaan semakin melelahkan batin saya dan mimpi buruk yang paling saya takutkan pun akhirnya menjadi kenyataan: semua mahasiswa sudah diizinkan untuk berkarya kecuali saya. Akhirnya tinggal saya sendiri yang harus duduk berhadapan dengan Beliau. Satu jam penuh waktu pertemuan hanya digunakan untuk membantai sketsa dan presentasi saya. Kata-kata ‘omong kosong’ selalu terdengar bertubi-tubi dalam pertemuan manakala Beliau menyergah presentasi dan argumentasi saya.
Bukan hanya sekali saya mencoba membujuk Pak Sidharta. Apa tidak sebaiknya ada ide saya yang disetujui sehingga saya bisa segera berkarya? Waktu sudah mendekati tengah semester, teman-teman saya sudah mulai melukis semua tapi saya masih harus terus bersikutat dengan pertemuan Senin terkutuk itu. Kalaupun pada saatnya ide saya disetujui, saya khawatir waktu saya tidak cukup untuk mengerjakan karya dalam jumlah yang memenuhi syarat untuk penilaian. Namun Pak Sidharta hanya bergeming, Beliau menggelengkan kepala dengan dingin, tanpa belas kasihan sama sekali. Duh, Gusti … Pertemuan Senin pagi adalah neraka penuh teror bagi saya. Saya pikir pada saat itu saya mulai memahami Monday morning anxiety yang dialami banyak manusia modern, saya benar-benar bisa berempati.
Akhirnya dari sekian banyak hal yang luput dari ingatan saya tentang kekaryaan di semester tersebut, saya masih mengingat dengan jelas suatu malam di rumah orangtua saya. Hari sudah malam, hari Minggu. Seperti biasa saya sudah merasakan kegelisahan khas semester neraka itu sejak matahari terbenam. Apa lagi yang harus saya bawa untuk pertemuan hari Senin? Saya merasakan keletihan jiwa raga pada saat itu, sepertinya saya sudah dihinggapi depresi. Akhirnya saya memutuskan untuk membuat sketsa apa sajalah, yang penting bawa sketsa. Walaupun nasib saya di semester itu dipenuhi ketidakpastian, setidaknya kalau saya membawa sketsa, saya tidak akan terlalu dimarahi dan bisa cukup selamat pada hari itu. Akhirnya saya mengambil berlembar-lembar kertas buram dan meminjam vulpen tinta milik Papa saya. Saya menggambar di lantai ruang tamu, menghadap ke pintu. Tanpa banyak berpikir dan dengan lesu saya menggambar wajah-wajah dalam beragam ekspresi. Garis saya sederhana, garis satu kali jadi, tapi hasilnya jelek karena tinta vulpen itu sering blobor di kertas buram yang tipis. Saya tidak suka sketsa-sketsa saya malam itu. Kalau tidak salah, sebelum tidur saya akhirnya berhasil membuat sekitar dua puluhan lembar sketsa di atas kertas buram. Keesokan harinya tanpa banyak berkomentar, sambil menyiapkan mental untuk menghadapi pembantaian rutin setiap hari Senin, saya pun menaruh sketsa-sketsa saya berjajar di lantai Studio Lukis.
Di luar dugaan saya, Pak Sidharta nampak tertarik. Beliau sampai berjongkok supaya bisa melihat sketsa-sketsa itu dengan lebih jelas. Biasanya Beliau hanya melirik atau memandang sekilas dengan acuh tak acuh setiap kali saya membawa sketsa. Ini sebuah kemajuan besar. Dan ternyata Beliau memang benar-benar tertarik, hati saya jadi berbinar-binar. Akhirnya, setelah berbulan-bulan mendapatkan represi konseptual dan psikologis, Pak Sidharta menyetujui sketsa-sketsa saya tersebut untuk diteruskan menjadi karya. Saya begitu bahagia dan amat lega. Dan bukan hanya saya, semua teman saya yang sudah mulai melukis juga merasa lega. Saya tahu mereka memang awalnya sering cekikikan kalau melihat saya dimarahi Pak Sidharta, tapi lama-lama mereka iba juga melihat nasib saya. Akhirnya saya secara resmi diizinkan untuk berkarya di atas kanvas, instruksi bagi saya adalah “membuat narasi visual dengan rujukan spontanitas Gerakan Dada di Zurich tahun 1914”. Saya diizinkan menggunakan teks, alfabet, di atas kanvas saat melukis, bukan hanya menggunakan citra. Maka dengan bersemangat saya pun segera bekerja, membuat gambar dan kolase di atas kertas, dan akhirnya melukis dengan cat minyak di atas kanvas yang sudah siap sejak jauh-jauh hari.
Waktu yang saya miliki tidak banyak tapi rasanya saya akhirnya bisa menyelesaikan studio saya saat itu dengan tepat waktu, soalnya Pak Sidharta tidak marah-marah lagi pada saya sama sekali, palingan hanya bilang “omong kosong” sedikit, seperti biasa. Saya bekerja tanpa sketsa untuk mempertinggi spontanitas saya, saya menggunakan warna secara definitif, saya tidak berusaha mencari warna-warna khusus dengan campuran yang rumit seperti yang diajarkan dosen nirmana saya, Ibu Rita Widagdo, pematung dan rival intelektual Pak Sidharta sendiri. Sapuan kuas saya spontan dan ekspresif, cat minyak sampai muncrat kemana-mana, dan tidak ada yang mau melukis di samping saya bila saya sedang bekerja. Sejujurnya, selain spontan dan ekspresif, sapuan kuas saya diliputi kepanikan tertentu karena saya harus mengejar waktu.
Bila Pak Sidharta memeriksa pekerjaan kami, Beliau tidak banyak bicara. Beliau hanya berkomentar seperlunya saja. Ini sebenarnya cukup mengherankan saya karena di setiap pertemuan hari Senin, semua mahasiswa sebenarnya selalu dicecar banyak pertanyaan ini-itu sampai kami gelagapan, tetapi saat kami sudah mulai berkarya, Beliau memberi kami privacy cukup supaya bisa berkarya dengan tenang. Di beberapa kesempatan saya bahkan sempat mendengar dari teman bahwa Pak Sidharta memuji penggunaan warna yellow ochre dan sapuan kuas saya yang spontan. Sayang saya tidak mendengar pujian itu secara langsung, kalau saja pujian itu bisa saya rekam, tentu akan saya putar berulang-ulang untuk menambah semangat saya. Kapan lagi bisa mendengar Pak Sidharta memuji saya? Biasanya yang saya dengar hanya ‘omong kosong‘. Ketika akhir semester mendekat, kami semua harus mengumpulkan sebuah tulisan pengantar kekaryaan dan setelah semua karya yang dipajang selesai dinilai, kami pun bisa mengambil tulisan pengantar kami yang sudah diberi nilai di kantor Studio Lukis. Saya mendapat nilai A+.
Saya langsung bersembunyi di sebuah sudut di Studio Lukis, duduk, lalu menangis. Saya merasakan sebuah kebahagiaan luar biasa sekaligus rasa perih mengingat semua yang sudah saya jalani di semester tersebut. Yang membuat saya menangis bukan hanya nilai A+ yang ditulis dengan tinta merah dan dilingkari tetapi pesan yang ditulis Pak Sidharta. Saya masih ingat betul, di pengantar itu Pak Sidharta menulis, “Bila Anda meneruskan cara berkarya seperti ini, Anda akan menemukan hal-hal yang luar biasa di masa datang.” (A+)
Tulisan itulah yang membuat saya menangis bahagia sekaligus perih, rasanya semua kelelahan lahir batin yang saya rasakan pada semester itu tumpah sekaligus. Namun saya tidak menangis terlalu lama, saya segera larut dalam kegembiraan. Kalau tidak salah teman saya Dikdik juga mendapat A+ di kuliah Studio semester itu, bedanya dia menjalaninya dengan lancar, tidak pakai disiksa selama setengah semester seperti saya. Saya benar-benar bahagia dan saya merasa jadi mahasiswa istimewa di semester tersebut karena perjuangan saya. Ini membuat saya merasa boleh sedikit lebih akrab dengan Pak Sidharta yang segera dipindahtugaskan kembali memimpin Studio Patung di semester berikutnya. Namun Pak Sidharta tetap Pak Sidharta yang tidak suka basa-basi. Kalau melihat saya cengengesan di hadapan Beliau, Pak Sidharta memandang saya tidak ramah sambil berkata, “Mau apa, kamu?” Bila ada kesempatan berbincang-bincang dengan Pak Sidharta dan teman-teman mahasiswa yang lain, kadang-kadang Pak Sidharta masih tetap memotong bicara saya dengan, “Omong kosong!” dan teman-teman menertawakan saya.
Setelah puluhan tahun menjadi dosen seni rupa di ITB, akhirnya Pak Sidharta pensiun pada tahun 1997. Acara perpisahan tersebut dirayakan dengan sebuah pameran retrospektif karya-karya Pak Sidharta di gedung Aula Timur ITB. Pak Sidharta menyatakan terima kasih pada ITB dan terutama pada istrinya yang telah begitu sabar dan setia mendampingi Beliau menjadi seorang seniman dan pengajar. Setelah menjabat tangan Beliau pada pameran tersebut, saya tidak pernah lagi bertemu muka dengan Pak Sidharta sampai Beliau wafat pada tahun 2006. Saya sempat berpikir untuk mampir ke rumah peristirahatan Beliau di Yogya, tapi niat itu saya urungkan setelah mendengar cerita seorang teman dari Studio Patung yang betul-betul mampir ke sana. Ketika Pak Sidharta melihat seorang mantan mahasiswa datang ke rumahnya, yang pertama Beliau katakan adalah, “Mau apa, kamu?” Saya tertawa mendengar cerita itu dan mengurungkan niat saya. Saat berita tentang wafatnya Beliau sampai ke telinga saya, saya termenung beberapa saat.
Saya tidak merasa perlu juga tidak merasa mampu untuk merangkum pelajaran atau pekerti apa yang saya dapatkan dari Pak Sidharta dalam tulisan ini. Semua yang saya alami dan rasakan terasa begitu padat dan saling bertumpuk, yang pasti saya tidak akan lupa. Barangkali Beliau tidak mengingat saya karena mahasiswa datang dan pergi silih berganti, tapi sampai saya mati nanti saya pasti masih akan selalu mengingat kata-kata mutiara dari Pak Sidharta untuk saya, “Omong kosong!”.