
Gauguin bukan seniman sekolahan tapi tekniknya dipengaruhi mahzab Perancis. Mahzab Perancis adalah aliran seni lukis tradisional Eropa yang paling rumit, lebih rumit daripada aliran-aliran pendahulunya: mahzab Flemish dan Venezia. Walaupun demikian, Gauguin mengerjakan karya-karyanya dengan teknik mahzab Perancis yang lebih disederhanakan. Ia secara definitif sudah membentuk obyek sejak awal dan blabarnya sering nampak, sesuatu yang “haram” dalam pakem seni lukis klasik Eropa dan sudah mulai dilanggar sejak kelahiran Impresionisme. Ia mengisi bidang-bidang pada obyeknya dengan sapuan warna yang teratur berbentuk garis berjajar, berulang-ulang, yang lama-kelamaan membentuk volume, sebuah versi sapuan yang ukurannya lebih besar tetapi lebih transparan bila dibandingkan sapuan Van Gogh atau Frida Kahlo. Ini adalah teknik “velatura” (lapisan semi-opak dalam terminologi Venezia) yang dikerjakan dengan sabar dan teliti.
Warna-warna yang dia gunakan berasal dari pencerapannya terhadap alam yang memang berbeda, sebuah dunia yang lain sama sekali dengan alam di Perancis, bahkan di bagian selatannya sekalipun, seperti yang nampak pada karya-karya Van Gogh. Tapi di sisi lain, warna-warna tersebut mengalami penafsiran pula dan itu khas Gauguin. Walaupun sama-sama kuat, setiap seniman memiliki ekspresi warna yang berbeda. Gauguin, Matisse, Van Gogh, termasuk pada seniman Fauvis, semua menggunakan warna-warna cerah yang berani dengan cara dan penekanan yang berbeda-beda. Para seniman Fauvis menggunakan warna tanpa tedeng aling-aling, sebuah pekerti avant-garde, sisanya yang lain berturut-turut masih menunjukkan kaitan dengan cara seniman Eropa menafsirkan warna: Matisse dengan warna primer yang kuat, Van Gogh dengan biru dan kuning, lalu Gauguin dengan warna-warna lanskapnya yang imajinatif dan warna kulit manusia Tahiti yang hangat.
Observasinya pada bentuk sama hebatnya dengan caranya menyederhanakan bentuk itu sendiri. Saya pikir itu khas Gauguin, sejak awal karakter itu sudah muncul. Dan warna-warna menjadi ciri khasnya sangat dipengaruhi oleh “white balance” di Tahiti yang jauh lebih tinggi daripada di Paris, mengakibatkan “hue” yang lebih definitif dan “chroma” yang lebih tinggi. Tapi bila secara umum karyanya nampak kekuningan, kemungkinan besar itu disebabkan oleh efek penuaan dari varnish atau medium cat minyak yang dipakainya. Bila efek kekuningan itu bisa “dicuci”, saya yakin warna pada karya-karyanya akan lebih cemerlang daripada sebelumnya. Warna-warna dalam karya Gauguin, bila kita mengabaikan sedikit “ambient” kuningnya, sebenarnya mirip dengan warna di Indonesia pada saat yang khusus: langit di atas kepala kita dipenuhi awan gelap tetapi di kejauhan cahaya matahari bersinar cerah, saat langit melindap dan badai akan menjelang. Saya selalu menganggap kondisi cahaya seperti itu adalah saat warna-warna tropis sedang indah-indahnya.
“White balance” di daerah tropis amat berbeda dengan di negara-negara empat musim seperti Perancis. Itulah sebabnya di negara-negara tropis, ekspresi warna begitu kuat dan berani, seperti warna “Ungaran Green” yang lazim ditemui di perumahan dan pertokoan di sini. Dosen nirmana saya, Ibu Rita Widagdo, sangat membenci ekspresi warna seperti itu. Sebetulnya itu cukup aneh mengingat ekspresi warna Eropa setelah dipengaruhi ekspresi warna Asia terangkum dalam pondasi kelahiran Seni Modern yang penuh pemberontakan pada pakem-pakem Neo-klasik di Eropa. Pada perkembangannya, figur-figur dalam karya Gauguin bisa disejajarkan dengan deformasi figur yang dilakukan Picasso dan para Ekspresionis. Ekspresi warna Gauguin memengaruhi Matisse dan gerakan avant-garde di Eropa. Jadi jelas, Paul Gauguin adalah seniman penting yang turut merubah wajah seni rupa Eropa dan dunia.



Yah, demikianlah sekilas tentang Paul Gauguin. Jadi inget zaman kuliah dulu, bikin makalah Kritik Seni. Selamat berkarya. 🙂