Picasso menyadari bahwa memasyarakatnya fotografi mendefinisi ulang realisme. Bila sebuah citraan sudah bisa direpresentasi dengan cepat, akurat dan murah, realisme tamatlah sudah. Di sisi lain, pada masa kiwari kita tidak mengalami permasalahan representasi tersebut. Fotografi justru bertanggung jawab melahirkan hiperrealisme, misalnya, realisme yang mengacu pada fotografi resolusi tinggi.
Walaupun demikian, alih-alih soal representasi, menurut saya permasalahannya terletak pada pencerapan realita itu sendiri. Walaupun memiliki banyak lensa, fotografi hanya menggunakan satu kanal untuk menerima cahaya sementara mata kita, walaupun hanya memiliki satu retina, menggunakan dua kanal. Maka saya cenderung setuju dengan pendapat David Hockney yang menyatakan bahwa, “Kamera foto bermata satu, kuasanya mutlak, sementara mata manusia ada dua, maka memberi keraguan.”
Keraguan, ketidakpastian, perubahan, adalah domain kreativitas. Kreativitas tidak tumbuh di tengah kepastian. Maka saya pikir, bila kita bermaksud untuk mendorong realisme ke aras yang lebih tinggi, menemukan bentuknya yang baru atau mendefinisi ulang makna realisme itu sendiri, berkarya dengan menggunakan kedua mata kita akan lebih mendukung usaha tersebut alih-alih menggunakan kamera foto.
Fotografi adalah candu bagi realisme. 😀