Salah satu hal besar yang melingkupi dunia penciptaan adalah mood, kita semua mengenalnya dengan baik. Bila sedang in the mood, kita mampu melakukan pekerjaan apa saja. Tidak dibayar pun bukan masalah, kita senang mengerjakannya. Namun sebaliknya, bila sedang tidak in the mood, mau dibayar berapapun rasanya berat mengerjakannya. Malasnya seperti diganduli setan. Jadi bagaimana caranya memelihara mood supaya semua pekerjaan kita bisa dikerjakan dengan tepat waktu dan hasilnya bagus? Kenapa bila diperlukan, mood justru lenyap? Atau mengapa bila seharusnya kita mengerjakan pekerjaan A yang harus cepat selesai dan bisa menghasilkan uang, kita malah in the mood mengerjakan pekerjaan B yang tidak menghasilkan uang dan menghabiskan waktu karena mengerjakannya asyik sekali? Artikel ini akan berusaha memecahkan misteri tentang mood dan memberikan tip untuk memelihara mood Anda.
“Kecupan”, 180×180 cm, cat emas dan prada di atas kanvas. Gustav Klimt, 1907-1908
Bila kita menemukan mood datang dan pergi, tidak bisa dipastikan kapan datangnya, berarti kita hanya mengandalkan selera untuk bekerja. Bila pekerjaannya sesuai selera kita, kita akan bersemangat mengerjakannya. Namun bila yang terjadi adalah sebaliknya, kita akan bekerja dengan terpaksa dan tentu saja kita tidak akan bersemangat untuk memulai pekerjaan tersebut, bahkan kalaupun imbalannya besar. Masalahnya, dalam dunia profesional, pekerjaan yang harus kita selesaikan tidak selalu sesuai dengan selera kita, bukan? Atau, pekerjaannya sih sesuai dengan selera kita, tapi situasi dan kondisinya tidak. Hal macam itu terjadi kapan dan di mana saja. Bahkan seorang pelukis independen sekalipun tidak selalu memiliki kemerdekaan mengerjakan karya yang sesuai dengan seleranya sendiri setiap waktu. Maka satu hal perlu dicatat, bila kita hanya mengandalkan apa yang kita sukai dan tidak kita sukai saja, mood akan datang dan pergi, tidak bisa diandalkan. Padahal sebagai seorang profesional, kita harus mengerjakan semuanya, suka atau tidak.
Bila kita hanya mau mengerjakan hal-hal yang kita sukai dan sesuai dengan selera kita saja, itu sih bukan profesi, itu namanya hobi. Memang benar, sebagai insan dengan minat, bakat dan profesi kreatif, kita adalah jenis orang yang mengikuti passion kita. Memang benar, seniman adalah mereka yang punya inisiatif dan mencipta atas kemauan sendiri, tidak disuruh atasan. Namun ada pepatah mengatakan, “Semua anak kulit hitam pasti main basket, tapi kalau sudah masuk NBA, a game is not a game anymore.” Bagi seorang atlet NBA, bermain basket sudah bukan lagi bermain senang-senang bersama teman-teman di lapangan basket sekolah atau di taman publik.
Bila kita tidak suka dan muak dengan profesi kita saat ini, siapa sih yang menghalangi kita untuk berhenti lalu pindah haluan? Oke, walaupun tidak sesederhana itu, mungkin kita memang bisa saja banting setir. Namun bisa saja masalahnya begini: profesi yang kita geluti saat ini adalah profesi paling sip, paling cocok dan paling kita cintai karena sudah sesuai dengan passion kita, tapi kok “begini-begini amat”, sih? Sampai muak, rasanya. Kalau itu kasusnya, bisa jadi Anda bekerja terlalu keras, terlalu lama dan butuh liburan sebentar. Namun faktanya, menggeluti sebuah bidang sebagai profesi berarti berani menghadapi realita di bidang tersebut sampai ke yang busuk-busuknya. Pernahkah Anda perhatikan, kalangan profesional seringkali tidak menginginkan anaknya mengambil jalur profesi yang sama? Sejujurnya, saya lebih suka anak saya tidak jadi perupa. Begitu juga dengan salah satu kolektor saya yang mengatakan, “Saya ingin anak saya jadi akademisi, jadi ilmuwan atau peneliti, jangan terjun ke dunia bisnis seperti saya. Ini dunia anjing makan anjing.”
Tantangan keras dunia profesional adalah sebuah saringan kejam yang memisahkan mereka yang hanya ingin coba-coba, yang hanya ikut-ikutan, yang hanya ingin keren, yang hanya ingin punya status, yang hanya ingin cari aman, dengan mereka yang serius mencintai bidangnya untuk menjawab panggilan jiwa. Persis pada titik itulah mood kita diuji dan para profesional yang serius di bidangnya punya strategi untuk memelihara mood mereka, yakni dengan membuat sebuah pola kebiasaan. Habit.

“Diego Dalam Benakku”, 76x61cm, cat minyak di atas panel masonite, Frida Kahlo, 1943
Tidak ada yang aneh atau misterius dalam soal kebiasaan yang mereka terapkan. Ini sama seperti kebiasaan minum kopi sambil melihat gawai Anda setiap pagi. Kita semua punya kebiasaan, yakni hal yang diulang-ulang terus dari hari ke hari, sampai berbulan-bulan dan bertahun-tahun, sampai menjadi sebuah perilaku yang selalu dilakukan dan tidak dipertanyakan lagi. Ada kebiasaan yang baik, ada kebiasaan yang buruk, tergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Dan kebiasaan adalah hal penting dalam proses belajar, berkaitan dengan adiksi dan relevan dengan persoalan mood yang sedang kita bahas ini. Untuk itu kita perlu melihat mekanisme kerja dan pembentukan kebiasaan, termasuk soal mood, dari sudut yang berbeda.
Bila Anda punya kebiasaan menikmati kopi sambil mengecek gawai Anda setiap pagi sesudah bangun tidur, apakah Anda mempersoalkan mood saat melakukannya? Tidak, kan? Mood jadi tidak relevan, tapi hal itu harus Anda lakukan karena itu adalah kebiasaan. Bila hal itu tidak Anda lakukan—misalkan karena Anda harus pergi ke luar kota pagi-pagi sekali—rasanya akan ada yang kurang, hari Anda akan terasa tidak lengkap. Bila hal itu terjadi sampai tiga hari berturut-turut, Anda bisa gelisah. Perasaan “ada yang kurang”, “tidak lengkap” dan kegelisahan yang Anda rasakan karena melewatkan rutinitas tersebut adalah sebuah emosi yang lahir dari biorespons otak Anda yang menagih dopamin. Dopamin adalah sebuah neurotransmitter yang penting sekali perannya dalam hal ini.
Tubuh manusia tidak bisa disamakan dengan mesin karena manusia memiliki kecerdasan dan tubuh kita mampu melakukan regenerasi. Walaupun demikian, pada tataran tertentu, tubuh kita memang bekerja seperti mesin (yang sangat canggih). Untuk melakukan kegiatan sehari-hari, organ-organ di dalam tubuh kita saling berkomunikasi dan hal itu dilakukan dengan saling mengirimkan informasi. Hanya saja, melebihi kecanggihan gawai yang hanya mengirimkan pesan secara elektronik, tubuh manusia mengirimkan data secara elektris juga secara kimiawi. Hormon adalah pesan yang dikirimkan melalui sirkulasi darah sementara neurotransmitter adalah pesan yang dikirimkan melalui jaringan syaraf dan keduanya bekerja secara simultan. Dopamin mengatur rasa nyaman, motivasi (karena tahu ada imbalan tertentu), termasuk gerakan fisik tubuh kita. Dopamin membuat kita merasa nyaman, memberi kita semangat dan vitalitas. Kekurangan dopamin di dalam tubuh akan membuat kita kehilangan motivasi, merasa letih-lesu, menjadikan kita orang yang mudah kecanduan, semangat hidup kita hancur-hancuran, depresif, termasuk mengalami resting tremor (tangan bergetar saat otot-otot sedang rileks). Bila kita ingin memahami mood, kita mesti memerhatikan cara kerja dopamin dalam kaitannya dengan pembentukan kebiasaan.
Kemungkinan besar Anda sudah lupa kapan kebiasaan Anda minum kopi setelah bangun pagi mulai terbentuk karena hal itu sudah berlangsung lama sekali. Namun bisa dipastikan, pada awalnya, setelah rutinitas itu dilakukan berkali-kali secara repetitif, Anda mulai merasa nyaman dengan kebiasaan itu. Di satu sisi kandungan kafein dalam secangkir kopi yang Anda konsumsi adalah sebuah stimulan yang memberikan energi tambahan untuk memulai aktivitas. Anda merasa segar dan siap untuk beraksi hari itu. Namun di sisi lain, otak Anda juga berkata, “Rupanya enak juga minum kopi sesudah bangun tidur.” Secara biokimia, ungkapan “Rupanya enak juga…” itu adalah sebuah semprotan kecil dopamin yang dilepaskan dari sel-sel syaraf Anda dan ditangkap oleh reseptornya. Semenjak saat itu, tubuh Anda akan menyemprotkan dopamin setiap kali Anda bangun tidur, mengingatkan Anda tentang nikmatnya ngopi dan setelah Anda menyeruput kopi Anda, dopamin akan disemprotkan sekali lagi untuk menyempurnakan siklusnya. Otak Anda belajar bahwa minum secangkir kopi setelah bangun tidur = nyaman.
Asosiasi antara minum secangkir kopi dengan perasaan nyaman inilah yang memicu kebiasaan. Selanjutnya, karena diulang terus-menerus, tubuh Anda tidak lagi mempertanyakan kebiasaan itu. Anda akan melakukan hal itu tanpa berpikir, seperti pesawat dalam mode autopilot. Anda juga tidak akan mempermasalahkan soal in the mood atau tidak untuk minum kopi, yang Anda tahu adalah: apabila kebiasaan itu Anda lewatkan, otak Anda akan berkata, “Lho, mana kopinya? Aku perlu dopamin.” Dan Anda pun akan merasa hari itu tidak lengkap, ada yang kurang. Secara biokimia, otak Anda menagih dopamin yang seharusnya Anda dapatkan, sayangnya pagi itu tidak ada dopamin karena rangkaian rutinnya tidak Anda jalankan. Hal ini mencakup kebiasaan apa saja: merokok, seks, berolahraga, melakukan ibadah, belanja, dugem, dsb. Itu adalah mekanisme pembentukan kebiasaan yang sangat dipengaruhi oleh neurotransmitter bernama dopamin.
Hal ini menunjukkan dua aspek dalam peranan dopamin. Pertama, ia berperan penting dalam proses belajar. Anda tentu tahu, pelatih anjing selalu membawa biskuit untuk diberikan sebagai imbalan bila anjing yang sedang dilatih berhasil mengikuti instruksi dengan baik. Itu adalah sebuah cara efektif untuk menanamkan asosiasi di kepala si Anjing: menuruti perintah = enak (biskuit). Dopamin bukan hanya ada dalam tubuh manusia saja, tapi juga ada dalam tubuh berbagai jenis binatang, vertebrata maupun avertebrata. Fungsi dan cara kerjanya serupa. Cara kita belajar untuk membentuk kebiasaan sama persis dengan cara anjing belajar menuruti instruksi. Masalahnya, regulasi dopamin dalam pembentukan kebiasaan ternyata memiliki aspek kedua: ia mirip dengan pola adiksi dalam bentuk kecanduan apa saja.
Adiksi adalah sebuah kebiasaan yang tidak mampu Anda hentikan walaupun Anda menginginkannya. Apakah Anda kecanduan sesuatu? Nikotin, misalnya, apakah Anda perokok seperti saya? Apa Anda kecanduan belanja? Video game, pornografi, atau narkoba? Dalam kasus adiksi, tubuh Anda kekurangan dopamin dan Anda merasa tidak nyaman. Anda harus melakukan satu set rutin yang jadi kebiasaan Anda supaya dopamin bisa disemprotkan thus Anda merasa nyaman. Beberapa substansi narkoba tertentu, misalnya heroin, mengacaukan cara kerja dopamin dan menimbulkan ketergantungan. Yang terjadi bila Anda menyuntikkan heroin ke dalam pembuluh darah Anda adalah: substansi itu akan memicu penyemprotan dopamin besar-besaran di dalam otak Anda sampai 1000% jumlah normal sehingga terjadilah banjir dopamin dan dampaknya: Anda akan merasakan sebuah sensasi nyaman, sebuah kenikmatan yang tiada taranya. “Bayangkan orgasme paling nikmat yang pernah kau rasakan lalu kalikan seribu, itu saja masih jauh dibandingkan nikmatnya heroin,” film Trainspotting menjelaskan.
Maka heroin hanya berfungsi sebagai pemicu saja, bukan heroinnya yang membuat Anda high. Masalahnya, setelah efeknya hilang, semua dopamin habis terpakai sementara tubuh Anda membutuhkan waktu untuk memproduksi dopamin yang baru. Maka tubuh Anda akan kekurangan dopamin dan efeknya: letih, lesu, tidak ada semangat hidup, depresi, dsb. Anda akan merasa seperti zombie dan Anda harus menyuntikkan heroin lagi supaya tubuh Anda bisa terasa nyaman. Masalahnya, dosis yang kemarin membuat Anda nyaman kini terasa kurang, maka Anda harus menambah dosis heroin Anda untuk mencapai kepuasan yang sama dengan sebelumnya, namun dampak setelahnya akan lebih parah lagi. Bila itu sudah terjadi, Anda akan terjebak dalam sebuah lingkaran setan. Anda tidak akan pernah lagi mendapatkan rasa nyaman dan nikmat seperti yang pertama kali Anda rasakan, sebuah sensasi yang selalu Anda cari. Pada akhirnya, otak Anda akan rusak sehingga Anda harus mengkonsumsi heroin bukan untuk high, tapi untuk sekedar bisa hidup dan berfungsi secara “normal” saja karena tanpa heroin, Anda akan menjadi zombie. Pada saat itulah, dalam keputusasaan supaya bisa merasakan high yang nyaman dan kenikmatan level surga, Anda menambah dosis sampai ke tingkat yang belum pernah Anda capai sebelumnya. Anda bisa mengalami overdosis dan meninggal karena kehabisan napas atau gagal jantung.
Maka proses belajar, motivasi untuk memulai suatu aktivitas (karena ingin mendapatkan kepuasan setelahnya), pembentukan kebiasaan, adiksi, gejala putus zat, penyalahgunaan substansi, sampai overdosis, semua berhubungan dengan dopamin. Dopamin adalah kunci untuk memelihara mood Anda karena sekarang Anda sudah tahu cara kerjanya. Perasaan tidak enak karena belum minum kopi tadi pagi secara prinsipil sama saja dengan siksaan fisik mental yang dialami seseorang yang sedang sakau heroin: tubuh kekurangan dopamin. Hanya saja yang satu kasusnya ringan, yang satu berat. Apabila Anda ingin mood Anda terpelihara, Anda harus menyingkirkan mood dari pola kerja Anda. Anda bekerja bukan karena Anda sedang in the mood, Anda bekerja karena kebiasaan kerja Anda sudah terbentuk. Setiap jam 10 pagi sampai jam 6 sore, Anda akan bekerja di studio karena itulah kebiasaan Anda selama bertahun-tahun. Bila Anda melewatkan kebiasaan itu, Anda akan merasa ada yang kurang, Anda akan merasa hari Anda tidak lengkap. Bila Anda harus pergi ke luar kota selama seminggu, di hari kedua-ketiga Anda akan mulai kangen melukis. Di hari keempat-kelima, Anda sudah gemas ingin cepat-cepat berada di studio. Bila kunjungan Anda harus diperpanjang sampai dua minggu, Anda akan gelisah karena dopamin di otak Anda berkurang karena Anda tidak berkarya. Itu semua tidak ada urusannya dengan mood, itu soal kebiasaan.
Bila demikian masalahnya, pertanyaan akan beralih ke satu arah: bagaimana cara membentuk kebiasaan untuk bekerja? Membentuk sebuah kebiasaan baru itu sulit, tapi menghilangkan kebiasaan lama itu puluhan kali lebih sulit. Kita bisa memahami logikanya karena membentuk kebiasaan baru artinya merangsang otak untuk menyemprotkan dopamin. Namun membongkar kebiasaan lama berarti menghadapi kelangkaan dopamin di dalam otak, artinya: kita harus mampu menanggung penderitaan saat “sakau”. Hal itulah yang membuat saya belum bisa berhenti merokok sampai sekarang. Saya menghadapi sebuah permasalah besar dalam soal adiksi nikotin saya: saya ingin sekali berhenti merokok, tapi enggak mau*. 😛
Membentuk sebuah kebiasaan baru membutuhkan sebuah sistem imbalan dan hukuman. Oom Rusdan Nasution, salah seorang model saya yang anggota TNI, adalah orang yang sangat fisikal. Bila harus pergi ke luar kota, Beliau selalu membawa satu set sepatu joging. Bila Beliau tidak melakukan olahraga fisik sampai tubuhnya mandi keringat dan napasnya terengah-engah, “Otak saya jadi lambat. Mau loading rasanya lama,” begitu Beliau bilang. Itu tanda kekurangan dopamin. Oom Rusdan bilang, “Siapa yang pengin bangun pagi-pagi untuk olahraga? Dingin-dingin ya enaknya tidur, tapi kalau saya tidak olahraga, saya hukum diri saya sendiri.” Dengan kejam, Oom Rusdan tidak memperbolehkan dirinya makan malam bila ia alpa berolahraga. Ia hanya makan sebutir pisang dan membiarkan perutnya keroncongan sampai pagi. Itu adalah hukuman. Namun bila Beliau memaksa diri untuk bangkit di pagi yang dingin lalu berolahraga, imbalannya dengan segera ia rasakan. “Sesudah istirahat dan mandi pagi, segar sekali rasanya. Badan terasa ringan, otak bisa berpikir jernih dan penuh semangat.”
Supaya bisa membentuk kebiasaan seperti Oom Rusdan, kita bisa memanfaatkan hal yang kita sukai dan hal yang kita benci sebagai sistem imbalan dan hukuman. Misalnya, bila Anda tidak pergi ke studio untuk bekerja hari ini, Anda harus membersihkan toilet kamar mandi sebagai hukuman. Namun sebaliknya, bila Anda pergi ke studio, Anda boleh makan seperempat potong coklat kecil sebagai imbalan. Sepotong kecil coklat bergula yang terasa nikmat akan merangsang semprotan dopamin di otak Anda. Otak Anda akan dilatih untuk mengasosiasikan:
Pergi ke studio = nikmat (coklat)
Tidak pergi ke studio = sengsara (membersihkan toilet)
Bila hal itu terus-menerus Anda ulang sampai waktu yang cukup, kebiasaan Anda akan terbentuk dan Anda tidak membutuhkan sepotong coklat lagi untuk mendorong motivasi Anda pergi ke studio karena pergi ke studio, walaupun di tengah hujan lebat sambil naik sepeda, akan membawa imbalannya sendiri: semprotan dopamin yang menghasilkan rasa puas. Para peneliti masih berdebat mengenai waktu yang dibutuhkan untuk membentuk sebuah kebiasaan permanen. Tidak ada yang tahu pasti berapa lama waktu yang dibutuhkan. Ada yang mengatakan 60 hari, tapi kita tidak bisa pukul rata karena situasi dan kondisi, juga karakter dan kasus setiap orang berbeda-beda. Namun yang pasti, bila kebiasaan itu sudah terbentuk, kita tidak akan mengalami kesulitan karena merasa tidak termotivasi untuk berangkat ke studio karena otak kita sudah otomatis menagih dopamin. Maka walaupun terdengar tidak masuk akal, cara terbaik untuk memelihara mood adalah dengan menyingkirkannya.
Manusia adalah creature of habit. “Awasi pikiranmu, karena itu akan jadi kata-katamu. Awasi kata-katamu karena itu akan jadi tindakanmu. Awasi tindakanmu karena itu akan jadi kebiasaanmu. Awasi kebiasaanmu karena itu akan menentukan takdirmu”, demikian sebuah pepatah mengatakan. Ajaran Buddhisme di Tibet mengatakan, “Bila kau ingin tahu dirimu di kehidupan yang lalu, lihatlah kondisi hidupmu saat ini. Bila kau ingin tahu bagaimana dirimu di kehidupan mendatang, lihatlah kebiasaanmu saat ini.” Pada tataran ini kita bahkan bisa melihat bahwa takdir hidup kita di dunia ini sebenarnya sangat ditentukan oleh kebiasaan kita sehari-hari.
Kita tidak bisa hanya mengandalkan mood saja untuk menghadapi semua tantangan profesional. “Rutinitas adalah latihan yang bagus untuk seniman”, demikian almarhum W.S. Rendra pernah berkata. Ini adalah sebuah keanehan dunia kreatif yang jauh dari pemahaman orang. Banyak insan kreatif yang bekerja di perusahaan mengidamkan hidup merdeka sebagai pelukis independen. Bisa bangun kapan saja, tidur kapan saja, mengerjakan apa saja yang disukai dan tidak ada bos yang memerintah ini-itu. Kenyataannya, seniman profesional justru membutuhkan rutinitas dan manajemen waktu seperti orang kantoran supaya bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Saya sendiri masih kepayahan soal manajemen waktu, apakah Anda juga? Tidak apa-apa, perubahan dimulai dari kesadaran. Terima kasih sudah membaca sampai tamat dan semoga artikel ini bisa membantu Anda membangun pola kebiasaan baik yang produktif bagi kerja profesi Anda.
*) Artikel ini dibuat pada tanggal 16 Juni 2018, mulai tanggal 23 Mei 2019 saya akhirnya berhenti merokok. Suntingan ini ditulis di hari Natal, 25 Desember 2020, dengan begitu saya sudah 19 bulan stop merokok sama sekali. Semoga langgeng, mohon doanya, ya. 😇🙏
Sangat penting untuk membentuk kebiasaan dan disiplin untuk bisa produktif berkarya.
Artikelnya sangat bermanfaat. Terima kasih banyak… 👍👍👍
Makasih udah mampir dan baca. 😊
salah satu yang saya pelajari sebagai orang yang (masih) diperbudak mood: “mood mu harimau mu” 😆
Untuk dunia profesional mood adalah “setan”…perlu diruqyah dopamin dia.
Sangat ilmiah dan bermanfaat sekali. Jd inget film jadul Dark Angel,…alien datang buat nyedot dopamin manusia, caranya ya bener kek tulisan diatas disuntikin narkoba ampe enak trus disedot dopaminnya dari jidat. Ternyata alien udh tau dari dulu 😀
Huahahaha, serem amat itu alien! 😛
Lagi coba-coba mengalahkan mood, tiap kali merasa malas lalu ngucapin mantra: kebiasaan baik dimulai hari ini.
Sesudah mengucapkan mantra terus malesnya bisa dilawan, nggak?
Mayan. Kalo inget ngucapin mantra 😀 Terus inget-inget, it takes 30 days (or sometimes) to built a habit, it takes a day (or a minute) to destroy it.
Hahaha, hebat! Aku juga mau, ah. 😊