Artikel ini adalah terjemahan dari sebagian wawancara Elena Cué dengan Jenny Saville, salah satu eksponen Young British Artist yang sampai saat ini masih jadi salah satu pelukis potret yang diperhatikan publik seni rupa. Pendekatan Jenny yang instingtif menarik bagi saya, yang sering kebanyakan mikir. Lagipula bagi saya seni potret masih mengandung banyak misteri. Maka, silakan. Hanya satu alinea saja. 🙂

“Reverse”, 2002-2003

Jenny Saville: “Menurut saya, sejujurnya kita selalu hadir dalam apapun juga yang kita ciptakan. Namun saya ingin menambahkan segala hal, bahkan kesedihan atau kekerasan. Saya ingin mengikutsertakan seluruh dunia ini saat saya mencipta, tidak ingin mengecualikan apapun juga. Karya terbaik yang pernah saya buat dicipta menggunakan insting. Bila saya mencoba jadi terlalu pintar atau terlalu analitis, saya gagal. Saya tidak terlalu banyak bertanya saat saya mencipta karena saya mengikuti insting saya. Insting memberi saya semacam kebenaran yang lebih tinggi derajatnya daripada jenis kebenaran yang berusaha saya dapatkan dengan cara analitis. Ini adalah pelajaran yang saya tangkap di awal kiprah saya. bahwa ada sesuatu di dalam kebenaran itu, kebenaran yang lebih tinggi derajatnya, yang melampaui pengetahuan. Dan bilapun pengetahuan itu memang ada, kadang saya harus melupakannya dan mengikuti insting saya demi mencapai kebenaran yang lebih tinggi itu. Bila saya terlalu menganalisa atau terlalu mengkritisi penciptaan saya, maka penciptaan itu nyaris tidak ada gunanya. Tidak ada risiko, kalau begitu caranya. Saya senang risiko, saya senang perubahan, atau transformasi yang terjadi dalam penciptaan, dan bagi saya, itu membawa penciptaan ke arah yang lebih baik. Yang seperti itu melampaui nalar. Itulah yang saya ingin capai. Kebenaran yang melampaui nalar. Karena bila penciptaan itu bisa saya jelaskan dalam tulisan atau paparan, maka tidak ada kebutuhan bagi saya untuk menciptakannya.”

Modern banget, ya? 🙂