Menjadi Perupa Profesional

Karya Jia Aili di CAC Malaga, Spanyol

Sudah sejak lama ada banyak orang, baik yang saya kenal maupun tidak, berkonsultasi pada saya tentang keinginannya menjadi perupa profesional. Seringkali mereka mengerjakan pekerjaan yang tidak terlalu mereka sukai dan ingin banting setir menjadi perupa. Terhadap mereka saya memberikan pendapat yang berbeda-beda. Ada yang saya dukung, tapi ada juga yang justru saya larang, berbeda-beda tergantung kondisinya. Saya pikir daripada saya harus ngoceh panjang-lebar, kenapa saya nggak bikin saja satu artikel yang bisa dibaca berulang-ulang? Lagipula artikel ini bisa saya pakai sebagai persiapan penerbitan buku saya tahun depan.

Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman hidup dan karir saya, ditambah pelajaran yang saya dapat dari orang atau bacaan penting lainnya. Sebagai perupa yang sudah berkiprah selama 20 tahun, saya banyak sekali melakukan kesalahan. Bila waktu bisa diulang dan saya bisa kembali ke tahun 1998, saat saya baru lulus dulu, saya akan menyarankan hal ini pada diri saya yang masih muda. Namun, walau saya akan terkesan menunjukkan jalan yang paling tepat untuk ditempuh seorang perupa muda, tulisan ini sebaiknya dibaca secara kritis dan tidak ditelan mentah-mentah.

Tidak ada jaminan karier Anda akan sukses bila mengikuti petunjuk-petunjuk dalam tulisan saya ini dan saya tidak mungkin menjadi career coach bagi Anda karena waktu selalu berubah, zaman juga berubah. Apa yang penting di masa saya mungkin kurang relevan di masa datang dan sebaliknya. Tulisan ini hanya dimaksudkan sebagai gambaran saja supaya bisa dibaca oleh Anda yang sekedar ingin tahu maupun yang serius ingin berkiprah sebagai perupa profesional. Mintalah pendapat orang lain dan ambillah butir-butir yang relevan dan bermanfaat bagi Anda saja.

Maka sesudah disunting selama beberapa hari, inilah artikel sepanjang 7000 kata yang akan menjelaskan aspek-aspek penting dalam kehidupan perupa profesional dan medan sosial seni rupa kontemporer di Indonesia dan dunia. Semoga bermanfaat, selamat membaca. 🙂

Walaupun teorinya semua orang punya passion, pada kenyataannya orang-orang selalu berebut pekerjaan. Apa saja, deh, yang penting dapat gaji. Tidak semua orang punya nyali untuk mengikuti passion itu, kebanyakan orang berpikir realistis dan pragmatis saja: bagaimana caranya menafkahi keluarga kelak? Namun menjadi perupa adalah sebuah panggilan jiwa. Mereka yang tak punya panggilan jiwa yang kuat tidak akan tahan dengan kehidupan seorang perupa yang diliputi ketidakpastian. Namun mereka yang punya panggilan jiwa yang kuat untuk menjadi perupa tapi mengabaikannya untuk alasan apapun juga, ditakdirkan untuk dihantui panggilan itu seumur hidupnya. Bila Anda mendengar panggilan itu dengan kuat di dalam batin Anda, bila Anda merasa bakat kreatif memang mengalir dalam darah Anda, terutama bila Anda jadi stres dan sengsara bila tidak berkarya, panggilan itu sebaiknya dijawab.

Seniman, termasuk perupa, adalah sebuah profesi tua. Sejak zaman pemburu-pengumpul, nenek moyang kita sudah mulai melukisi dinding-dinding gua. Kini anak-anak muda berdiri di atas ambalan tinggi untuk membuat lukisan di dinding-dinding kafe dan restoran, membuat orang betah dan bangga berswafoto di depannya. Profesi ini belum mati rupanya, padahal usianya sudah puluhan ribu tahun. Cukup luar biasa, bukan? Memasuki abad ke-21, masa-masa terbaik untuk jadi perupa terbuka lebar. Mereka yang punya minat dan bakat kreatif kini memiliki keleluasaan lebih untuk menyalurkan keahliannya.

Sebenarnya sampai hari ini masih saja ada orangtua yang tidak setuju anaknya jadi perupa, tanpa menyadari betapa besarnya potensi yang tersedia saat ini. Menjadi ilustrator, komikus, animator, ahli kaligrafi, sketcher, pelukis, pematung, ahli kriya, pembuat model, pembuat diorama, dsb, adalah profesi-profesi yang sedang mekar akhir-akhir ini, dan saya percaya masih ada banyak kemungkinan di masa datang. Alasan para orangtua tidak setuju anaknya jadi perupa tentu saja hanya satu: perupa itu tidak ada yang menggaji.

Barangkali bila semangat jadi perupa sedang bergejolak di dada Anda, nyali sedang tinggi-tingginya, Anda takkan menghiraukan soal itu. Anda lebih senang membayangkan bekerja di rumah, bisa tidur kapan saja, bangun kapan saja, tidak perlu terjebak macet setiap hari di jalan, dsb. Mungkin Anda pikir soal uang sih gampang. Uang bisa dicari, barangkali malah bisa dapat lebih banyak daripada gaji orang kantoran. Itu memang benar, tapi kekhawatiran para orangtua bukannya tidak beralasan. Mereka yang banting setir meninggalkan dunia seni rupa itu sudah banyak sekali dan alasan mereka hanya satu: jadi perupa tidak ada duitnya. Bila Anda masih lajang, masalah uang mungkin tidak terlalu Anda pikirkan. Namun bila Anda sudah mulai berkeluarga, apalagi punya anak lima, urusannya bisa lain sekali.

Bila Anda termasuk golongan 1% yang tidak perlu kerja seumur hidup tapi tetap bisa hidup bagaikan rockstar sih tidak ada masalah, tapi bila Anda termasuk golongan 99% yang harus bekerja mencari nafkah, jangan sekali-sekali meremehkan soal keuangan. Soal ketidakpastian income ini baru satu masalah saja bagi perupa, masalah lain yang lebih penting adalah soal pengelolaan keuangan itu sendiri. Sejak dulu seniman diidentikkan dengan kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh pandangan romantik tertentu yang menganggap seniman adalah manusia setengah pertapa yang tidak menghiraukan godaan duniawi dan hidup untuk tujuan-tujuan yang lebih luhur. Itu omong kosong, faktanya, banyak sekali seniman yang tidak mampu mengelola keuangan dengan benar lalu jatuh miskin. Bila seniman miskin itu kebetulan seorang jenius yang hidupnya penuh drama, kisah hidupnya pasti ditulis dalam buku dan dibuat film lalu ditonton orang banyak. Ini akhirnya menanamkan persepsi di benak banyak orang bahwa seniman adalah mahluk miskin, sebuah stigma yang cukup menghina mengingat kita hidup di zaman yang materialistis ini. Hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi andai saja perupa melek finansial.

Perupa bukanlah buruh yang bekerja di pabrik dan dapat gaji secara teratur. Ia juga bukan pedagang yang menjual barang produksi orang lain dan mengambil laba. Dilihat dari karakteristik penghasilannya, seniman sebetulnya mirip seperti petani. Perupa butuh waktu untuk memproduksi karya lalu menjualnya di saat “panen”. Dalam medan sosial seni rupa kontemporer Indonesia, masa tengah tahun adalah masa-masa sibuk. Ada banyak perhelatan besar diadakan di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Dan bukan hanya di Indonesia saja, di seluruh dunia juga sama. Musim panas adalah musim pameran, musim dingin adalah masa berkarya dalam kehangatan studio. Maka bila Anda menjadi perupa penghasilan Anda memang datangnya tidak pasti, tapi ada momentum berkala yang bisa Anda manfaatkan untuk memamerkan dan menjual karya. Bila Anda ingin membuat pameran kelompok, apalagi pameran tunggal, manfaatkan momentum penuh keriuhan ini. Anda bisa mendapatkan kemudahan publikasi untuk pameran Anda, dengan begitu yang mengunjungi pameran Anda bisa lebih banyak. Bila Anda bersosialisasi pada masa ini, ada banyak orang yang bisa Anda temui karena biasanya insan seni rupa tumplek di satu tempat seperti di ArtJOG, Art Jakarta, Jakarta Biennale, Yogya Biennale, dsb. Dengan begitu kesempatan untuk mendapatkan penghasilan dari penjualan karya di tengah tahun selalu lebih besar daripada di penghujung tahun. Persiapkanlah produksi karya Anda untuk memenuhi tenggat ini.

Anda tentu harus berharap yang terbaik, tapi Anda juga perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi terburuk. Setelah bekerja keras setahun lamanya dan membuat pameran tunggal di pertengahan tahun, bisa saja tidak ada karya yang terjual sama sekali. Beberapa karya Anda malah diambil oleh galeri sebagai pengganti biaya pameran. Itu bukannya tidak mungkin terjadi. Beberapa perupa yang tahu bahwa karyanya memang sulit dijual kadang-kadang malah lebih menyadari hal ini, tapi pelukis muda bisa shock dan kecewa mengetahui penjualannya nol besar, soalnya lukisan seharusnya lebih mudah dijual. Bagi seorang perupa, penjualan nol besar bukan hanya berarti nihilnya pemasukan tapi juga nihil pengakuan, thus mengesankan nihilnya pencapaian. Ini tentu menyedihkan, tapi bila Anda sudah memilih untuk berprofesi sebagai perupa, Anda tidak boleh cengeng. Kecewa sehari-dua hari boleh, lah, habis itu harus bangkit dan jalan terus. Anda bisa mengambil pelajaran penting dari kegagalan tersebut.

“Masalahnya, saya sekarang tidak punya uang. Uang saya habis untuk berkarya.”

Nah, keluhan seperti ini lazim terdengar. Berarti kekhawatiran para orangtua itu ada benarnya, bukan? Ini memang salah satu fakta menyedihkan dalam dunia seni rupa. Jadi perupa itu lucu. Ini kan profesi. Kalau ini profesi seharusnya kita bisa mendapatkan nafkah dari situ, dong. Teorinya memang begitu, tapi faktanya? Anda bisa butuh waktu 5 sampai 20 tahun untuk bisa benar-benar hidup hanya dari penjualan karya-karya Anda saja. Dan selama itu Anda harus tetap berkarya, tetap pameran, tetap melakukan studi, dan sebagainya. Pedagang seringkali harus bertahan dulu selama beberapa tahun sampai akhirnya bisa mencapai break-even point dan meraup laba, tapi perupa bahkan harus bertahan jauh lebih lama. Mengapa bisa sampai 20 tahun, mengapa selama itu?

Saya tidak bilang bahwa selama 20 tahun Anda tidak bisa menjual karya sama sekali. Anda tentu bisa dan sangat mungkin karya-karya Anda memang terjual. Masalahnya: hasil penjualan tersebut masih terlalu unpredictable untuk dijadikan sumber penghasilan yang teratur dan bisa diandalkan. Tentu saja ini bukan rumus baku karena nasib seniman berbeda-beda, tapi saya tetap berkeyakinan, sebelum jadi seniman top di tingkat Asia-Pasifik, jangan menggantungkan hidup Anda dari penjualan karya. Bila Anda sudah jadi seniman top yang dikejar-kejar kurator, galeri, museum dan kolektor di tingkat Asia-Pasifik, bisa dipastikan permintaan terhadap karya Anda akan selalu lebih tinggi daripada tingkat produksi, sehingga mudah bagi Anda untuk menjualnya, dan dengan harga yang bagus pula.

Karier seorang perupa itu berjenjang. Pertama ada tingkat nasional yang meliputi: Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Lalu ada tingkat regional Asia tenggara yang meliputi: Jakarta, Singapura dan Manila. Titik ini bisa Anda sebut: early career. Lalu ada tingkat regional Asia, mencakup: Jakarta, Singapura dan Manila, ditambah dengan: Beijing, Seoul, Gwang-ju, Tokyo, Yokohama, Fukuoka, Taipei, Shanghai dan Hong Kong. Titik ini bisa disebut sebagai: mid-career. Bila diluaskan sedikit lagi menjadi tingkat regional Asia-Pasifik, kita menambahkan: Sydney, Melbourne dan Brisbane. Setelah itu ada tingkat internasional yang sebenarnya hanya mencakup wilayah Eropa Barat dan sebagian kota di Amerika Serikat. Ini adalah top-career seorang perupa.

Jenjang karier ini tentu tidak selalu linear. Seorang perupa muda yang baru lulus bisa saja langsung berpameran di Jepang, misalnya. Namun dengan begitu ia tentu belum eksis di Jepang karena pamerannya kan baru satu kali. Ukuran jenjang di sini adalah eksistensi, yakni saat nama dan karya Anda dikenal di wilayah tertentu. Anda bisa mencapainya dengan sering berpameran di wilayah tersebut, atau bisa juga Anda membuat satu pameran yang spektakuler yang membuat Anda jadi terkenal di wilayah yang lebih luas, walaupun Anda belum berpameran di semua kota di wilayah tersebut.  Kenyataannya, keduanya butuh waktu.

Maka seorang perupa harus terus berkarya dan berpameran di Jakarta-Bandung-Yogyakarta sampai akhirnya eksis di tingkat nasional. Kalau perjalanan kariernya mulus, itu akan makan waktu 2-3 tahun. Bila karyanya dianggap menarik, ia akan mendapat tawaran untuk berpameran di Singapura dan Manila, mungkin di Gwang-ju atau Tokyo, dan kariernya pun berkembang. Kalau karyanya dianggap kurang menarik dari sudut pandang seni kontemporer, waktu yang dibutuhkan bisa lebih lama karena tidak banyak yang akan mengundang pameran. Selama masa itu, bisa jadi Anda tidak dapat pemasukan sama sekali, padahal Anda harus terus berkarya, memikirkan konsep yang paling cocok dengan melakukan banyak studi ini-itu, mendatangi pameran-pameran penting untuk rujukan, dan bereksperimen dengan banyak risiko gagal, dsb. Alih-alih mendatangkan uang, semua aktivitas tersebut malah membuang uang, tapi semua harus dilakukan, baik Anda masih lajang maupun sudah punya anak lima. Makin banyak anak Anda, makin berat tantangan untuk jadi perupa, karena itu saya sering menyarankan pada teman-teman perupa yang lajang: jangan menikah. Atau, boleh deh menikah, tapi jangan punya anak. Piara kucing saja, atau main tamagochi. 😀

Eksis di tingkat nasional dan regional Asia tenggara itu masih gampang soalnya jumlah kotanya sedikit, jumlah galeri dan museumnya juga sedikit. Namun begitu Anda masuk tingkat regional Asia, lihat saja, kota, galeri dan museumnya banyak sekali. Karena itulah untuk membangun karier sampai bisa eksis di tingkat Asia-Pasifik, Anda bisa butuh waktu sampai 20 tahun, bahkan lebih. Dan selama waktu tersebut, penjualan karya Anda memang akan meningkat secara perlahan-lahan (diasumsikan Anda membuat karya yang memang bisa dijual), tapi sekali lagi: sebelum Anda menjadi seniman top di tingkat Asia-Pasifik, menggantungkan hidup sepenuhnya dari penjualan karya Anda tidaklah realistis karena penjualannya masih terlalu unpredictable, karena permintaan terhadap karya Anda masih belum tinggi dan belum merata.

Pada titik tertentu, semua perupa akhirnya tahu bahwa penghasilan dari penjualan karya tidak bisa diandalkan sehingga harus punya sumber penghasilan lain. Yang sering jadi masalah adalah pilihan pekerjaannya. Orang sering mencari sumber penghasilan lain dan sebenarnya berhasil, tapi penghasilan itu berasal dari jenis pekerjaan yang menghabiskan begitu banyak waktu, tenaga dan perhatian, sampai akhirnya tidak ada lagi waktu untuk berkarya. Banyak perupa yang akhirnya banting setir meninggalkan idealismenya di titik ini. Persis di sinilah letak tantangannya dan tidak semua perupa mampu menjawab tantangan tersebut.

Pekerjaan sampingan yang bisa menghasilkan uang ini sebaiknya tidak mengambil lebih dari 20% waktu produktif Anda, soalnya 80% waktu Anda akan dialokasikan untuk berkarya. Namun, penghasilan yang Anda dapat dari pekerjaan sampingan ini harus mampu memenuhi sebagian besar/semua kebutuhan hidup dan kebutuhan berkarya Anda. Bila Anda masih lajang dan bergaya hidup sederhana, kebutuhan itu mestinya tidak besar dan seharusnya bisa dipenuhi, tapi kalau Anda sudah berkeluarga, itu tidak mudah, bukan? Apalagi kalau Anda laki-laki, Anda tentu ingin dan diharapkan bisa menafkahi keluarga dengan layak.

Pekerjaan yang Anda pilih itu bisa berhubungan dengan seni rupa, bisa tidak. Boleh hobi, tapi boleh juga tidak. Yang penting halal dan legal, tidak melanggar hukum, jangan jadi pengedar narkoba. Anda mau berinvestasi buka toko pulsa hp, boleh. Mau jadi penjaga kosan sambil bikin karya, boleh. Mau mengajar tante-tante main tenis, boleh. Mau main saham, boleh. Pokoknya apa saja boleh, yang penting duitnya ada dan Anda masih punya cukup waktu untuk berkarya. Kalau Anda punya suatu hobi dan bergabung dengan komunitas, mungkin Anda bisa salurkan bakat dagang Anda dengan membuat bisnis jual-beli barang kebutuhan komunitas hobi tersebut. Terserah deh, apa saja. Anda ada ide? Bila pemasukan Anda datang dari beberapa sumber, itu yang terbaik. Lebih baik punya lima jenis pekerjaan yang masing-masingnya menghasilkan uang Rp.1juta daripada punya satu jenis pekerjaan yang menghasilkan uang Rp.5juta. Yang kedua ini berbahaya, kalau ada masalah, penghasilan bisa berhenti sama sekali.

Saya memenuhi kebutuhan hidup keluarga saya (istri + satu anak) dengan mengajar seni rupa. Mengajar seni rupa ini hobi, bahkan sebelum saya lulus kuliah saya sudah dapat uang dari mengajar. Dengan penghasilan saya saat itu saya bisa indekost dan hidup mandiri dan itu saya lakukan terus sampai sekarang. Apa bedanya hobi dengan profesi? Keduanya sama-sama bisa menghasilkan uang, tapi kalau hobi: kita menggunakan waktu luang untuk mengerjakan hal-hal yang kita sukai saja. Kalau profesi, kita menggunakan sebagian besar waktu produktif dan semua rintangan, tantangan dan hambatan harus kita hadapi sampai ke busuk-busuknya sekalipun.

Karena itulah saya tidak mau jadi dosen tetap di kampus, karena kalau saya jadi dosen, mengajar akan jadi profesi. Saya jadi pengajar kursus jangka panjang yang programnya saya rancang sendiri dan mengajarnya pun via Whatsapp, jadi sebenarnya ini sih chatting, tapi belajar gambar. Sekali-sekali saya bikin kursus dan workshop offline, saya bisa dapat penghasilan dari situ. Penghasilan saya dari mengajar tidak besar, tapi cukup untuk hidup keluarga saya. Saya juga kadang-kadang mendapat penghasilan dari jalur lain (tapi bukan penjualan karya) dan lumayan, bisa buat nambah-nambah. Intinya, sebagian besar waktu saya tetap saya gunakan untuk berkarya.

Bila semua kebutuhan hidup dan kekaryaan Anda sudah bisa dijamin dengan penghasilan di luar penjualan karya, selamat, Anda sudah menjadi seorang perupa independen. Apabila kekaryaan Anda adalah jenis kekaryaan yang sarat wacana namun sulit dikoleksi—kecuali oleh museum bila Anda sudah jadi seniman top—Anda bisa meneruskan kekaryaan Anda dengan tenang selama meniti karier karena Anda punya penghasilan. Bila kebetulan Anda adalah seorang perupa yang anti-market dan membenci semua jenis komodifikasi karya seni, inilah caranya agar Anda bisa secara konsisten menyuarakan visi kritis Anda. Walaupun untuk 20 tahun ke depan karya Anda tidak dikoleksi sama sekali, Anda bisa tetap jalan terus, berkarya terus, pameran terus, eksis terus, sampai akhirnya dunia mengenal kekaryaan Anda. Maka terjual atau tidak, kekaryaan tidak boleh terganggu.

Inilah pentingnya pekerjaan sampingan di luar penjualan karya. Cari uang sih gampang, tapi cari uang yang bisa memenuhi semua kebutuhan hidup dan berkarya, hanya dengan meluangkan waktu maksimal 20% dari waktu produktif Anda, untuk bisa menghasilkan penghasilan yang teratur dan berkesinambungan itu tidak mudah. Anda harus cari pekerjaan yang paling cocok karena hanya itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan kekaryaan Anda soalnya ingat, karier Anda bukan seperti lomba lari sprint, tapi seperti ultra marathon. Lima, sepuluh, lima belas dan dua puluh tahun ke depan Anda akan tetap butuh pekerjaan ini.

Kalau ternyata dalam perjalanannya ada karya yang laku bagaimana? Ya bagus, dong, berarti Anda punya dana strategis untuk digunakan sesuai kebutuhan Anda, kemungkinan besar dana tersebut akan Anda gunakan untuk membeli alat/bahan untuk meneruskan kekaryaan Anda. Anda juga bisa memasukkan sebagian dana tersebut ke dalam pundi uang hidup Anda sehingga kebutuhan hidup Anda bisa terjamin untuk sekian waktu ke depan. Dalam perjalanan menuju top career Anda, pasti akan ada banyak karya yang terjual dan Anda bisa saja kebanjiran uang, tapi jangan terlena. Pertahankan sumber penghasilan Anda, cermati gaya hidup Anda dan atur pengelolaan finansial Anda. Sekarang, mari kita bicara tentang gaya hidup seorang perupa karena ini penting banget.

Pak Handoko almarhum adalah mantan manajer penjualan karya-karya saya. Beliau adalah pedagang barang antik dari Semarang. Waktu kebersamaan kami ternyata tidak panjang, hanya tujuh tahun sebelum akhirnya Pak Han wafat karena komplikasi diabetes. Kalimat di atas sering diulang-ulang Pak Han dengan nada kesal saat mencela gaya hidup saya yang boros. Boros, tidak bisa menabung, punya uang sedikit habis, punya uang banyak juga habis, untuk sesaat saya memang bisa hidup senang sesuka hati saya, tapi akhirnya saya selalu kehabisan uang. Itu adalah sifat saya dulu dan Pak Han tidak henti-hentinya memarahi saya. Walaupun Beliau adalah seorang manajer, bagi saya figur Pak Han lebih seperti seorang ayah yang tegas dan galak. Beliau sering bercerita bagaimana sulitnya kehidupan yang ia jalani saat muda dulu, perjuangannya keras sekali. Karena itu ia sangat berhati-hati mengeluarkan uang. Saya belajar banyak hal dari Beliau, salah satu yang terpenting adalah soal gaya hidup.

Kekayaan material sebenarnya tidak dihitung dengan berapa banyak uang yang kita miliki. Definisi kekayaan = berapa lama waktu yang bisa Anda lewati tanpa bekerja sama sekali, namun bisa tetap hidup layak sesuai dengan standar yang telah Anda tetapkan sebelumnya? Itulah definisi kekayaan yang sesungguhnya. Dengan begitu kekayaan tidak dihitung dengan uang, tapi dengan waktu. Karena itulah ada ungkapan “kaya tujuh turunan”. Dengan begitu kekayaan itu tidak relatif, tapi absolut. Yang relatif adalah soal gaya hidupnya itu. Kalau mau, sekarang juga Anda pasti bisa hitung: berapa sih sebenarnya kebutuhan bulanan Anda?

Kalau hanya dihitung yang penting-pentingnya saja, ditambah dengan biaya hiburan seperti nonton film, beli buku dan makan di restoran (kelas menengah) satu-dua kali sebulan, mestinya kebutuhan Anda tidak terlalu banyak. Bila Anda masih lajang dan tinggal di Bandung pada tahun 2018 ini, Rp.5juta sebulan harusnya sih sudah lebih dari cukup, Anda sudah bisa bayar BPJS dan bisa nabung. Dengan begitu, kalau uang Anda di rekening ada Rp.5juta, artinya kekayaan Anda satu bulan. Kalau uang Anda Rp.50juta, kekayaan Anda 10 bulan. Kalau uang Anda Rp.500juta, kekayaan Anda 100 bulan. Kalau Anda tiba-tiba jatuh sakit lalu tidak bisa berkarya, Anda masih bisa hidup dengan layak sepanjang kekayaan yang Anda miliki itu.

Dulu, kalau punya uang Rp.500ribu, saya bisa bertahan hidup sebulan dengan cara yang sangat prihatin. Tapi saat uang di rekening saya bertambah sampai Rp.500juta, wah, gaya hidup saya langsung meroket bagaikan rockstar. Maklumlah, seumur-umur saya kere, jadi dapat uang banyak terus kaget dan ingin merasakan bagaimana sih rasanya jadi orang kaya? Hasilnya sudah bisa diduga, uang saya habis dalam sekejap. Nah, inilah yang membuat seniman identik dengan kemiskinan. Masalahnya bukan semata-mata soal income yang tidak pasti, tapi lebih pada pengelolaan finansial. Punya penghasilan besar kalau cara pengelolaannya ngawur akhirnya ya habis juga uangnya. Sebaliknya, kalau pengelolaannya benar, penghasilan kecil juga bisa jadi sesuatu.

Jangan sepelekan uang receh, kalau pengelolaan finansial Anda benar, penghasilan kecil yang seperti uang receh lama-lama bisa jadi besar, lho. Mengelola keuangan itu ada banyak caranya, tapi semua pasti diawali dengan menyusun anggaran belanja bulanan. Bila setelah dihitung Anda punya kebutuhan Rp.5juta/bulan, ya sudah, tetaplah setia pada anggaran itu. Kalau tiba-tiba karya Anda laku bertubi-tubi sehingga Anda punya uang banyak, jangan terlena. Tetaplah bergaya hidup sebesar Rp.5juta/bulan, jangan lebih. Ya, boleh, deh, beli sepatu atau celana baru, tapi ya sudah itu saja. Jangan merembet dibelanjakan ke mana-mana uangnya.

Pilihan gaya hidup ini menentukan segalanya dalam karier Anda. Anda bisa hidup bagai raja sehari tapi selanjutnya Anda hidup sengsara seperti gembel, atau Anda bisa hidup seperti orang biasa saja untuk waktu yang lebih lama. Pilihan di tangan Anda. Mengingat karier di dunia seni rupa adalah karier jangka panjang, hidup sederhana yang tidak serba mewah tapi tidak ada yang kurang adalah pilihan terbaik bagi perupa muda yang baru mulai berkarier. Kalau teman-teman mengajak pergi ke kafe yang mahal, tidak perlu gengsi, bilang saja, “Sorry, no budget”, karena memang itu di luar anggaran Anda. Syukur-syukur kalau ada teman yang iba lalu mau mentraktir Anda. Kalau tidak ada ya sudah, tidak usah ikut. Kalau teman-teman Anda pakai baju dan sepatu keren, punya hp dan laptop keren, pakai sepeda motor dan mobil keren, tidak perlu iri. Kalau Anda menginginkan itu semua, Anda juga bisa. Hanya perlu waktu agak lama saja karena Anda harus menyisihkan sebagian pendapatan untuk menabung, dengan mengorbankan anggaran tertentu (misalnya tidak nonton di bioskop selama 3 bulan), dan tidak mengganggu anggaran belanja bulanan Anda. Jadi anggarannya sih sama saja, hanya saja Anda membuat alih-prioritas. Atau bila jumlah dana yang dibutuhkannya besar—seperti untuk membeli mobil, misalnya—Anda perlu memikirkan sebuah/serangkaian proyek komersial yang didedikasikan khusus untuk mengakumulasi kapital, supaya uangnya cepat terkumpul. Sementara Anda mengumpulkan uang, anggaran belanja Anda sendiri tetap tidak boleh terganggu.

Adalah penting bagi teman-teman Anda untuk memahami bahwa Anda adalah orang yang stick to the budget. Mereka harus tahu kedisiplinan Anda ini, dengan begitu mereka juga takkan repot-repot merayu-rayu Anda untuk ikut bergabung dalam hedonisme mereka. Lagipula, bisa jadi sebagian dari teman Anda sebenarnya tidak mampu membiayai gaya hidup mereka yang konsumtif itu. Mereka hanya ingin senang-senang hari ini saja dan tidak memikirkan bagaimana hari esok. Bisa jadi besok uang mereka habis dan harus pinjam uang. Yang seperti itu lazim terjadi di mana-mana, sepanjang waktu.

Gaya hidup adalah salah satu pondasi pengelolaan keuangan yang diajarkan Pak Handoko pada saya. Kumpulkan uang dan sebelum target tercapai, jangan macem-macem. Soal mengakumulasi kekayaan tidak akan dibahas di sini, ya, soalnya itu sudah masuk ranah manajemen finansial dan ada banyak buku yang bisa mengajarkan cara yang paling tepat sesuai dengan tujuan dan karakter Anda. Pokoknya kalau Anda dapat rezeki lebih, menghibur diri sendiri dengan nonton film sekali-sekali, beli buku, nonton konser, atau apa saja, sebenarnya sih boleh-boleh saja. Namun semua harus dilakukan tanpa melanggar anggaran. Kalau Anda ingin nonton konser band kesayangan Anda, menabunglah dari jauh-jauh hari sehingga anggaran belanja per bulan Anda tidak terganggu.

Perupa atau bukan, cara pengelolaan keuangan penuh disiplin seperti inilah yang akan menyelamatkan Anda dari kemiskinan. Jangan malu dan jangan gengsi untuk menerapkan disiplin keuangan. Anda seharusnya bangga karena itulah yang dilakukan orang-orang sukses sejak mereka muda. Bila ada orang sukses melihat Anda punya disiplin seperti itu, ia akan memuji Anda. Tidak ikut ngopi di Starbucks itu nggak apa-apa, tidak pakai sepatu keren juga tidak apa-apa. Anda tidak perlu pakai MacBook Pro terbaru yang kinclong, yang penting adalah karya macam apa yang bisa Anda hasilkan dari laptop Anda yang murah-meriah seharga 3 jutaan itu? Apa gunanya pakai MacBook Pro terbaru kalau hanya dipakai browsing dan periksa email sambil ngegaya di kafe doang? Anda tidak perlu punya sepeda motor atau mobil yang keren, yang penting adalah kendaraan itu bisa menghasilkan apa? Meningkatkan produktivitas tidak? Menghasilkan duit tidak? Memperluas jejaring atau tidak? Kalau memiliki satu barang akhirnya malah membuang lebih banyak duit, apa gunanya?

Yang utama bagi perupa adalah karya dan prestasi, bukan merk sepatu, baju, laptop, hp dan semua joie de vivre fana lainnya. Lihatlah di media sosial bagaimana orang menyombongkan gaya hidup mereka yang konsumtif. Ya biarin aja, itu kan orang lain, bukan kita. Kita ini perupa. Kita ini maker, pencipta. Kita ini takdirnya memproduksi, bukan mengkonsumsi. Saya jauh lebih menghargai orang yang hidup sederhana dan biasa-biasa saja tapi karyanya luar biasa daripada sebaliknya. Bacalah kisah hidup Michelangelo Buonarroti, sang Maestro. Hidupnya benar-benar sederhana, malah terlalu spartan sampai-sampai mirip seperti gembel, padahal ia adalah seniman sukses pada masanya, diperebutkan oleh dua kekuatan terbesar pada zamannya: keluarga Medici di Florensia dan gereja Katolik di Vatikan. Yang memboroskan uangnya adalah ayahnya sendiri, ia sendiri tetap hidup sederhana.

Manusia yang keren bukanlah manusia yang punya segalanya. Kalau cuma sekedar kaya raya, bandar narkoba dan koruptor juga banyak yang kaya padahal mereka itu kan bajingan. Manusia yang keren adalah manusia yang punya prinsip dan teguh mempertahankan prinsip tersebut. Itu baru keren, apalagi kalau orangnya masih muda seperti Anda. Jadi soal gaya hidup, tetaplah mengacu pada anggaran belanja Anda dan ingatlah pesan Pak Handoko, kalau belum punya 10M jangan macem-macem. 🙂

Bila Anda sudah punya penghasilan yang teratur sehingga Anda bisa berkarya dengan fokus, sekarang adalah masalah kekaryaan itu sendiri. Bila seni rupa kontemporer punya tiga prinsip utama, prinsip itu adalah: gagasan-gagasan-gagasan. Ini adalah zaman gagasan. Seni rupa kontemporer bukan soal skill, bukan soal teknik, bukan soal keindahan. Di Eropa pada abad ke-17, kalau Anda tidak nyekil, jangan mimpi mau jadi seniman. Masalahnya, pada masa itu gagasan tidak berkembang. Gagasan yang muncul dalam karya-karya seni pada masa itu adalah gagasan kaum elit yang mampu bayar. Gagasan masyarakat awam tentang seni adalah keindahan. Gagasan kaum elit tentang seni adalah keindahan sebagai alat untuk merayakan eksistensi diri dan kekuasaan kaum mereka sendiri. Maka bila Anda melihat karya seni kontemporer seringkali begitu hancur, tidak ada indah-indahnya sama sekali, itu adalah ekstrim yang berbeda bila dibandingkan dengan karya-karya maestro di zaman klasik. Para maestro yang hebat-hebat itu sebenarnya adalah tukang yang sangat ahli, yang selalu bekerja menuruti keinginan kaum elit yang menjadi patron mereka. Kini perupa jauh lebih independen. Dalam perkembangan musik jazz misalnya, ada perbedaan yang nyata antara musik jazz yang dipertunjukkan untuk mengiringi makan malam orang-orang kaya, dengan musik bebop yang sudah tidak mementingkan lagi aspek hiburan, tapi mengutamakan ekspresi para musisinya. Kira-kira seperti itu analoginya. Seni rupa kontemporer adalah soal ekspresi, ekspresi adalah soal gagasan.

Gagasan yang menjadi sumber inspirasi seniman untuk berkarya ada banyak sekali dan bisa berhubungan dengan bidang apa saja. Isu-isu seperti: identitas dan pasca-kolonialisme; kondisi sosial-politik dan cultural studies; kondisi manusia dan psikoanalisa; produksi-konsumsi dalam kaitannya dengan advanced capitalism dan masalah lingkungan; dsb, adalah sebagian dari tema-tema besar yang ditekuni oleh para perupa. Selain itu ada juga gagasan yang lebih spesifik seperti: pencerapan visual; identitas medium; batas; ruang-waktu; mobilitas dan migrasi; jejak dan tilas; dsb. Bandingkanlah tema-tema ini dengan subyek-subyek populer di abad ke-17, saat kaum elit mendominasi kehidupan feodal masyarakat saat itu: kisah Alkitab; kisah mitologi Yunani; raja dan kaum aristokrat; para pembesar militer; para pemuka gereja dan para saudagar kaya. Lain dari itu palingan hanya ada karya lanskap alam, alam benda dan genre painting. Perbedaannya nyata, bukan? Seni kontemporer jauh lebih fleksibel dan jauh lebih luas wilayah cakupan gagasannya daripada zaman klasik dulu. Namun, walaupun wilayah gagasan yang bisa digarap perupa kontemporer sangat luas, satu hal tetap sama: perupa butuh studi.

“Out of Beichuan”, Liu Xiaodong, 2010

Walaupun setiap seniman punya cara bekerja yang unik, sebuah proses penciptaan secara makro itu mirip dengan manufaktur: ada input, ada proses, ada output. Perupa kontemporer membutuhkan input (masukan) dalam jumlah yang besar dan jenis yang beragam karena mereka bukan lagi jenis pelukis zaman dulu yang berjalan-jalan di tengah keindahan alam, lalu tergugah jiwanya, lalu meneteskan air mata haru, membaca puisi lalu melukis en plein air. Perupa masa kini butuh baca text book, butuh baca jurnal, membuat kliping, mengikuti berita yang spesifik, pindah dari satu tempat ke tempat lain, berdiskusi dengan ahlinya, bertemu langsung dengan publik, kadang-kadang ia juga perlu menuliskan buah pikirannya.

Dengan begitu, seorang perupa kontemporer sejatinya adalah seorang peneliti, hanya saja output-nya bukan makalah, tapi sebuah ekspresi artistik yang disebut karya seni. Peneliti adalah seorang intelektual yang punya pemikiran-pemikiran kritis terhadap subyek yang sedang ia geluti. Cara seorang seniman mengobservasi dan mempelajari subyek dalam kekaryaannya serupa dengan metodologi yang diterapkan: filsuf; ilmuwan; psikolog; ahli sejarah; ahli sosiologi; ahli antropologi; naturalis; ahli biologi; ahli bahasa; dsb. Namun caranya merangkum semua studi dan menciptakan karya seni tetaplah artistik seperti layaknya seorang seniman, mengikuti prinsip-prinsip estetik tertentu. Seperti inilah figur seorang seniman kontemporer.

Ini berbeda sekali dengan figur maestro klasik yang punya skill tingkat dewa, tapi tidak menggarap tema-tema seperti yang saya sebutkan di atas, karena dulu tema-tema seperti itu memang belum ada. Maka bila Anda ingin jadi seorang perupa kontemporer, inilah yang diharapkan dari Anda. Anda harus mampu merumuskan gagasan secara bernas dan tajam, lalu melahirkan karya berdasarkan gagasan tersebut. Ketika karya Anda dipamerkan, Anda perlu bertemu dan bicara dengan publik tentang gagasan Anda. Dalam perjalanan karier Anda, Anda akan perlu menuliskan buah pikiran Anda dan menyampaikannya secara lisan baik dalam bahasa ibu maupun dalam bahasa Inggris pada gallerist, kurator dan kolektor Anda.

Saya sering sekali bertemu perupa dengan bakat dan keterampilan menggambar yang mumpuni, tapi tidak intelek. Bahasa Inggris nggak bisa, jadi tidak bisa menyerap bahan-bahan studi yang tersebar di mana-mana terutama di internet. Masalahnya, mereka memang tidak merasa membutuhkan studi karena pola berpikirnya tidak kritis seperti seorang intelektual. Mereka biasanya fokus pada gaya visual, bukan pada gagasan tematik yang bisa diaplikasikan menjadi karya dengan beragam pendekatan dari mulai teknik dan medium yang berbeda, strategi presentasi, sifat interaksinya dengan pemirsa dan sebagainya. Selain tidak bisa berbahasa Inggris, salah satu hal yang lazim saya temui pada perupa-perupa jenis ini adalah: mereka tidak senang membaca.

Walaupun hal ini patut disayangkan, ini tidak mengherankan karena tingkat literasi di Indonesia memang rendah. Saya pikir ini ada hubungannya dengan tradisi lisan kita yang kuat di mana wawasan dan pengetahuan disampaikan dengan cara non-tulisan, yaitu dengan cara praktik langsung atau melalui tontonan. Zaman dulu itu masyarakat Indonesia kenal filsafat dan mereka mempelajari itu dengan nonton wayang, bukan dengan membaca buku. Saya sebenarnya tidak percaya kalau ada orang yang bilang dia tidak suka membaca. Menurut saya orang pasti akan suka membaca asal yang dibaca sesuai dengan minatnya. Masalahnya, ada banyak perupa yang tidak tahu minatnya apa. “Minat saya sih banyak, Mas, jadi bingung juga saya, mana yang paling utama?” Lha, ini kan membingungkan. Tidak tahu minat utama adalah gejala dari tidak mengenal diri sendiri. Kadang-kadang perupa seperti itu tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena itu adalah hasil pendidikan dasar dan menengah yang bersifat umum, semua disamaratakan. Mereka tidak tahu mau jadi apa.

Bagi saya pribadi, kalau semangat belajar memang tinggi, tidak belajar dari buku pun tidak masalah. Masalahnya, hampir semua kristal pengetahuan yang dibutuhkan ada di buku, atau situs web, dan itu banyak sekali yang ditulis dalam bahasa Inggris. Dalam hal ini saya berusaha menjadi jembatan, melalui blog dan akun IG saya berusaha menyediakan quality content dalam bahasa Indonesia supaya bisa dibaca perupa dari Sabang sampai Merauke. Namun tangan saya hanya dua. Seberapa banyak sih kemampuan saya menyediakan ilmu? Saya pasti tidak akan mampu menyediakan semua ilmu yang dibutuhkan dalam bahasa Indonesia untuk beragam minat seni rupa.

Bila Anda serius ingin jadi perupa kontemporer, Anda harus mampu belajar secara mandiri. Bila Anda tidak intelek, tidak bisa berbahasa Inggris, karya Anda hanya akan dikoleksi sebagai hiasan rumah saja, tidak dijadikan instrumen investasi. Dampaknya, karier Anda akan sangat sulit menembus tingkat regional Asia tenggara. Bisa eksis di tingkat nasional saja sudah bagus, seringkali karier Anda hanya mentok di tingkat kota tempat Anda berdomisili saja karena karya Anda tidak punya muatan kritis yang mampu menarik perhatian kurator untuk mengundang Anda dalam perhelatan yang lebih luas di kota-kota lain. Ujung-ujungnya, harga karya Anda tidak akan banyak bergerak dari harganya semula karena kalau dinaikkan sedikit saja, karya Anda tidak akan laku. Dengan begitu karya Anda hanya dapat dijual sebagai dekorasi, bukan dijadikan instrumen investasi. Bila hal itu terjadi, karya Anda akan masuk ke dalam wilayah bisnis ritel. Persaingan bisnis ritel ini cukup kejam karena seniman bisa banting-bantingan harga. Karya yang sudah susah payah Anda buat tidak laku karena seniman sebelah memberi diskon 40% untuk mutu yang hanya sedikit di bawah karya Anda. Saat orangnya dikonfrontasi, ia hanya mengangkat bahu dan bilang, “Anak saya ada lima”.

Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa bisnis ritel karya seni rupa itu buruk. Ada banyak perupa yang sintas dalam bisnis ini, bahkan sukses membangun namanya sendiri. Namun bisnis ritel ini berbeda dengan bisnis karya seni rupa modern dan kontemporer di mana karya seni diperlakukan sebagai instrumen investasi. Harga karya seni rupa dalam bisnis ritel tidak akan pernah mampu menyaingi harga karya dalam bisnis investasi karya seni karena itu adalah dunia bisnis yang berbeda. Dalam bisnis ritel seni rupa, skill seringkali penting karena titik beratnya ada pada keindahan. Karya harus nampak bagus saat dijadikan elemen interior dalam hunian. Namun dalam bisnis seni rupa kontemporer, keindahan dan skill menduduki tempat nomor sekian karena gagasan adalah yang diutamakan. Sebuah karya seni kontemporer bisa indah, bisa juga tidak, tapi gagasannya harus menantang.

Demikianlah titik berat dunia seni rupa kontemporer. Skill hanya diperlukan sebatas kebutuhan konsepnya saja. Bila konsepnya membutuhkan skill tingkat tinggi, ya keterampilan itu harus dikuasai. Namun ada juga karya yang tidak membutuhkan keterampilan tingkat tinggi karena konsepnya memang tidak mensyaratkan hal itu. Bila Anda mengenal saya mungkin Anda heran, dari tadi saya bicara soal betapa pentingnya gagasan dan skill itu tidak penting, tapi kenyataannya di Klinik Rupa dr. Rudolfo saya sangat mementingkan skill. Karya saya juga membutuhkan skill. O, itu karena saya bekerja dalam disiplin realisme (fotografis), jadi saya butuh skill. Realisme adalah cara ekspresi yang paling bermakna bagi saya. Bisa saja sih saya bikin karya coret-coret doang, bikinnya kan cepat, tapi ya itu kurang bermakna bagi saya. Saya adalah seorang penutur, seorang story teller, saya suka dongeng, suka sejarah, dengan begitu karya saya selalu naratif dan realisme adalah disiplin yang paling cocok untuk saya.

Saya tidak bisa membayangkan membuat karya non-representasional seperti abstrak ekspresionisme, misalnya, karena saya tidak akan bisa bertutur dengan ekspresi tersebut. Lain dari itu, saya kan mengajar kursus dan Klinik Rupa dr. Rudolfo adalah sebuah kuil realisme. Pendekatannya sangat analitis dan titik beratnya memang ada pada skill, baik itu skill observasi maupun skill menggambar dan melukis. Mungkin suatu saat nanti karya saya akan berubah jadi tidak terlalu nyekil, ya nggak apa-apa, tapi sementara ini sih skill masih penting bagi kekaryaan saya dan yang terpenting, masih ada banyak gagasan yang bisa diakomodasi oleh cara ekspresi saya ini. Kalau konsep Anda tidak membutuhkan skill sama sekali padahal karya Anda adalah seni lukis cat minyak di atas kanvas, ya monggo. Kerjakanlah cara ekspresi yang paling cocok dan paling bermakna bagi Anda, soalnya skill hanya penting sebatas kebutuhan konsepnya saja.

Bila Anda sudah terjun ke dunia profesional untuk beberapa waktu, jejaring Anda sudah mulai terbentuk dan karya-karya Anda diapresiasi dengan baik, bisa dipastikan Anda akan sibuk. Anda harus membagi waktu Anda untuk mengurus hobi yang bisa menghasilkan uang, untuk berkarya, untuk pacaran atau bercengkerama dengan keluarga, untuk bersosialisasi dengan insan seni rupa, untuk berolahraga, untuk ini dan itu, banyak lagi. Sejak zaman dulu sampai sekarang, semua seniman yang kariernya lancar pasti sibuk. Mereka tidak punya banyak waktu untuk berleha-leha. Apalagi zaman sekarang ada banyak distraksi. Coba bayangkan kalau di zaman Rembrandt sudah ada Instagram. Pasti sedikit-sedikit dia akan ngunggah foto karya dengan tagar #wip. Selain mengelola uang, mengelola waktu juga sangat penting karena bila pekerjaan Anda sudah menumpuk, tidak ada pilihan lain, Anda akan butuh manajemen waktu seperti orang kantoran.

Ini jelas terdengar counterintuitive. Kalau Anda sekarang bekerja di kantor, mengerjakan pekerjaan yang tidak Anda sukai dan memimpikan hidup sebagai perupa profesional, tentu Anda membayangkan bisa bekerja seenak sendiri. Memang iya, pada awalnya. Namun bila Anda sudah sibuk, bila dalam waktu satu tahun jadwal pameran tunggal Anda ada dua, tidak ada itu yang namanya leha-leha. Anda libur bukan satu hari seminggu, tapi satu hari dalam dua minggu. Anda bisa bekerja 10-12 jam sehari, bahkan lebih, apalagi kalau sudah dikejar tenggat. Jadi bukan mentang-mentang Anda seniman, tidak ada bos yang bawel, bisa mengatur waktu kerja sendiri, lalu Anda bisa bekerja seenaknya saja. Perupa profesional yang serius dan dikejar banyak pekerjaan sibuknya bisa sama, bahkan melebihi orang kantoran. Karena itu, bila Anda sudah jadi perupa profesional, Anda sudah tidak bisa lagi bekerja dengan mengandalkan mood.

Perupa profesional, termasuk semua jenis profesional di bidang mana saja, tidak mungkin mengandalkan mood untuk bekerja, soalnya mood memang tidak bisa diandalkan. Para profesional mengembangkan kebiasaan kerja yang rutin dan teratur. Bagi Anda yang masih dikuasai oleh mood saat bekerja, silakan baca artikel yang bisa membantu Anda ini: Memelihara Mood. Bila Anda masih dikuasai mood saat bekerja padahal Anda dikejar tenggat, itu bukan pekerti seorang profesional. Itu sih pekerti seorang hobbyist yang amatiran. Perupa profesional tidak bekerja karena sedang in the mood, mereka bekerja karena kebiasaan kerjanya sudah terbentuk. Hanya dengan cara itu perupa profesional bisa menyelesaikan pekerjaan yang tidak ada habis-habisnya, tapi tentu sambil diselingi istirahat dan liburan yang cukup, ya. 🙂

Masyarakat awam sering tidak mengerti mengapa sebuah karya yang jelek dan tidak bisa dimengerti bisa dihargai mahal sekali. Apakah seni lukis abstrak sering membuat Anda pusing karena tidak bisa mengerti? Silakan baca artikel ini: Memahami Seni Abstrak. Bagi orang awam, sebuah karya seni dihargai tinggi karena keindahannya. Pandangan itu memang tidak salah, tapi ketinggalan zaman. Itu pandangan abad ke-17. Sejak Manifesto Gerakan Realis dibacakan oleh Gustave Courbet pada pertengahan abad ke-19 di Perancis, sejarah seni rupa dunia mulai mengalami perubahan radikal. Gerakan Realis menolak semua prinsip estetik yang didiktekan kaum elit, terutama borjuasi Perancis yang berpusat di istana. Maka subyek dalam karya seni pun berubah. Raja dan aristokrat berubah menjadi buruh pemecah batu dan pelacur miskin. Walaupun semangat Gerakan Realis sangat dipengaruhi oleh ideologi Komunisme yang anti borjuasi dan pro-rakyat jelata, wajah sejarah seni rupa barat tidak pernah sama lagi sesudah gerakan ini lahir. Perlahan tapi pasti, sebuah usaha kudeta sedang disusun. Momen itu terjadi pada saat kontroversi karya Marcel Duchamp, “Fountain”, 1917, mengemuka. Pada momen itulah Keindahan dikudeta dan diturunkan dari tahtanya, digantikan oleh Gagasan.

Keindahan telah dicurigai, bahkan dihindari, karena dianggap mewakili selera kaum elit yang mendominasi dunia seni rupa. Keindahan dianggap tidak membawa pesan apapun kecuali keindahan itu sendiri. Dalam dunia kesehatan gizi, keindahan adalah kalori kosong dari gula pasir, tidak membawa manfaat apapun kecuali memberi rasa manis itu sendiri. Semenjak titik balik sejarah tersebut, figur para perupa penting adalah mereka yang menyumbangkan gagasan yang mengubah cara orang melihat seni, bukan yang karyanya paling indah. Sebagai contoh, di Perancis, pada abad ke-19, hiduplah seorang pelukis potret terpenting di dunia. Ia amat sukses dan dihormati, orang-orang kaya antre ingin dilukis olehnya. Ia adalah William-Adolphe Bouguereau (dibaca: wi-yam-adolf-bu-geu-ro). Kecanggihannya melukis sungguh luar biasa, bahkan untuk ukuran saat ini.

“Para Nymph dan Satyr”, 260 x 180 cm, Bouguereau, 1873

Untuk ukuran masa itu, karya Bouguereau terlihat photorealistic. Figur-figur bule ia lukiskan dengan sempurna, mengikuti keterampilan terbaik dari masa High Renaissance, membuat mereka terlihat seperti dewa-dewi dari Olympus. Caranya melukis jari-jemari tangan dan kaki benar-benar tanpa cela, padahal melukis jari-jemari tangan dan kaki, apalagi dari sudut-sudut frontal, itu sulitnya bukan main. Keahliannya dalam disiplin realisme makin kentara karena ia membuat karya dalam genre history painting—yang artinya: narrative painting—mencuplik kisah mitologi Yunani. Dalam perhelatan tahunan Salon de Paris, genre history painting selalu merebut gelar terhormat karena memang membuatnya paling sulit baik dari segi dimensi, anatomi, postur, rinci, cahaya dan komposisi. History painting benar-benar mensyaratkan sebuah dinamika teater beku dalam disiplin realisme klasik, sebuah keterampilan yang butuh waktu lama untuk bisa dikuasai. Namun siapa yang mengenal nama Bouguereau sekarang? Tidak banyak.

Tidak jauh dari gemerlapnya kesuksesan Bouguereau di Perancis, pada tahun-tahun yang sama, hidup pelukis setengah gila yang miskin, Vincent van Gogh. Bila kita melihat karya-karya van Gogh hari ini, kita sebenarnya bisa menghargai ekspresi seninya. Bagus juga, kan, karya-karya van Gogh itu? Namun pada masanya, karya van Gogh sangat cupu karena harus bersaing dengan gaya realisme tingkat tinggi seperti yang dimiliki Bouguereau, Ingres, Delacroix, Courbet, dsb. Bila dibandingkan dengan keterampilan Bouguereau, lukisan van Gogh akan terlihat seperti lukisan anak-anak. Pantas saja ia tidak mendapatkan tempat dan pengakuan dalam medan sosial seni di Eropa saat itu. Bouguereau sendiri, sebagai seorang realis sejati, sangat benci impresionisme. Para pelukis impresionis memang tidak suka dengan gaya Akademi Perancis yang menurut mereka kaku dan sempit. Mereka keluar dari studio dan melukis di alam terbuka, bersicepat dengan cahaya matahari yang membuat bayangan bergerak dari menit ke menit. Bagi Bouguereau, para impresionis adalah anak-anak kemarin sore yang bengal dan tidak bisa melukis, tapi ingin eksis.

Pada akhirnya kita mengetahui bahwa para sejarawan dan kritikus seni akhirnya berpihak pada van Gogh dan para Impresionis. Keputusasaan dan kegilaan yang dialami van Gogh justru jadi contoh terpenting dalam lahirnya ekspresionisme di mana renjana sang Pelukis terhadap subyek adalah segala-galanya, subyeknya sendiri hanya menjadi media. Begitu pula dengan Impresionisme yang berhasil keluar dari tradisi realisme yang konvensional dan menangkap kesesaatan cahaya. Nama Vincent van Gogh dan para Impresionis jauh lebih dikenal oleh insan seni rupa hari ini bila dibandingkan dengan nama William-Adolphe Bouguereau, sang Maestro.

Waktu berubah, zaman berubah. Apa yang dianggap penting di masa lalu, bisa jadi tak berharga di masa kini, atau sebaliknya. Para pelopor akan dicatat dalam sejarah seni rupa sebagai seniman penting yang menyumbangkan gagasan baru yang mendobrak tradisi dan mendorong penciptaan karya-karya seni ke sebuah arah baru yang belum pernah ditempuh sebelumnya. Para seniman penting adalah game changer yang mengubah aturan main sedemikian rupa sehingga dunia seni menjadi lebih luas selangkah daripada sebelumnya. Inilah yang menyebabkan karya-karya mereka, walaupun jelek dan tidak bisa dimengerti orang awam, dihargai tinggi. Namun ini baru satu aspek saja, yaitu aspek sejarah, karena masih ada satu aspek lagi yang membuat sebuah karya seni bisa dihargai tinggi.

Sesuai dengan hukum suppy dan demand, sebuah karya yang dianggap penting pasti diperebutkan oleh kolektor. Kolektor itu bisa kolektor individu atau lembaga. Bila ada sebuah museum didirikan khusus untuk jadi museum seni potret kelas dunia, sudah sewajarnya bila museum itu memiliki koleksi karya-karya potret yang dihasilkan oleh seniman-seniman potret yang terpenting dalam sejarah. Dengan begitu, demand terhadap karya-karya tersebut sudah pasti menjadi tinggi dan orang/lembaga tertentu akan rela mengeluarkan dana besar untuk bisa mendapatkannya. Karya yang penting dalam sejarah seni rupa sudah pasti prestisius dan prestise adalah salah satu alasan penting dalam bisnis seni rupa.

Dengan begitu, kesempatan untuk jual beli karya seni dan mendapatkan keuntungan menjadi terbuka. Hal ini memungkinkan karya seni bisa diperjualbelikan sebagai produk investasi. Bila seorang kolektor membeli karya Anda hari ini seharga Rp.10juta lalu Anda berkiprah dengan baik dan jadi seniman sukses, bukan mustahil karya Anda akan dihargai 100 kali lipatnya setelah 10 tahun berlalu. Sang Kolektor bisa untung besar walaupun untuk itu ia harus menunggu lama. Walaupun begitu, investasi selalu mengandung risiko tertentu. Bisa saja sesudah karya Anda dibeli seharga Rp.10juta, tiga tahun kemudian Anda memutuskan keluar dari dunia seni rupa karena tidak ada duitnya. Anda pun banting setir menjadi eksportir beha dengan motif kulit macan tutul dan sukses. Namun dengan begitu karya Anda jadi tidak ada harganya karena sesudah 10 tahun berlalu, tidak ada seorang pun yang mengenal nama Anda di dunia seni rupa. Para kolektor akan berkomentar, “Hm, saya tahu nama itu, tapi itu nama eksportir beha yang sangat sukses, bukan nama pelukis”, padahal orangnya sama, yaitu Anda.

Maka bila harga karya Anda merangkak naik dari murah-meriah menjadi sedikit lebih mahal, memang sudah seharusnya seperti itu karena harga karya akan mengiringi perjalanan karier Anda. Dengan begitu curriculum vitae Anda akan jadi penting, rekam jejak itulah yang akan menunjukkan perkembangan karier Anda. Bila dalam cv Anda terdapat banyak tempat pameran yang prestisius, harga karya Anda pasti naik. Semua itu butuh waktu, kadang-kadang bisa lama sekali, tapi prinsipnya seperti itu. Dengan membuat karya yang bagus dan semakin bagus, dengan berpameran di tempat yang prestisius dan semakin prestisius, Anda akan membangun reputasi yang baik sehingga para kolektor merasa percaya diri untuk mengoleksi karya Anda.

Prinsip yang sama berlaku untuk Anda yang baru lulus kuliah. Rekam jejak Anda tentu masih sedikit dan walaupun karya Anda brilian, kolektor belum bisa yakin apakah Anda benar-benar akan jadi seniman sampai mati, atau akan banting setir jadi eksportir beha? Karena itu harga karya perupa pemula masih murah meriah. Kadang-kadang ada juga perupa pemula yang terlalu percaya diri memberi harga yang terlalu mahal. Apabila Anda adalah perupa pemula yang baru akan menjual karya untuk pertama kalinya, tapi bingung bagaimana cara memberi harga pada karya Anda, silakan baca artikel ini: Tips Menjual Karya Seni Bagi Perupa Pemula.

Dalam acara diskusi “Open PO” di Omni Space, bulan September 2018 lalu, saya diundang untuk berbagi tentang pemberian harga pada karya seni. Soal harga karya dan jual beli ini sekilas terkesan sederhana. Memangnya apanya yang rumit, sih, jualan? Ada barang, kita kasih harga, kalau orang suka palingan nawar, kalo harganya cocok ya kita jual. Begitu, kan? Hehehe, ini bisnis karya seni, Bung, bukan belanja di tukang sayur. Bila Anda sudah jadi perupa profesional dan karya Anda dikoleksi sebagai instrumen investasi, memberi dan mengatur harga karya ada teknik dan strateginya. Itu adalah tugas manajemen dan itulah yang dilakukan Pak Handoko saat memasarkan karya-karya saya. Berapa harganya, dijual pada siapa dan kapan karya itu harus dijual, itu semua ada caranya. Semua itu penting untuk meyakinkan demand tetap terjaga dan harga karya selalu naik secara positif.

Pak Han itu pedagang dan prinsip dagangnya sebenarnya sederhana. “Kalau ada orang beli barang dari kita lalu dia jual dan dapat untung, orang itu akan datang lagi.”

Prinsip tersebut menekankan pentingnya bisnis yang berkelanjutan, bukan sekedar mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Maka soal harga pun harus diatur dengan baik. Saya pernah dimarahi habis-habisan oleh Pak Handoko karena menaikkan harga lukisan sampai dua kali lipat harga semula. Waktu itu saya heran karena saya tidak merasa melakukan kesalahan. Lukisan saya waktu itu ukurannya dua kali lebih besar daripada ukuran biasa, tekniknya tiga kali lebih sulit daripada biasanya dan menurut saya karya itu secara visual bagus. “Saya kan bukan seniman kemarin sore, Pak Han” bantah saya, “saya sudah berkiprah selama 10 tahun, silakan lihat cv saya”, tapi Pak Han tidak peduli.

“Kamu boleh punya prestasi segudang, kamu boleh punya cv setebal kamus, faktanya kolektor kamu tidak ada, nol besar”, begitu Beliau bilang. Saya pun terdiam. Urusan harga ternyata tidak sesederhana 1+1=2. Belakangan saya baru menyadari bahwa menaikkan harga sampai dua kali lipat memang tidak bijaksana karena melanggar bangunan bisnis seni rupa. Bangunan itu bisa dilihat dalam struktur piramida seperti di bawah ini.

Dalam bangunan ini, struktur yang atas bertumpu pada struktur di bawahnya dan itu harus kokoh. Jadi harga bertumpu pada demand, demand bertumpu pada reputasi seniman. Supaya bangunannya kokoh, bentuknya harus segitiga seperti ini. Yang harus besar dan menjadi pondasi memang tetap reputasi seniman, artinya cv memang fundamental. Namun dalam kasus saya saat itu, Pak Handoko marah karena bagian demand terhadap karya saya sebenarnya sangat kecil. Tidak banyak yang tahu siapa saya pada saat itu karena saya belum benar-benar masuk ke dalam pasar seni rupa Indonesia. Yang saya lakukan dengan menaikkan harga karya saya sampai dua kali lipat itu membengkakkan puncak piramida padahal bagian tengahnya kurus. Strukturnya jadi rusak, bentuknya jadi tidak seperti piramida lagi, dan itu haram dalam bisnis seni rupa. Mengapa bisa begitu?

Kalau ternyata lukisan itu tidak laku terjual bagaimana? Bagi Pak Handoko, kalau ada lukisan dipamerkan lalu tidak terjual, apalagi kalau masuk balai lelang lalu tidak terjual, itu adalah preseden buruk bagi bisnis. Para kolektor akan mendengar berita seperti itu dan menyimpulkan bahwa karya saya tidak diminati. Itu akan menurunkan demand. Karena itulah walaupun pada saat itu saya dimarahi habis-habisan, Pak Handoko memutuskan untuk membeli karya tersebut (tapi minta diskon). Dengan begitu Pak Handoko berusaha melindungi reputasi saya dan berita yang tersebar positif, karya saya laku terjual. Ternyata Pak Han memang benar. Selain Pak Handoko, hanya ada satu kolektor lain yang saya tidak tahu siapa namanya, yang menanyakan harga karya saya saat itu. Itu pun kelihatannya tidak terlalu serius. Lain dari itu tidak ada yang nanya-nanya, tuh, padahal menurut saya karya itu bagus. Jadi bila Pak Handoko tidak membeli karya saya tersebut, bisa jadi karya itu memang tidak akan terjual.

Penyakit seniman yang sering menaruh harga seenaknya sebenarnya sangat berbahaya dalam bisnis seni rupa. Bayangkan bila saat itu karya saya tidak laku, lalu dalam pameran berikutnya saya memamerkan karya yang sama dan memberi harga lebih murah daripada sebelumnya. Itu berarti melanggar hukum utama dalam bisnis lukisan: harga harus naik, tidak boleh turun. Bila itu terjadi dan beritanya tersebar di kalangan kolektor, apalagi kalau itu terjadi berulang-kali, tidak akan ada lagi yang percaya pada saya dan sebagus apapun karya saya, tidak akan ada yang mau membeli. Karena itu dari waktu ke waktu, harga karya memang harus naik, tapi naiknya harus diatur. Harus sedikit demi sedikit, tidak boleh ada kenaikan besar secara tiba-tiba karena itu akan menyusahkan seniman sendiri.

Kalau harga naik terlalu tinggi dan terlalu cepat, artinya seniman mematok standar yang terlalu tinggi untuk dirinya sendiri, padahal harga karya tidak boleh turun lagi. Masalahnya, dinamika pasar seni rupa kan tidak ada dalam kontrol kita. Bisa saja pasar seni rupa mengalami kelesuan tertentu dan demand terhadap karya-karya seni kontemporer secara umum memang anjlok. Kalau sudah begitu, apa harga karya akan diturunkan? Tidak boleh, itu menyalahi hukum. Karena itu berhati-hatilah mengatur harga karya. Yang harus selalu tinggi adalah demand karena permintaan yang tinggi akan menjamin harga karya bisa stabil, tidak pernah anjlok, dan bisa bergerak sedikit-sedikit secara positif. Demikianlah sedikit gambaran tentang betapa rumitnya soal harga karya dalam bisnis seni rupa. Walaupun ini sebenarnya adalah tugas manajemen, perupa seharusnya tahu karena ini adalah wawasan yang sifatnya mendasar dalam bisnis seni rupa.

***

Bila Anda membaca artikel sampai ke baris ini, saya ucapkan terima kasih. Walaupun mendadak, artikel ini saya sudahi sampai di sini dulu. Sisanya bisa Anda baca dalam buku yang akan diterbitkan tahun depan. Sejauh ini gambaran tentang kehidupan perupa profesional sudah cukup banyak diulas dan inti yang terpenting sih menurut saya lumayan sudah terbahas. Saya harap dengan membaca artikel ini Anda bisa memahami tantangan menjadi perupa profesional. Di satu sisi saya ingin artikel ini bisa membantu Anda menyiapkan mental dan pekerti yang dibutuhkan, di sisi lain saya juga ingin artikel ini bisa membuat Anda mengurungkan niat untuk jadi perupa profesional apabila situasi dan kondisinya memang tidak cocok untuk Anda. Kalau Anda tidak stres dan hidup Anda tidak jadi sengsara karena tidak berkarya, tidak usah jadi perupa profesional. Ngapain, lah? Cari-cari masalah aja.

Jadi perupa profesional, seperti juga dalam bidang profesi apapun, tidak mudah. Karena itu hanya mereka yang punya panggilan jiwa yang kuat sajalah yang terjun ke bidang ini. Namun selain dari panggilan jiwa, strategi-strategi tertentu juga bisa diterapkan untuk membuat perjalanan karier Anda lebih lancar dan efisien. Walaupun demikian, sekali lagi perlu saya tegaskan bahwa artikel ini tidak menjanjikan sebuah rumus yang ampuh dan jitu untuk bisa sukses sebagai perupa, ini hanya gambaran saja. Mudah-mudahan apa yang saya paparkan dalam artikel ini cukup masuk akal bagi Anda. Mintalah pendapat orang lain juga dan ambillah hanya yang relevan dan bermanfaat bagi Anda saja. Ada seribu jalan menuju Roma, begitu juga cara menuju puncak karier Anda sebagai perupa. Terima kasih sudah membaca artikel panjang ini sampai tamat, tunggu penerbitan buku saya tahun depan, ya. 🙂

4 thoughts on “Menjadi Perupa Profesional

  1. Selamat siang, Pak. Saya mau tanya.

    Pertama, bagaimana penghitungan harga jual jika karya seorang perupa sudah didistribusikan melalui galeri atau art fair? Bukankah pendistribusian melalui perantara tersebut mewajibkan bagi hasil yang terkadang memangkas penghasilan perupa hampir setengahnya. Seperti contoh di atas, karya berupa gambar pensil grafit berharga Rp. 400.000 kemudian dikenai bagi hasil misal saja 40% maka si perupa hanya mendapat Rp. 240.000.

    Lalu apakah si perupa harus menaikkan harga dua kali lipat agar tetap dapat memenuhi kewajiban bagi hasil tanpa menelantarkan rumus harga jual: biaya material + (biaya ide: material x 3) yang dengan begitu akan berdampak pada melambungnya harga karya ataukah tetap memasang harga semula yang masuk akal namun penghasilan terpangkas oleh pihak perantara dan rumus harga jual tersebut justru terabaikan?

    Kedua, bagaimana tips memberi harga karya-karya lama yang belum laku terjual? Apakah harus dinaikkan sekian persen per tahun atau tetap dengan harga sama saat karya tersebut diproduksi, sedangkan biaya operasional pembuatan karya terus meningkat tiap tahunnya?

    Ketiga, apakah kegiatan pasca produksi karya seperti pemotretan, pengepakan, dan pengiriman karya kepada pembeli juga dimasukkan pada hitungan rumus harga jual sebuah karya?

    Keempat, apakah penting bagi seorang perupa pemula menyertakan sertifikat keaslian pada setiap karya yang terjual? Mungkin tips membuat sertifikat keaslian karya dapat Anda bagikan ilmunya di unggahan blog ini lain waktu.

    Sekian, Pak. Terima kasih sebelumnya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s