Pada hari Sabtu, 7 September 2019 yang lalu, pameran tunggal Sindy Ponto dengan judul “Boundless Journey” secara resmi dibuka. Pameran ini diadakan di Hegarmanah Residence, sebuah kompleks apartemen baru di daerah Bandung Utara. Sindy adalah perupa kelahiran Bandung, 1969, satu dari dua orang murid paling tekun di Kursus Privat Program Spartan. Ia sudah belajar selama hampir dua tahun. Pondasi realismenya solid, seperti yang bisa diharapkan dari murid kelas mahir di kursus ini, tapi kekaryaan Sindy sendiri adalah abstrak-ekspresionisme. Kekaryaan pribadi Sindy, lepas dari pendidikan realismenya, sudah berlangsung hampir lima tahun. Setelah melalui jalan yang panjang, Sindy akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah pameran tunggal dan memulai kariernya sebagai perupa profesional. Sebagai seorang guru, saya merasa bangga. Artikel ini memuat tulisan kuratorial yang saya buat sebagai pengantar pameran tunggal Sindy, disisipi foto-foto karya dan suasana pembukaan pameran.
Kuratorial
Dunia seni rupa global tak pernah sama lagi setelah kemunculan ekspresionisme di Jerman pada awal abad ke-20. Berbeda dengan pandangan positivisme, ekspresionisme mengklaim bahwa yang subyektif pun penting dan bermakna. Filosofi tersebut pada akhirnya mempengaruhi kelahiran salah satu prinsip estetik terpenting di dunia: seni abstrak, dan sejarah Seni Modern pun dimulai.
Abstrak ekspresionisme (Ab-ex) lahir di Amerika pada pertengahan tahun 1940-an, menjadikan Amerika Serikat sebuah titik penting dalam sejarah seni rupa dunia yang selama itu didominasi Eropa. Secara ideologis Ab-ex berhadapan frontal dengan Pop-art yang berkembang di negara yang sama satu dekade kemudian.
“Seni seharusnya menjadi seteru budaya pop, bukan jadi antek-anteknya”, demikian Mark Rothko, salah satu eksponen terpenting Ab-ex, pernah menyatakan. Namun walaupun terlihat berseteru, keduanya tak bisa dipisahkan. Dalam situasi sosial-politik pasca Perang Dunia II saat itu, kala Perang Dingin baru saja dimulai, Pop-art dan Ab-ex sama-sama mewakili Demokrasi sebagai prinsipestetik dunia merdeka. Sementara Pop-art menggunakan ikon-ikon kultural yang banal dalam permainan ironinya yang komikal, Ab-ex mewarisi karakter leluhurnya: ekspresionisme di Eropa yang hadir sejak awal abad ke-20, mengiringi kecemasan Perang Dunia I. Ab-ex memiliki kedalaman, reflektif, spontan, gestural, emosional, tapi juga sublim.
Sebagai metodologi Pop-art dan Ab-ex masih berpengaruh dan dirujuk hingga hari ini, dan Sindy memilih jalur yang kedua. Kekaryaan Sindy bergerak di antara tradisi ekspresionisme dan Ab-ex. Ini adalah posisi yang unik karena representasi dan non-representasi sama-sama eksis dalam pendekatan kekaryaan Sindy.
Sindy tinggal di sebuah lingkungan yang dekat dengan alam di ketinggian Bandung utara. Dari studio tempatnya melukis ia bisa melihat pohon-pohon pinus menjulang menutupi lanskap taman hutan raya. Kehijauan tersebut membawa lembap dan bau tanah basah di musim penghujan, sekaligus memberi keteduhan di pertengahan tahun yang terik seperti sekarang. Pepohonan itu berbar is di sekeliling rumahnya, dan dalam momen-momen penciptaan yang fokus dan intens, pepohonan itu menemaninya. Maka tidak mengherankan bila pepohonan itu hadir sebagai waktra dalam karya-karya Sindy.
Namun kehadiran pepohonan itu bukan sekedar impresi, ini metodologi khas ekspresionisme. Dalam ekspresionisme waktra seringkali bukan pokok permasalahannya, tapi jadi cermin untuk mengintip ruang batin sang Perupa. Demikian pula dengan pepohonan dalam karya-karya Sindy, mereka sejatinya adalah cermin untuk memandang permasalahan yang sesungguhnya: tentang manusia. Kekaryaan Sindy adalah renungan tentang manusia: tentang dirinya sendiri; orang-orang terdekat dalam hidupnya; manusia secara umum; dan akhirnya kemanusiaan itu sendiri. Aspek-aspek yang tak terjelaskan dari tema manusia ini akhirnya terwakili oleh bentuk-bentuk organik dalam komposisi vertikal serupa pohon, warna tanah yang hangat, dan kontras warna biru-hijau yang dingin. Sindy melukis dengan spontan, namun tak pernah kehilangan kontrol. Kapan ia harus spontan dan kapan ia harus memegang kontrol adalah teka-teki yang harus dipecahkan oleh Sindy sendiri.
Pameran debut ini menandai perjalanan panjang eksplorasi artistik dalam kekaryaan Sindy. Saya berharap pencarian diri sendiri dalam kekaryaan ini tetap lestari karena terus mencipta adalah cara perupa untuk membuat hidupnya relevan dan bermakna. Selamat untuk Sindy, dan bagi Anda semua: selamat menikmati pameran ini.
Bandung, 17 Agustus 2019
R.E. Hartanto
Daftar Karya

“Dancing Trees”, 300x135cm, cat minyak di atas kanvas. Sindy Ponto, 2019.

“Autumn Leaves”, 140x200cm, cat minyak di atas kanvas. Sindy Ponto, 2019

“True Friends”, 180x140cm, cat minyak di atas kanvas. Sindy Ponto, 2019

“Tango In The Wind”, 200x200cm, cat minyak di atas kanvas. Sindy Ponto, 2019.

“In Pursuit of Beauty”, 200x140cm, cat minyak di atas kanvas. Sindy Ponto, 2019.

“Green Ceiling”, 160x140cm, cat minyak di atas kanvas. Sindy Ponto, 2019.

“Towards Unknown”, 140x120cm, cat minyak di atas kanvas. Sindy Ponto, 2019.
Foto Suasana Pameran