Pak Djon di Lini Transisi

“Aku Cinta Padamu, Tanah Airku”, cat minyak di atas kanvas, 202x301cm. S. Sudjojono, 1966.

Sambil bertandang ke Jakarta untuk melihat pameran Xu Bing di Museum Macan dan ArtJakarta di JCC, saya mampir ke Galeri Nasional Indonesia. Kebetulan itu adalah hari terakhir pameran “Lini Transisi”, saya merasa beruntung karena masih sempat menonton pameran ini. Bintang pameran ini adalah karya S. Sudjojono berukuran besar. Sudah sejak pertama kali citra lukisan ini berlintasan di feed, saya ingin melihatnya secara langsung. Inilah sedikit pengamatan saya.

Pak Djon mencampur warna di atas kanvas, bukan di palet, dan kuasnya tidak dicuci bersih atau diganti saat pindah warna. Itulah yang menyebabkan warnanya kusam. Dalam buku “Sang Ahli Gambar” hal ini disebutkan secara spesifik. Pak Djon sendiri heran, mengapa warnanya selalu kusam. Beliau bekerja dari gelap ke terang pada awalnya, sesudah itu bolak-balik sesukanya sendiri. Karya ini dikerjakan secara alla prima (satu kali jadi, tanpa penumpukan lapisan cat, tanpa transparansi) dengan sentuhan impasto (cat tebal bertekstur), termasuk sgraffito (teknik menggarit, dalam hal ini dengan ujung kuas) yang lucu, di beberapa bagian. Karya ini sudah menguning karena penggunaan linseed oil, sama seperti sebagian besar lukisan dalam pameran “Lini Transisi” ini.

“Angsa”, cat minyak di atas kanvas, 75,5×97,5cm. S. Sudjojono, 1967.

Linseed oil yang mengalami proses panjang relatif tidak terlalu kuning dan lebih cepat kering, tapi lebih getas sehingga mudah retak. Sebaliknya, linseed oil yang prosesnya pendek menguning dengan kuat dan keringnya lama, tapi lebih elastis. Karya ini tidak mengalami retak di permukaan. Linseed-nya oke, ground-nya yang tidak oke. Retak justru terjadi di bawah permukaan cat (di bagian anak yang sedang duduk itu), ground-nya bisa dipastikan terbuat dari bahan organik, semacam rabbit skin glue. Namun alih-alih menggunakan kolagen dari kulit binatang, kalau di Indonesia—pada masa 1960-an—bisa jadi bahannya nabati, bukan hewani, misalnya seperti tepung kanji. Ground organik seperti ini, baik hewani maupun nabati, memiliki higroskopi tinggi dan akan mengalami susut-muai yang setelah terjadi bertahun-tahun jadi kehilangan plastisitasnya, lalu retak. Retak di permukaan berhubungan dengan medium, terjadi karena pelanggaran aturan fat over lean (makin tinggi lapisan catnya harus semakin berminyak), sementara retak di bawah cat berhubungan dengan ground.

Sapuan kuas panjang hanya ada pada bagian langit, sebelum awan dikerjakan, menunjukkan bagian itu dikerjakan oleh Pak Djon sambil berdiri. Selain dari itu sapuan kuas Pak Djon pendek-pendek, tapi penuh tekanan. Saat membuat highlight Pak Djon menekan dan bulu kuas sampai melebar. Saya yakin tekanan tangan Pak Djon saat menulis cukup kuat. Mestinya saat membuat tanda tangan, gerakan tangan Pak Djon juga cepat dan bertenaga. Di depan anak berpeci itu mestinya ada asap mengepul ke udara, tapi pigmen umbernya seperti menghilang. Bagian ini sudah mengalami transparansi, padahal usianya baru 53 tahun. Transparansi pada cat minyak, yang lazim terjadi setelah lukisan berusia 100-150 tahun, adalah hal yang seringkali menunjukkan koreksi yang dilakukan pelukis. Pelukis kadang berubah pikiran (misalnya menggeser posisi kaki sang Model) dan menutupi perubahan itu dengan cat. Dalam terminologi seni lukis klasik Italia, koreksi semacam itu disebut pentimento.

Walaupun ada rinci yang lucu-lucu, khas Pak Djon, bagian tanaman hijau yang mendominasi bagian tengah-kiri karya terlihat dikerjakan secara mekanis. Pak Djon kelihatan tidak terlalu berminat mengerjakan rinci di bagian ini, barangkali supaya mata pemirsa tertuju pada komponen utama dalam lukisan ini. Sapuan kuas bristle tangkai panjang ukuran kecil di daerah ini dinamis, meliuk-liuk, tapi matematis. Bagian ini dikerjakan supaya cepat selesai saja. Tidak mengherankan. Ini kanvas besar berukuran 2×3 meter. Menutup seluruh permukaannya saja butuh usaha, apalagi mengisinya dengan rinci sebanyak ini. Saya paham seperti apa rasanya mengerjakan lukisan sebesar dan serinci ini. Pak Djon jelas bukan jenis pelukis yang menikmati mengerjakan rinci secara perlahan dan teliti dengan definisi tingkat tinggi.

“Ada Orkes”, cat minyak di atas kanvas, 120x80cm. S. Sudjojono, 1970.

Pak Djon adalah Pak Djon. Teknik melukis memang bukan keunggulan kekaryaannya. Gagasannya adalah yang terpenting, tapi dalam melukis yang istimewa adalah caranya mengamati. Pak Djon sering membuat karya realisme yang dipanggungkan seperti ini, tapi caranya menangkap obyek selalu veristis. Dengan begitu Pak Djon selalu terlihat mencari kebenaran dalam kekaryaannya, termasuk dalam karya ini. Kebenaran veristis bahkan terlihat dalam dua karya lain di pameran ini: “Ada Orkes” dan “Angsa”. Verism adalah watak “non-fiksi” dalam realisme. Saya pernah membuat artikel lengkapnya di sini: Fiksi dan Non-Fiksi Dalam Realisme. Dengan begitu karya-karya Pak Djon punya kualitas dokumenter tanpa kehilangan sisi imajinatifnya. Itu unik, dan itulah Pak Djon.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s