Bakti Untuk Seni

Kita kadang bertemu dengan pertanyaan yang datang berulang kali. Saya ingat pernah ditanya oleh seorang mahasiswa, “Kapan seseorang disebut seniman?”. Kejadian itu sudah lama terjadi, tahun 2011, saat saya sedang mengisi sebuah kuliah umum di NUS, Singapura. Namun dalam sebuah perbicangan yang hangat bersama seorang kolektor dan kawan seniman di bulan Oktober lalu pertanyaan itu muncul lagi ke permukaan, “Yang disebut seniman itu apa, sih?” Selanjutnya, dalam acara bimtek “Seni Rupa di Era Digital” yang diselenggarakan Kemenparekraf di Jakarta, awal Desember ini, seorang peserta bertanya, “Apa definisi seorang seniman?” Duhai, ada apa dengan seniman?

Barangkali karena pertanyaan itu muncul beberapa kali, saat mendapat kehormatan membuka pameran teman-teman saya di Bandung saya bicara sedikit tentang makna jadi seniman. Saya pernah membuat tulisan panjang tentang makna menjadi seniman di blog ini. Tulisan itu dibuat di kamar kerja saya, saat saya masih tinggal di Ungaran, Jawa Tengah, di akhir tahun seperti sekarang ini. Momen liburan antara Natal dan tahun baru adalah saat yang tepat untuk melemparkan pertanyaan eksistensial yang introspektif seperti ini. Lagipula ini bukan sembarang tahun, ini 2020.

Dua hari sebelum Natal tahun ini, tiga orang teman saya berpameran di Orbital Dago, Bandung. Mereka adalah: Bonifacius Djoko Santoso, Karin Josephine, dan Ignatius Yulian Ardhi. Judul pameran mereka adalah “Devosi”, mengambil inspirasi dari ritual dalam tradisi Katolik, agama yang mereka peluk. Menarik juga melihat sebuah pameran bertema religi seperti ini di Bandung, ini jarang terjadi. Kebetulan para perupanya tinggal di Jakarta semua, jadi mereka seperti sedang liburan akhir tahun ke Bandung, tapi sekaligus bikin pameran. 

Karya Bonifacius Djoko Santoso

Walau demikian pameran ini tidak dibuat secara spontan. Pembicaraan tentang pameran ini sudah terjadi setidaknya sejak setahun lalu, dan selama itu ketiga seniman bekerja dengan tekun menyiapkan karya-karya mereka. PSBB yang diterapkan di Jakarta membuat mereka makin fokus dan mencapai intensitas yang dibutuhkan untuk melahirkan karya-karya dalam pameran ini. Dalam masa sepi saat semua orang menerapkan work from home inilah mereka mencipta. Djoko dan Karin adalah sepasang suami istri yang belum/tidak mempunyai anak, sementara Yulian masih lajang. Dengan begitu mereka bisa bekerja dengan distraksi minimal. Dilihat dari perspektif penciptaan, isolasi dan minimnya distraksi seperti ini adalah situasi ideal.

Karya Karin Josephine

Seperti apa bayangan kita tentang seniman? Bayangan orang bisa macam-macam, tapi di tataran yang paling mendasar seniman dikaitkan dengan aksi mencipta karena pada momen itulah seseorang sedang benar-benar jadi seniman. Saat mencipta ia bisa bekerja seperti mesin, sebagaimana Djoko menyusun obyek-obyek tajam yang melukai tangannya. Di saat lain seniman bisa bekerja selangkah demi selangkah, mencipta sambil mencari, seperti Karin saat merobek dan menempel kantung semen di atas kanvas, atau fokus tapi rileks, seperti Yulian saat membuat cross-hatching yang repetitif.

Seorang seniman bisa saja bekerja dengan penuh keraguan, takut melakukan kesalahan karena itu akan merusak apa yang sudah dikerjakan dengan hati-hati begitu lama. Seniman bisa bekerja dengan pikiran yang kusut karena dikejar utang, memikirkan anak yang sakit, dengan penuh amarah, saat dicengkeram depresi atau diombang-ambingkan birahi. Suatu saat seniman bisa bekerja dengan gilang-gemilang, di saat lain ia mencipta dengan susah-payah. Namun seniman adalah seniman. Apapun kondisinya, seniman adalah dia yang sedang mencipta. Bukan dia yang sedang bicara atau menulis, bukan pula dia yang sedang jadi filsuf atau salesman.

Karya Ignatius Yulian Ardhi

Bila Anda bangun tidur lihat seni, dari pagi sampai sore bikin seni, yang dipikirkan adalah seni, yang dibicarakan selalu seni, cari uang lewat seni, dan saat mau tidur Anda liat seni: mungkin agama Anda adalah seni. Ada seniman-seniman yang terobsesi seperti itu, jalan hidupnya adalah seni. Ia hidup untuk seni karena seni adalah penyelamatan bagi dirinya. Biasanya orang seperti ini akan stres bila tidak mencipta. Bila dibiarkan sampai lama ia akan dihinggapi depresi. Maka mencipta adalah caranya untuk sintas, untuk membuat hidupnya jadi normal dan punya makna. Bila ia tidak mencipta, hidupnya tidak akan normal dan tanpa makna.

Maka ini adalah devosi dalam haluan yang berbeda, yakni sebuah pengabdian karena di sana ada penyelamatan. Tidak jauh berbeda dengan motif religius umat manusia. Pemahaman itulah yang membuat pameran ini unik karena devosi di sini bisa bermakna religius, sekaligus memiliki makna: bakti untuk seni. Mampir dan lihatlah pameran ini. Anda akan melihat bagaimana jejak-jejak keterampilan tangan ketiga seniman ini begitu nampak dalam karya-karya mereka. Repetisi mendominasi penciptaan mereka, mereka tidak membuat karya secara spontan yang sekali jadi. Butuh waktu lama bagi mereka untuk membuat karya-karya ini dan saya bisa membayangkan mereka diam, hanyut lalu tenggelam dalam penciptaan masing-masing. Seperti itulah seniman.

Seniman itu tidak pameran juga tidak apa-apa. Memang ada seniman yang berkarier—ikut pameran di satu tempat ke tempat lain, makin lama pamerannya makin prestisius sampai akhirnya meraih pengakuan internasional—tapi tidak berkarier pun, mereka yang mencipta tetaplah seniman. Di kampung-kampung di seluruh Nusantara ada banyak seniman yang terus mencipta namun kita tak pernah tahu nama mereka. Mereka, tak diragukan lagi, adalah para seniman.

Saat kita berkarya kita mengerjakan hal yang kita sukai. Itu sendiri adalah sebuah berkat karena di luar sana ada jutaan orang yang harus mengerjakan hal yang tidak mereka sukai hanya untuk bertahan hidup. Tak usahlah dulu bicara soal imbalannya—misalnya soal dapat uang karena karya yang dikoleksi, ikut pameran yang bergengsi, atau mendapatkan pengakuan saat karya kita merebut suatu penghargaan—sebenarnya bisa berkarya saja sudah sebuah berkat. Karena itu mencipta sudah sepatutnya dilakukan dengan gembira, penuh rasa syukur dan kerendahan hati. Apatah bakti tanpa kegembiraan, rasa syukur, dan kerendahan hati?

Kiri ke kanan: Rifky Effendi; Karin Josephine; Bonifacius Djoko Santoso; Agung Hujatnikajennong; Ignatius Yulian Ardhi

Demikianlah makna dan pekerti yang ingin saya ambil dari pameran ini. Saya ucapkan selamat pada Djoko, Karin, dan Yulian, untuk pameran yang kecil tapi bagus karena dikerjakan dengan serius. Terima kasih untuk kurator pameran, Agung Hujatnikajennong, juga untuk Rifky Effendi, pemilik galeri Orbital Dago. Untuk Anda yang belum menyaksikan pameran ini, masih ada waktu sampai tanggal 23 Januari 2021. Selamat berapresiasi.

R.E. Hartanto

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s