Kolaborasi

shapeimage_3-1Mendiang Lucian Freud, pelukis paling dihormati di dunia modern, dalam wawancaranya dengan Sebastian Smee menyatakan, “Semua yang berbau team-work, saya benci.”

Saya justru kebalikannya. Bila saya berkarya sendiri, saya bekerja lambat karena sering melamun. Beberapa sapuan kuas yang saya anggap menarik lalu saya perhatikan sambil duduk, lalu saya berdecak-decak kagum sendiri. Saya berkhayal karya tersebut akan menjadi sebuah karya yang fenomenal dan menjadi sangat terkenal, lalu dicetak di buku-buku dan nama saya menjadi abadi. Sementara pikiran saya melayang kemana-mana, lukisan itu tetap tidak tersentuh dan akhirnya selesai dalam waktu lama. 

Namun ketika saya bekerja bersama dengan orang lain, ada energi lebih yang saya rasakan. Terutama ketika timnya adalah tim besar yang melibatkan lebih dari sepuluh orang. Saya bekerja dengan fokus, menetapkan tujuan, lalu bekerja bersama-sama mencapai tujuan tersebut dalam perhitungan waktu yang jitu. Entah itu bekerja dengan dengan kawan saya yang punya bengkel kayu atau elektronik, atau dengan kelompok saya ketika mempersiapkan pemotretan, saya selalu punya energi dan fokus yang cukup luar biasa bila dibandingkan dengan saat saya bekerja sendiri.

Saya memulai aktivitas berorganisasi ketika SMP, ikut MPK, lalu di SMA saya ikut OSIS. Karena minat dan bakat saya, secara alami saya langsung menyukai pekerjaan rancang-bangun dan dekorasi. Jadi ketika  SMA saya hendak membuat acara bazaar, lomba nyanyi atau perayaan-perayaan lainnya, saya dan beberapa temanlah yang mewujudkan pranata fisik acara tersebut. Kami tidak pernah punya cukup dana untuk mewujudkan ide-ide kami yang menurut kami saat itu spektakular, jadi kami selalu harus berkompromi dengan begitu banyak keterbatasan. Tapi itu semua tetap jauh lebih menarik daripada harus duduk di kelas, di kelas saya sering tidur di bangku paling belakang.

Ketika saya aktif di Common Room, Bandung, kami sering mengadakan lokakarya seni rupa yang melibatkan baik perupa maupun publik. Saya merasakan kegairahan yang sama ketika memandu kegiatan semacam itu. Publik yang serba ingin tahu dan nyaris tanpa latar belakang seni rupa bagi saya adalah mitra yang menarik sekali. Justru dari mereka saya seringkali mendapat gagasan yang berharga karena cara mereka berpikir lain sekali dengan perupa seperti saya yang kadang-kadang  justru terlalu terduga. Akhirnya, aktivitas selama lebih dari lima tahun di Common Room membekali saya dengan banyak pengalaman kerja-kelompok. Saya menikmatinya sampai ke tulang sumsum.

shapeimage_1-5

Salah satu lokakarya yang pernah saya kerjakan adalah menggambar  bersama mahasiswa dan mahasiswi Studio Seni Lukis ITB, 2008. Metodanya bukan metoda saya, saya menyontek dan menyederhanakan cara kolaborasi Chuck Close, begawan realisme Amerika Serikat dan pengajar di Universitas Massachusets. Beliau adalah ahli kolaborasi dan proyek-proyeknya luar biasa. Tingkat kesulitannya tinggi, membutuhkan konsistensi dan integritas tingkat tinggi karena bisa memakan waktu sampai beberapa tahun. Awalnya begini.

Walaupun para siswa di universitas tempat Chuck Close mengajar sudah melalui penyaringan yang ketat dan terarah, namun di tingkat-tingkat awal selalu saja ada siswa yang merasa ‘tidak bisa menggambar’. Beliau mengatasinya dengan cara kolaborasi. Kebetulan, melalui pengalaman, saya memahami bahwa bila kita mengadakan proyek seni rupa di mana para pesertanya tidak memiliki pengalaman kesenirupaan, kolaborasi selalu lebih menyenangkan prosesnya dan lebih menarik hasilnya. Peserta tidak sungkan karena mereka tahu karya mereka tidak akan dinilai secara pribadi tapi secara kelompok.

Maka dalam proyek ini, ditentukanlah sebuah gambar. Saya yang menentukan. Saya pilih gambar yang mudah dijiplak, sebuah gambar hitam putih tulang-belulang dan sistem pembuluh darah manusia. Gambar ini saya dapat dari buku anatomi, karya aslinya adalah ukir-kayu, sebuah teknik seni grafis yang sudah jarang digunakan saat ini. Gambar itu lalu saya bagi dalam lajur dan kolom sehingga terbelah-belah menjadi kotak-kotak yang simetris. Setiap kotak diberi tanda koordinat seperti A1, B2, C3 dan seterusnya. Ini lalu dibagikan pada peserta. Kalau secara keseluruhan ada 40 kotak dan peserta ada 10 orang, berarti setiap orang mendapat 4 kotak yang dibagi acak. Grid, walaupun dipakai di banyak sekali bidang, merupakan ciri khas berkarya Chuck Close.

Selain itu, saya menyediakan potongan-potongan grey-board yang sudah dipotong dengan proporsi yang sama dengan lajur dan kolom di gambar tersebut. Dibekali dengan arang kayu dan kapur putih, peserta diminta untuk menjiplak satu kotak gambar di atas satu kotakgrey-board. Karena grey-board, seperti namanya, berwarna kelabu, maka terciptalah tiga-nada: kelabu-hitam-putih di atasnya. Ketiga warna tersebut sudah menjadi sebuah komposisi tersendiri. Kami mengerjakan gambar tulang-belulang sepasang kaki manusia. Ketika seluruh kotak terisi, kami menyusunnya menjadi sebuah gambar utuh berdasarkan urutan koordinatnya. Voila!


shapeimage_4-1

Menjiplak seluruh gambar sendirian itu sulit, tapi menjiplak hanya sebagian dari gambar bersama-sama 10 orang teman cukup mudah. Para peserta mengerjakan tugas ini sambil mendengarkan musik, ngobrol dan bercanda. Diseling jam makan siang, karya pun selesai di sore hari. Bila dilihat dari dekat, gambar-gambar ini sebenarnya tidak terlalu presisi. Selalu saja ada garis atau bidang yang tidak bertemu dengan pas di tiap kotak, tapi justru di situ keindahannya. Secara keseluruhan, citranya tetap terlihat dengan kuat dan fotografis. Gambar tulang-belulang sepasang kaki manusia ini terdiri dari 72 kotak grey-board, itu pun tidak semua terisi. Kami bekerja selama empat hari, setiap hari Senin dan Selasa. Ini adalah hasil pertemuan hari pertama.

Pertemuan berikutnya diisi dengan membuat gambar yang terdiri dari 195 kotak grey-board. Gambarnya pun lebih rumit, yaitu sebentuk kepala manusia yang kulitnya dikupas sehingga terlihat pembuluh darahnya. Tapi walaupun kotaknya lebih banyak dan gambar aslinya lebih rumit, tingkat kesulitannya sama saja. Kalau saya tidak salah ingat, gambar ini pun selesai hari itu juga, walaupun peserta berubah formasi karena ada yang menghilang dan ada yang baru bergabung. Sementara gambar yang pertama dipajang di dinding dalam Studio Seni Lukis, gambar kedua dipajang di dinding luar Studio Seni Lukis. Hasilnya cukup besar, tingginya lebih dari 2 meter.

shapeimage_5

Seminggu kemudian, para siswa mengerjakan gambar yang ketiga. Sebuah gambar tengkorak manusia modern. Kalau saya tidak salah, besarnya sama dengan karya sebelumnya. Gambar ini dikerjakan dalam waktu dua hari dan ditempel di dekat gerbang masuk kompleks FSRD – ITB. Karena lokasinya cukup tinggi, para siswa harus menggunakan tangga untuk memasangnya.

Demikianlah kolaborasi ini berakhir di hari keempat dengan tiga buah gambar terpajang di tiga buah dinding. Karena gambar terakhir berukuran cukup besar, bercitrakan tengkorak manusia dan dipasang di dinding masuk kampus, karya ini cukup menyedot perhatian. Puas juga rasanya mengetahui bahwa dalam waktu empat hari, ada tiga karya besar-besar bisa diselesaikan. Kesenangan cara kerja ini adalah pada saat menyusun kotak satu-persatu setelah bekerja berjam-jam. Semua tidak sabar untuk melihat hasilnya, termasuk saya. Apa yang dikerjakan secara individual berubah menjadi sebuah karya kolaboratif dan masih terlihat sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Proyek ini saya ulangi di National University of Singapore beberapa bulan lalu dengan gambar yang jauh lebih sederhana karena waktunya hanya dua hari dan pesertanya tidak punya latar belakang seni rupa. Hasilnya tetap menarik. Inilah keindahan kolaborasi yang saya maksud.

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s