“What do you care about my opinion? If you’re a real painter, you’ll paint because you can’t live without painting. You’ll paint ‘till you die, okay?” _Diego Rivera pada Frida Kahlo (diperankan Alfred Molina dan Salma Hayek dalam film “Frida”, 2002)
Seorang kawan lama yang sama-sama berasal dari Studio Seni Lukis, waktu itu tahun 1998-2000, saya jadi asisten dosen dan dia masih jadi mahasiswi, tiba-tiba datang sesudah cukup lama tidak bertemu. Selama ini dia sibuk mengerjakan bisnis pribadinya, membuat barang-barang kriya yang menurut saya bagus-bagus, ditambah membuat kue-kue juga. Karena saya bukan orang kantoran, saya selalu kagum pada wirausahawan dan wirausahawati seperti dia, tapi rupanya dia datang membawa rindu. Tepatnya, rindu pada dunia kesenian. Dunia seni rupa yang sudah tujuh tahun dia tinggalkan. Dia ingin kembali dan semacam mencari arahan, dari mana harus mulai.
Bukan kebetulan, sudah beberapa kali saya menemukan kawan lama yang ingin menekuni kembali dunia seni rupa kontemporer. Ada juga yang dulunya bukan perupa tapi akhirnya dengan berani memutuskan untuk terjun, memenuhi panggilan jiwa. Ya, itu dia kata kuncinya, ‘panggilan jiwa’. Pada intinya, saya sudah beberapa kali dalam waktu kurang lebih setahun terakhir ini, bertemu dengan orang-orang yang berusaha mendengarkan panggilan jiwanya.
Sejak saya lulus tahun 1998 sampai sekarang, saya masih berkiprah di dunia seni rupa. Kedengarannya begitu konsisten tetapi sesungguhnya jalan yang saya lalui kadang-kadang begitu sulit dan membingungkan, juga melelahkan, sehingga saya sempat beberapa kali berpikir untuk meninggalkan dunia seni rupa. Masalahnya, walaupun saya sudah berusaha berhenti dan meninggalkan dunia saya itu, saya selalu terpanggil kembali.
Dalam sebuah sesi diskusi di acara workshop di NUS, Singapura, beberapa bulan lalu, seorang mahasiswa bertanya, “Bagaimana kita tahu seseorang adalah perupa?” Sungguh pertanyaan yang bagus karena saya sendiri menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mencari jawabannya. Jawabannya saya dapat ketika saya berhenti dan memutuskan keluar dari dunia seni rupa. Hidup saya jadi kacau dan saya sangat gelisah. Saat tidak berkarya, saya merasa sangat sengsara, saya menganggap diri saya tidak berguna dan tanpa masa depan.
Jadi, saya jawab, barangkali seseorang dikatakan perupa atau seniman, kalau dia ‘terkutuk’ untuk bikin seni. Seumur hidupnya, selama dia mampu. Saya tidak tahu pasti, tapi untuk kasus saya, saya tidak bisa lari dari panggilan itu. Dalam berkarir, saya sering melakukan kesalahan, kadang-kadang saya membuat karya yang tidak memuaskan, saya mengalami kepuasan juga kekecewaan, semangat lalu keletihan, harapan dan putus-asa, tapi dasarnya tetap sama: saya tidak bisa berhenti. Setidaknya itu yang saya rasakan sampai tulisan ini ditulis.
Tapi kelihatannya, saya tidak sendiri. Jadi untuk mereka, teman-teman lama saya yang sempat berhenti dan ingin berkiprah kembali di dunia seni rupa, juga untuk teman-teman saya yang dulunya bukan perupa tapi memutuskan untuk menempuh jalur ini, saya ucapkan selamat. Mari kita beraksi! Tapi, strateginya bagaimana? Nah, kita bisa ngobrol-ngobrol sambil minum kopi di teras rumah saya, seperti yang saya lakukan dengan teman lama saya tadi.