Zona Nyaman

pietaSudah sejak beberapa minggu lalu saya berkomunikasi dengan seorang pemilik galeri kawakan dengan pengalaman panjang malang-melintang di dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Menariknya, Beliau bukan hanya seseorang yang bersemangat dan penuh gagasan, tapi juga mampu menuangkan buah-buah pikirannya dalam bentuk tulisan dan  dipublikasikan di media massa. Ini menarik sekali karena semua pemilik galeri (juga kolektor) yang saya kenal punya banyak gagasan, tapi dia yang mampu menuangkannya menjadi tulisan berarti mampu merubahnya menjadi kristal pengetahuan.

Tulisan Beliau mencakup banyak hal di dunia pasar seni rupa kontemporer Indonesia tetapi ada sebuah bagian yang secara khusus menjelaskan bahwa: kenikmatan dan kenyamanan hidup adalah musuh utama seorang seniman”. Sudah dua tulisan Beliau yang menjelaskan itu dan, walaupun saya menyadari wawasan ini berbau romantik, saya bertanya-tanya, apa maksudnya? Maka sedari pagi sampai siang ini kami bertukar pesan membahas hal tersebut. Saya betul-betul ingin tahu apa makna tulisan tersebut karena sebagai perupa maupun sebagai insan, saya menyukai kenikmatan hidup. Semua orang punya gagasannya sendiri-sendiri tentang hidup yang nyaman dan nikmat. Kenapa seniman tidak boleh hidup enak? Lagipula, saya sudah punya istri dan anak, saya ingin mereka hidup layak dan terjamin.

Dalam kiriman-kiriman pesannya, Beliau menjelaskan bahwa hidup layak berbeda dengan hidup bergelimang kemewahan dengan gaya hidup jet set. Bila sebuah keluarga seniman bisa hidup dengan layak, nyaman dan terjamin di masa depan, itu sudah benar dan bagus. Tetapi seniman sendiri diharapkan untuk selalu bergaya hidup sederhana dan selalu peduli pada mereka yang mengalami kesulitan hidup di sekitarnya. Kehidupan yang nikmat dan nyaman, menyitir Picasso, akan membuat seorang seniman menjadi tidak bersemangat dalam berkarya. Kehidupan yang nyaman dan nikmat akan menumpulkan kreativitas. Seniman harus selalu ada dalam kondisi gelisah. Batin seorang seniman seharusnya selalu bergejolak dalam kegelisahan.

Seperti juga ilmuwan, seniman secara alami adalah mahluk yang penuh rasa ingin tahu dan ia akan melakukan nyaris apa saja untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Dengan demikian seniman seharusnya selalu haus ilmu pengetahuan dan tidak pernah merasa puas. Bila suatu pencapaian menyenangkan dirinya, biasanya itu tidak akan bertahan lama, ia segera diliputi ketidakpuasan dan bergerak untuk menetapkan pencapaian yang baru, yang lebih sulit dan lebih tinggi.

Michelangelo Buonarroti (1475-1564) pernah mengatakan pada siswa magangnya, Ascanio Convidi, “Bagaimanapun kayanya diriku, aku akan selalu hidup bagai orang miskin.” Michelangelo, walaupun pernah tinggal di istana keluarga ningrat Medici untuk beberapa waktu, semasa hidupnya dikenal sebagai orang yang sangat bersahaja dan tidak menyukai pesta-pora. Ia tidak pernah makan atau minum berlebihan, “Ia makan dan minum lebih karena kebutuhan daripada kesenangan.” papar Convidi. Michelangelo juga kurang populer karena ia cenderung mengasingkan diri dari keramaian, tapi ia tidak peduli karena ia pada dasarnya menyukai kesendirian dan keterasingan. Beberapa karya terbaik Michelangelo tercipta bahkan sebelum ia berusia 30 tahun dan masih dikagumi dunia hingga hari ini.

Merenungkan buah pikiran ini, saya jadi malu. Saya perlu mengakui bahwa diam-diam saya mengidamkan sebuah gaya hidup a la James Bond yang serba mewah walaupun bila saya ditanya alasannya, saya tidak tahu. Sebagai seorang perupa yang sudah berkiprah lebih dari sewindu, saya sudah pernah mengalami masa sulit dan masa berlimpah, merenungkan wawasan ini, saya bisa menyimpulkan satu hal. Karya-karya terbaik saya cenderung muncul di saat-saat sulit dan bukan sebaliknya. Keterbatasan, bila berjalan bersamaan dengan tekad yang kuat (biasanya karena berhadapan dengan situasi di mana saya tidak bisa mundur lagi), akan memaksa saya untuk berpikir tiga kali lebih keras dan hasilnya selalu tidak terduga.

Dulu saya selalu mengeluh begini, “Ya, ide yang bagus sih banyak. Hanya saja untuk mewujudkannya perlu uang banyak juga dan saya tidak punya itu.” Akhirnya melalui pengalaman, ditambah dengan wawasan ini, saya tahu bahwa itu tidak selalu benar. Logika sederhananya begini. Misalkan kita punya uang Rp. 10 juta untuk membuat karya dalam waktu 1 bulan. Dengan anggaran dana dan waktu  seperti itu kita akan cenderung merencanakan semuanya sekali jadi: karya akan dikerjakan dengan media ini, dikerjakan di bengkel itu, asisten biayanya sekian, ditambah kargo sekian, pemasangan karya sekian, menurut perhitungan akan selesai dalam tenggat waktu. Selesai.

Tapi kalau kita hanya punya uang Rp. 2 juta untuk membuat karya dalam waktu 2 minggu, otak kita akan diperas habis-habisan untuk merencanakan semuanya. Rencana kita akan kita uji lagi dan lagi dan lagi, sampai semuanya menjadi realistis. Ibarat duduk di bangku kuliah, kita menjadi mahasiswa Tugas Akhir dan jadi dosen pengujinya sekaligus. Proses kreasi menjadi sangat intensif dan ketat dan itu tidak akan berhenti sampai kita menemukan solusinya. Karena pekerjaan saya hanya berkarya, saya memang tetap berkarya baik itu di tengah kesulitan maupun di tengah keberlimpahan. Tapi kenyataannya adalah, di tengah kesulitan, karya saya lebih baik mutunya. Perlahan-lahan saya mulai menangkap inti dari wawasan ini.

Dalam sebuah wawancara dengan Cleveland Ohio Plain Dealer, 2009, Chuck Close menjelaskan bahwa pada tahun 1967 ia memutuskan untuk membuat seni rupa menjadi sebuah jalan yang sulit bagi dirinya. Ia berusaha mendorong lahirnya sebuah kebaharuan artistik dengan cara mengabaikan sapuan kuas, padahal selama kuliah ia terkenal dengan sapuan kuasnya yang luar biasa. “Saya membuang alat-alat saya. Saya memilih untuk melakukan hal-hal yang saya tidak punya fasilitasnya. Lucunya, memilih untuk tidak melakukan sesuatu ternyata berdampak lebih positif daripada memilih untuk melakukan sesuatu. Bila Anda bersikeras untuk tidak melakukan sesuatu yang sudah pernah Anda lakukan sebelumnya, hal itu akan mendorong Anda ke tempat baru yang belum pernah Anda capai.”

Jadi saya pikir, inti dari semua wawasan ini adalah, seperti kata istri saya, zona kenyamanan sebenarnya adalah zona kematian. Bila kita bicara tentang kenikmatan dan kenyamanan hidup, kita bicara dua hal: fisik dan mental. Kenyamanan mental ini kelihatannya yang berbahaya. Bila kita memang seorang seniman, kita tidak akan terlalu rewel soal tidak punya uang untuk berkarya. Punya uang atau tidak, berkarya jalan terus. Kalau tidak punya uang ya gunakan saja material yang murah-meriah, yang penting ekspresi tetap tersalurkan sebaik mungkin. Tapi kalau punya uang lalu jadi malas berpikir: bikin saja yang seperti ini, tidak apa-apa menghabiskan dana besar, bayar saja toh uangnya ada. Nah, kita harus hati-hati kalau begini kejadiannya.

 

2 thoughts on “Zona Nyaman

  1. ini memang postingan lama tapi cukup menggugah saya untuk membacanya. dan ya, secara dekat dengkan tema karya saya untuk tugas akhir ini. trimakasih untuk informasi dan pelajaran baru yg bisa saya ambil de postingan ini. sukses slalu mas

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s