Sebagai seorang penggemar spiritualisme populer, saya dari waktu ke waktu selalu bertemu dengan materi-materi ini dan meditasi adalah salah satu topik yang paling banyak saya temui. Pemahaman saya tentang meditasi berkembang sesuai dengan perkembangan wawasan saya. Dulu waktu saya SMA, saya pikir meditasi adalah ajaran Buddha, akhirnya saya tahu bahwa praktiknya jauh lebih tua dari itu. Lebih jauh saya kemudian memahami bahwa dzikir yang dilakukan umat Islam pun bisa dilihat sebagai salah satu bentuk meditasi. Waktu saya berkesempatan ikut praktik yoga asanas, saya pun berkenalan langsung dengan beberapa jenis meditasi. Dalam sebuah kesempatan yang lain di sebuah kuil Buddha yang kecil namun indah di Jepang, saya bersama kawan-kawan melakukan meditasi Zazen selama 20 menit. Sangat menyenangkan. Masih ada banyak jenis meditasi lain yang belum saya tahu dan belum saya coba. Salah satu yang sangat ingin saya pelajari adalah Transcendental Meditation, sebuah metoda yang dikembangkan oleh Maharishi Mahesh Yogi di tahun 1950-an dan kini dipraktikkan oleh sekitar 5 juta orang di seluruh dunia. Di Bandung ada lembaganya kalau ada yang tertarik.

The Beatles bergabung dengan Maharishi Yogi dalam sebuah sesi meditasi akhir pekan, 1967. Hingga akhir hayatnya, George Harrison adalah seorang spiritualis sejati.
Tapi, apa sebenarnya meditasi? Apakah memejamkan mata, mengatur napas dan memusatkan atau mengosongkan pikiran adalah meditasi? Dari sebuah materi yang baru saya temukan, saya sedikit mengerti cara kerjanya. Wawasan yang saya dengar ini, dari materi audio, menjelaskan sekilas mengenai cara kerja otak kita dalam kaitannya dengan meditasi. Tetapi sebelum itu, saya akan ceritakan sedikit tentang epilepsi.
Saya pernah mengalami serangan epilepsi antara tahun 1990-1993. Epilepsi yang saya khawatirkan akan berlangsung seumur hidup ternyata hilang sendiri pada saat saya kuliah semester 3, tapi saya menjalani pengobatan pada periode tersebut ditambah 2 tahun kemudian dengan dosis yang makin turun. Pada periode di mana bangkitan epilepsi saya menghebat, aktivitas arus listrik di kepala saya diperiksa dengan EEG dan memang terlihat ada sedikit kelainan, menurut dokter syaraf saya saat itu. Kenyataan bahwa serangan epilepsi saya datang dan hilang sama sekali sebenarnya, walaupun saya syukuri, agak mengherankan saya. Dokter saya bilang, saya termasuk yang beruntung karena selama hampir 20 tahun setelah serangan terakhir, tidak ada bangkitan lagi. Ada orang-orang tertentu yang harus mengkonsumsi obat seumur hidupnya. Tapi walaupun aneh, saya tidak terlalu mencari tahu, kenapa saya terkena serangan epilepsi. Dua garis keluarga saya tidak punya sejarah epilepsi.
Otak kita secara terus-menerus menghasilkan sinyal-sinyal listrik untuk memberi instruksi pada tubuh untuk bekerja. Serangan epilepsi terjadi ketika terjadi sebuah arus-pendek di sebuah wilayah tertentu di otak kita. Arus pendek ini segera menyebar dan mengakibatkan sebuah kekacauan listrik yang menyeluruh dan, seperti komputer yang mengalami crash, kita akan kehilangan kesadaran dan kejang-kejang. Dalam kasus saya, menurut para saksi, saya mengalami kejang sekitar 1 menit dan sesudah itu pingsan selama beberapa jam dan perlahan-lahan sadar kembali. Setiap orang punya ambang-kejang, miokloni dalam istilah medisnya. Pengidap epilepsi terlahir dengan ambang kejang yang lebih rendah daripada biasanya sehingga rangsangan dari luar yang untuk manusia normal biasa saja, bagi pengidap epilepsi bisa mengundang serangan saat itu juga. Ini bisa dipicu oleh sengatan listrik, kelelahan, panas tinggi, kondisi emosional atau rangsangan cahaya saat menonton televisi.
Serangan epilepsi selalu menyebalkan karena, walaupun saya tidak sadar dan tidak tahu apa yang terjadi, ketika sadar saya selalu mengalami sakit kepala hebat yang baru hilang setelah 3 hari dan otot di seluruh badan sakit semua. Ini seperti tidak pernah olahraga lalu harus ikut tes lari sprint, otot paha akan sakit sampai berhari-hari. Seperti itulah sakitnya, hanya saja yang sakit hampir semua otot di badan, termasuk leher. Ini baru hilang betul sesudah 7 hari. Kalau sedang sial, saya akan tersadar dengan darah mengotori bagian depan baju saya, dan lidah dan dinding dalam pipi saya luka-luka dan membengkak karena tergigit saat kejang. Ini pun membutuhkan waktu sekitar 7 hari sampai benar-benar hilang. Pendeknya, serangan epilepsi sangat mengganggu dan membuat panik semua orang di ruangan. Waktu pertama kali terjadi, saya malu sekali karena itu terjadi di ruang publik. Suatu serangan di tahun 1991 membuat sendi bahu kanan saya mengalami dislokasi dan itu kadang-kadang masih terjadi hingga hari ini. Ini adalah warisan yang ditinggalkan serangan epilepsi saya. Menyedihkan.
Namun, demikianlah otak kita bekerja. Sinyal-sinyal listrik dihasilkan untuk memberikan instruksi pada tubuh dan sinyal listrik memiliki frekuensi. Kondisi fisik yang berbeda-beda menghasilkan frekuensi yang berbeda-beda pula. Anda barangkali pernah membaca atau mendengar ada beberapa klasifikasi seperti gelombang Delta, Theta, Alpha, Beta dan Gamma untuk memilah-milah frekuensi gelombang listrik di otak, tergantung aktivitas kita. Seperti metronom yang memiliki hitungan detak per menit, frekuensi gelombang otak kita pun memiliki irama yang dihitung per detik.
Dalam kondisi tidur nyenyak, frekuensi otak kita adalah 2 hz atau dua detak per detik. Ini adalah gelombang Delta. Dalam kondisi relaksasi penuh, frekuensi otak kita adalah 4 – 8 hz. Ini adalah gelombang Theta. Gelombang Alpha adalah 10 hz, ini adalah sebuah kondisi relaksasi umum. Gelombang Beta adalah kondisi kita hidup sehari-hari, berkisar antara 12 – 19 hz. Gelombang Gamma, berkisar antara 25 – 100 hz (rata-rata 40 hz), masih diperdebatkan apakah ada hubungannya dengan pencerapan kesadaran, belum ada kesepakatan para ahli tentang hal ini. Kita mengalami semua fase gelombang ini tapi kita hidup, bekerja dan bermain di gelombang Beta.
Gelombang Beta adalah gelombang yang dipengaruhi oleh emosi. Secara sederhana, saat kita berpikir dalam fase ini, pikiran kita dipengaruhi oleh emosi positif dan negatif, suka atau tidak suka. Emosi dan pikiran saling memengaruhi. Bila emosi kita meluap-luap oleh suka cita, frekuensi gelombang otak kita akan meningkat. Demikian pula bila kita merasakan emosi negatif seperti kesedihan atau amarah. Frekuensi akan meningkat. Dan seiring dengan peningkatan frekuensi ini, porsi akal-sehat kita akan berkurang. Jadi intinya, porsi digunakannya akal-sehat akan berkurang saat emosi kita sedang naik atau turun.
Siapa yang pernah mengalami kondisi amarah yang luar biasa? Saya pernah. Saya biasanya menyerang seseorang pada kondisi seperti itu. Apakah pada saat itu saya menggunakan akal-sehat? Oh, tentu tidak. Seakan-akan pandangan mata saya yang asalnya luas tiba-tiba menyempit menjadi sebuah lingkaran kecil persis di tengah, dan siapapun yang berada di dalam lingkaran itu “harus mati”. Barangkali dari situ istilah “gelap-mata” muncul. Itu amarah, selain itu ada juga rasa takut. Rasa takut yang meningkat sampai ke puncak dan menyebabkan panik akan menyebabkan reaksi yang serupa. Pada serangan teroris ke menara kembar WTC, New York, 2001, kita bisa menyaksikan orang-orang terjun dari jendela gedung, puluhan meter dari atas tanah. Kemungkinan itu disebabkan oleh panik. Pada titik ini, frekuensi gelombang otak meningkat dari frekuensi normal dan ketika akal-sehat tidak digunakan, orang bertindak tanpa memikirkan akibatnya. Hal-hal yang kita lakukan dan kemudian menimbulkan penyesalan biasanya terjadi pada kondisi seperti ini. Saat itu terjadi, kita tidak memikirkan akibatnya.
Gelombang Alpha, di ekstrim yang lain, adalah sebuah kondisi pikiran yang bebas-emosi. Kita tidak merasakan emosi positif atau negatif, kita hanya “hadir” pada momen tersebut. Pada kondisi bebas-emosi, akal-sehat mencapai potensi maksimalnya. Di wilayah inilah meditasi berfungsi. Dalam meditasi, kita memejamkan mata untuk menutup indera paling dominan dan mula-mula mengatur napas menjadi teratur dan makin lama makin perlahan dan makin panjang. Emosi, pikiran, degup jantung dan napas bisa diumpamakan sebagai lonceng-lonceng yang bergantungan pada seutas tali. Bila terjadi gangguan pada emosi, semua akan berdentang hebat. Karena itulah saat emosi sedang meledak-ledak, upaya paling efektif untuk meredakannya adalah dengan mengatur napas. Meditasi selalu dimulai dan diakhiri dengan mengatur napas. Ketika napas semakin teratur, degup jantung akan melambat, emosi yang meluap-luap akan mereda dan pada akhirnya, cahaya kesadaran akan bersinar.
Meditasi juga diikuti dengan sebuah kesadaran untuk mengendurkan semua otot di tubuh kita, karena itu kita harus selalu mencari sebuah posisi yang nyaman sebelum memulainya. Secara sadar, sambil mengatur napas, kita mengendurkan otot mata, otot bibir, cengkeraman rahang kita kendurkan, juga otot kepala dan leher, lengan dan tangan sampai ke jari-jemari, otot paha dan kaki, semua kita kendurkan. Berulang kali saat mencoba praktik meditasi, saya sering baru menyadari bahwa dalam kondisi yang saya anggap “normal” sekalipun, ternyata beberapa otot tertentu di tubuh saya sebenarnya berada dalam kondisi tegang. Otot rahang saya sering tegang, juga otot bibir saya. Ketika semua otot mengendur, kita sudah tidak lagi berada dalam kondisi normal seperti kita bekerja sehari-hari, kita berada dalam sebuah kondisi relaksasi yang sebenarnya terasa sangat nyaman. Setelah itu, dalam pikiran, kita membayangkan “masuk lebih jauh ke dalam diri” dan pada saat tertentu ada sebuah sensasi ketenangan yang mendalam, pikiran kita sadar sepenuhnya dan perhatian kita menjadi sangat terarah.
Sepanjang meditasi, kadang-kadang terjadi “badai pikiran” di mana pikiran kita tiba-tiba mengingat suatu subyek lalu melompat ke subyek yang lain. Seperti kita kenal, pikiran seringkali liar, sulit untuk dikendalikan. Ini adalah refleksi Beta dan biasanya diatasi dengan memusatkan perhatian pada keteraturan napas atau pada sebuah subyek pikiran tertentu. Beberapa praktik meditasi tertentu menggunakan lilin untuk membantu fokus. Orang yang sudah terlatih dengan praktik meditasi biasanya lebih mampu untuk, bukan menghentikan badai pikiran, tetapi mengendalikannya. Kemampuan ini akan meningkat seiring jam terbang.
Maka demikianlah dua dikotomi dalam diri kita: tubuh dan pikiran. Supaya sehat, tubuh harus digerakkan sementara pikiran, sebaliknya, harus diistirahatkan. Dalam semua praktik keagamaan, kita selalu menemukan aspek meditasi di dalamnya. Berdoa, sebuah praktik di semua agama dan bahkan kadang-kadang juga dilakukan seorang atheis bila sedang dalam kondisi terjepit, saya yakin memiliki pondasi yang sama dengan meditasi (walaupun ini dibantah oleh Madame de Staël, penulis dan propagandis politik Perancis di abad ke-18, yang mengatakan bahwa dalam meditasi kita bergantung pada kekuatan diri sendiri namun saat berdoa, kita bergabung dengan kekuatan yang lebih tinggi). Namun sebenarnya bila kita berdoa, kita sedang melakukan perenungan dan dialog dengan diri sendiri. Masalahnya, berada di mana frekuensi pikiran kita saat berdoa? Apa ada di wilayah Alpha yang bebas-emosi atau di wilayah Beta dengan emosi yang meluap-luap?
Seniman atau ilmuwan yang dihinggapi inspirasi pun, saya kira, sadar atau tidak, mestinya sedang berada dalam kondisi Alpha. Bukankah sering kita menemukan gagasan cemerlang ketika kita justru sedang tidak terlalu memikirkan sumber masalahnya? Seorang kawan yang kuliah desain grafis di Monash University, Melbourne, dulu pernah diberi tip oleh dosennya. “Inspirasi sering datang pada saat kita hampir tertidur, atau saat kita baru bangun tidur.” Dalam rentang frekuensi gelombang dari tidur nyenyak ke alam sadar, frekuensi bergerak dari 2 hz ke 18 hz dan kita akan melewati fase 10 hz gelombang Alpha. Begitupun sebaliknya ketika kita jatuh tertidur.
Kita manusia, seniman atau bukan, ilmuwan atau bukan, selalu membutuhkan inspirasi. Bagaimana memecahkan sebuah persoalan, bagaimana membuat keputusan, bagaimana memaknai suatu kejadian dan sebagainya. Menghadapi masalah-masalah tersebut, kita membutuhkan pikiran kita bekerja sepenuhnya dan itu tidak akan terjadi bila kita dilanda emosi yang naik-turun, sebenarnya. Pikiran kita bekerja penuh justru saat kita tidak merasakan emosi yang meledak-ledak, saat kita dalam kondisi tenang. Dalam kondisi ini, pikiran kita seperti air kolam yang jernih yang mampu memantulkan sentuhan paling halus sekalipun. Inilah wawasan baru saya tentang meditasi.
Kembali ke epilepsi, seperti yang tadi saya ceritakan, saya tidak pernah tahu kenapa saya kena serangan epilepsi. Namun ketika saya menceritakan pengalaman masa SMA saya pada seorang teman yang kuliah psikologi, dia cuma tertawa dan berkata dengan enteng, “Kamu stress, itu. Kamu nggak mau sekolah, sebenarnya.” Saya melongo. Waktu saya SMA, walaupun masa-masa itu sangat berkesan bagi saya karena saya aktif berorganisasi, tetapi duduk di kelas harus mengikuti pelajaran yang menurut saya saat itu tidak ada hubungannya dengan masa depan saya, sangat membuat saya tertekan. Saya bolos dua bulan, kena kasus dengan banyak guru, guru-guru membenci saya karena saya benar-benar tidak termotivasi untuk belajar. Saya benar-benar nyaris tidak lulus kalau tidak dibantu oleh teman-teman sekelas saya dan karena belas-kasihan guru-guru saya. Saya masih ingat, saya menduduki peringkat 47 dari 49 di kelas 2. Di kelas 2 saya bilang pada orangtua saya bahwa saya ingin keluar sekolah, untung itu tidak terjadi. Jadi kelihatannya, stress dengan studi akademik digabungkan dengan pola hidup yang kacau dan kelelahan, mendatangkan serangan epilepsi saya. Jadi rentang waktu 3 tahun di masa SMA adalah murni fase Beta dalam hidup saya.