
Bibi Aisha, gadis Afganishtan berusia 18 tahun yang telinga dan hidungnya dipotong oleh suaminya, dalam foto yang diambil oleh Jodi Bieber, fotografer Afrika Selatan untuk majalah Time. Foto ini mengundang kontroversi saat dimuat sebagai sampul majalah Time bulan Agustus 2010 karena dikaitkan dengan isu politik, eksploitasi dan sentimen agama. Foto ini menjadi World Press Photo of the Year tahun 2010. Bibi dibawa ke Amerika Serikat oleh Yayasan Grossman Burn dan menjalani penanganan kosmetik gaya Hollywood di Los Angeles. Kini Bibi telah berubah menjadi gadis ‘normal’ yang cantik. Namun lebih baik dari itu, ia terbebas dari kekejaman suaminya dan bisa menentukan nasibnya sendiri. Bibi kini tinggal di New York. Foto ini adalah milik Jodi Bieber, Institute for Artist Management, diambil untuk majalah Time. Foto diambil dari laman National Geographic.
Saya selalu tertarik pada salah satu sisi gelap kita, kekerasan. Ada sesuatu yang memukau sekaligus mengerikan mengetahui bahwa manusia mampu mencipta, memelihara sekaligus menghancurkan. Saya tertarik pada kekerasan fiktif dalam novel atau film, juga kekerasan yang nyata terjadi dalam sejarah bangsa-bangsa. Saya menggemari film-film perang sejarah yang getir untuk dilihat karena pada tataran moral, ada sebuah prinsip yang harus dipertahankan namun para prajurit di garis depan bertempur semata-mata karena tidak ada pilihan lain selain membunuh. Pembantaian massal adalah salah satu bentuk kekerasan yang sudah sejak lama berusaha saya pahami dan abad ke-20 adalah sebuah abad paling berdarah dalam peradaban manusia. Saya yakin, peperangan dan pembantaian massal adalah sebuah puncak dari manifestasi kekerasan manusia karena skalanya yang monumental, namun keyakinan saya runtuh ketika membaca artikel di laman VOA (Pameran di Los Angeles Tampilkan Kisah Para Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Mike O’Sullivan, 7 Desember 2011) tentang sebuah pameran yang mengambil tema kekerasan, penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan yang diadakan di Amerika Serikat belum lama berselang .
Dalam pidato pembukaan pameran “Perempuan Menopang Separuh Langit”—yang diselenggarakan di Pusat Kebudayaan Skirball, Los Angeles, Oktober 2011 sampai Mei 2012—Nicholas D. Kristof, jurnalis kawakan pemenang dua penghargaan Pulitzer, memaparkan bahwa diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan telah mengambil korban lebih banyak daripada pembantaian massal yang terjadi dalam sejarah dunia. Dalam dekade manapun, jumlah perempuan yang mengalami diskriminasi lalu akhirnya meninggal dunia jumlahnya lebih banyak daripada semua korban pembantaian massal yang terjadi pada abad ke-20. Pernyataan ini sungguh mengejutkan dan pemerian lebih lanjut membukakan mata saya.
Jumlah laki-laki dalam populasi dunia ternyata lebih besar daripada jumlah perempuan. Walaupun populasi perempuan kadang-kadang mendominasi di bagian dunia di mana kesetaraan lebih tinggi, hal itu tidak terjadi di sebagian besar dunia yang lain. Di sebagian besar wilayah lain di dunia, diskriminasi gender membawa dampak mematikan. Di Ethiopia misalnya, di posko darurat bantuan makanan, yang dibantu karena kelaparan semuanya adalah anak-anak perempuan, anak-anak laki-lakinya sehat wal’afiat. Di banyak tempat di dunia ini, bila sebuah keluarga tidak punya cukup makanan, yang diberi makan adalah anak laki-laki sementara anak perempuan dibiarkan kelaparan. Bila anak laki-laki sakit, mereka segera dibawa ke dokter sementara anak perempuan tidak mendapat perawatan. Dengan demikian terjadi tingkat kematian yang tinggi di kalangan anak-anak perempuan. Dalam beberapa tahun terakhir janin-janin berkelamin perempuan diaborsi dan dalam proses persalinan, si ibu dibiarkan sendirian tanpa pertolongan medis sehingga seringkali berakhir dengan kematian si ibu dan bayi. Sekitar 60 sampai 120 juta orang perempuan hilang di dunia ini, lenyap ke dalam perbudakan dan perdagangan manusia. Dengan begitu jumlah populasi perempuan lebih sedikit daripada jumlah populasi laki-laki di dunia saat ini. Kenyataan ini melahirkan sebuah kesadaran bahwa membela nasib kaum perempuan layak menjadi sebuah tujuan perjuangan hak asasi manusia di zaman ini.
Pameran ini mengambil inspirasi dari buku yang ditulis bersama oleh Nicholas D. Kristof dan istrinya, Sheryl WuDunn: “Separuh Langit: Mengubah Penindasan Menjadi Kesempatan bagi Perempuan di Seluruh Dunia”. Pameran ini istimewa dalam penilaian saya karena tidak hanya menampilkan karya-karya berupa foto-foto dokumenter, seni rupa, instalasi suara dan instalasi interaktif saja, namun dalam program yang akan berlangsung selama hampir delapan bulan ini sebuah rangkaian aktivitas dan jejaring aktif telah dirancang dengan sempurna.
Di banyak kesempatan, pameran-pameran seni rupa yang mengangkat tema ketidakadilan lazim menjeritkan protes sosial dan menampilkan subyeknya sebagai korban. Pameran di Skirball tidak seperti itu. Pameran ini juga menghadirkan kisah-kisah perempuan tertindas yang mampu mengubah nasibnya melalui pendidikan, ekonomi dan kuatnya keyakinan diri, seperti kisah Saima Muhammad yang selalu disiksa suaminya dan diabaikan oleh masyarakat di sekitar tempat tinggalnya sampai ia menerima kredit UKM sebesar US$65 dan memulai sebuah usaha bordir. Kini usahanya itu menghidupi tiga puluh keluarga di desanya di Pakistan. Atau kisah Edna Adan Ismail, mantan ibu negara Somalia yang menggunakan seluruh tabungan pribadinya untuk mendirikan rumah sakit ibu dan anak di Somaliland yang kini membuka jalan bagi mengalirnya bantuan dan dukungan dari seluruh dunia.
Tidak hanya menjeritkan protes, dengan berani pameran ini menyatakan bahwa perubahan bukan hanya bisa dilakukan, tetapi juga mungkin dilakukan dalam waktu singkat. Dengan filosofi tersebut, selama delapan bulan penyelenggaraannya, pameran ini sarat dengan program-program publik yang mengantarkan pemirsa pada sebuah kesadaran tentang pentingnya membela nasib kaum perempuan di seluruh dunia sekaligus mengajak mereka untuk mengambil tindakan saat itu juga.
Selain melihat apa yang ditampilkan di ruang pamer, pemirsa yang berminat untuk mengetahui lebih jauh bisa menghadiri acara tur orientasi dan diskusi yang dibawakan oleh pemandu terlatih yang menjelaskan secara terperinci, kesempatan apa saja yang bisa didapatkan pemirsa dalam program ini. Pemirsa juga bisa menonton film yang menampilkan kisah Nilofar, gadis berusia 12 tahun yang memiliki impian bisa baca-tulis namun tidak pernah memiliki kesempatan karena di desanya, pendidikan hanya tersedia untuk anak laki-laki. Ketika ayah Nilofar menjodohkannya dengan laki-laki yang jauh lebih tua, ia menggunakan semua kekuatan untuk merubah takdirnya. Sebuah film yang tentu akan sangat menggugah. Dalam waktu yang sudah dijadwalkan, beberapa aktivis dari organisasi-organisasi kemanusiaan terkait hadir dan memberikan paparan pada publik secara langsung tentang kegiatan mereka membantu meningkatkan nasib perempuan baik dalam skala lokal maupun internasional. Selain dari itu, beberapa pertunjukan musik yang seluruhnya menghadirkan musisi perempuan pun menyemarakkan suasana.
Maka demikianlah, kesadaran akan mendorong tindakan. Bagi pemirsa, program ini menyediakan tujuh jalur donasi yang berbeda; jalur advokasi untuk mendorong kongres untuk memajukan pendidikan bagi perempuan; menghubungkan pemirsa dengan organisasi-organisasi terkait; dan memberikan informasi yang lengkap mengenai topik-topik seperti kekerasan terhadap perempuan, perbudakan, perdagangan perempuan, dan banyak lagi. Seluruh program ini dirancang dengan begitu terkonsep sehingga siapa saja yang menghadiri pameran tersebut bisa langsung berkontribusi saat itu juga. Donasi tidak harus berupa uang tapi juga bisa berupa sumbangan alat dan bahan untuk berkarya seni rupa yang disalurkan pada korban-korban KDRT, atau alat-alat rumah tangga, perlengkapan sekolah, bahkan telepon genggam untuk membantu kerja para relawan. Dalam program lain, pemirsa yang berminat bisa mengikuti sebuah studi-wisata ke Liberia untuk bertemu para aktivis perempuan yang sedang memperjuangkan terpilihnya seorang kandidat presiden perempuan.
Dalam bukunya ‘Regarding the Pain of Others’, filsuf perempuan Susan Sontag berargumentasi bahwa dalam kebudayaan yang dihela oleh media, yang membombardir kita dengan citraan-citraan yang vulgar dan menakutkan tentang penderitaan orang lain, simpati justru menjadi layu karena realitas telah berubah menjadi sebuah tontonan. Kita hanya tersentuh sejenak lalu tidak berbuat apa-apa. Untuk membuat perubahan, adalah penting untuk tidak hanya menampilkan penderitaan ‘si korban’ semata. Itu tidak memadai. Kekerasan, penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan dalam pameran ini semata-mata hanya menjadi cermin untuk melihat visi yang lebih jauh. Dan pada akhirnya, sebuah sentuhan akhir yang indah dan elegan dalam pameran ini adalah sebuah proyek partisipatif, Wish Canopy, yang mempersilakan pemirsa untuk menuliskan harapan mereka bagi kaum perempuan di seluruh dunia di secarik kertas berbentuk sayap berwarna biru lalu menggantungkannya di sebuah karya instalasi indah yang digantung di langit-langit, karya dari sebuah firma arsitektur. Apatah yang mampu mengalahkan semua penderitaan selain harapan? Dunia kebudayaan Indonesia, terutama museum yang dikelola pemerintah bisa belajar banyak dari pameran ini. Kita bisa melihat bagaimana sebuah pusat kebudayaan mampu berfungsi menjadi sebuah wahana pendidikan yang efektif, yang tidak hanya memberi wawasan dan ilmu pengetahuan tapi mampu membangkitkan kesadaran. Dan bukan hanya sekedar membangkitkan kesadaran namun juga mampu mendorong pemirsa untuk bertindak bagi perubahan saat itu juga.