Rasa Sakit & Kedewasaan

“Ini tulisan lama, diunggah pada bulan Januari 2012, dan dimaksudkan sebagai unggahan biasa di blog saya yang sering punya pembahasan panjang tentang ini-itu. Dari waktu ke waktu, lewat halaman statistik di WordPress, saya bisa melihat halaman ini dibuka oleh orangtua yang mencari info tentang rasa sakit pasca sunat pada balita. Saya yakin mereka tidak terlalu tertarik untuk membaca tulisan renungan dan lebih membutuhkan tulisan praktis. Dengan demikian tulisan ini saya sunting lagi supaya lebih ringkas, lebih praktis dan bermanfaat bagi mereka. Tulisan renungan yang lebih panjang tentang “Rasa Sakit dan Kedewasaan” bisa Anda baca di bagian bawah. Terima kasih dan selamat membaca.”

Kondisi sebelum khitan:

Caka, anak kami yang berusia 20 bulan, baru saja dikhitan tadi pagi. Sudah dua minggu terakhir Caka sering rewel baik ketika bangun dan terutama ketika sedang tidur. Biasanya kalau Caka rewel saat tidur, dia akan segera tenang ketika diberi ASI, tapi saat itu tidak. Dia terus rewel dan semua posisi tidur jadi serba-salah. Walaupun kerewelan itu akhirnya hilang sendiri setelah akhirnya dia mau minum ASI tapi kami saat itu belum tahu apa penyebabnya. Minggu lalu, Fini, istri sayalah yang menyadari bahwa Caka kesakitan ketika buang air kecil. Caka masih belum dilatih buang air kecil/besar dan masih menggunakan popok kain, jadi kami tidak pernah tahu persis kapan dia buang air kecil. Saat itu Caka rewel sambil memegang-megang popoknya.

Ketika kelihatannya rasa sakit saat buang air kecilnya bertambah parah, saat itu hari Minggu malam, kami membawa Caka ke UGD sebuah rumah sakit di Bandung dan dokter jaga memperkirakan ada peradangan ringan. Caka diberi obat penahan rasa sakit dan antibiotik (yang akhirnya tidak diminum karena Caka betul-betul anti-obat). Hari Senin pagi saya menghubungi sebuah klinik khitan di Bandung dan kami disarankan untuk membawa Caka untuk diperiksa sore harinya. Pemeriksaan di sore hari menyimpulkan Caka menderita fimosis, penyempitan saluran kencing di kulup penis. Penyempitan ini bisa mengakibatkan akumulasi kotoran dan pada titik tertentu menyebabkan peradangan. Dokter di klinik khitan menyarankan Caka sebaiknya dikhitan secepatnya, kami segera mengatur waktu. Kami melakukannya Jumat pagi ini, khitannya sendiri cepat sekali, yang lama nunggunya. 

Hari Pertama:

Sepulang dari klinik, waktu bius lokal masih bekerja, Caka tidak merasakan apa-apa dan masih berceloteh seperti biasa. Tapi ketika obat biusnya mulai hilang, dia menangis sejadi-jadinya. Caka jarang menangis seperti itu. Melihat anak menangis seperti itu, saya dan Fini menguatkan hati, kami iba sekali sebenarnya. Tangisan Caka ada beberapa jenis. Kalau dia minta sesuatu dan tidak diberi, tangisannya berbeda dengan saat kepalanya terantuk meja. Tangisan ini mirip dengan tangisan saat dia celaka, tapi lebih panjang dan lebih keras. Di wajah Caka pun terlihat sebuah ekspresi terguncang dan kebingungan. Setelah dua jam didera rasa sakit, ekspresi Caka jadi aneh. Ditidurkan salah, digendong juga salah, ketika dia dibiarkan berdiri tanpa celana, ia menangis dengan ekspresi kesakitan, rambut dan badannya basah oleh keringat. Caka berdiri berputar-putar sambil menangis keras dengan lidah dikeluarmasukkan. Jelas sekali ia mengalami frustrasi karena rasa sakit yang ada tidak mau hilang sekaligus bingung karena apapun yang dia dan kami lakukan tidak bisa mengurangi rasa sakitnya. Ini adalah sebuah ekspresi yang belum pernah kami lihat sebelumnya dan bagi kami ini cukup mengguncang batin.

Supaya tidak mengecilkan hati para orangtua yang anaknya perlu dikhitan, saya beri sebuah laporan kecil tentang kondisi Caka. Histeria karena rasa sakit yang dialami Caka ternyata hanya berlangsung selama tiga jam pertama setelah khitan. Setelah itu, walaupun masih menangis, Caka tidak terlalu histeris. Sekitar jam 3 sore, Caka sudah bisa tidur. Kelihatannya karena capek, mengantuk, kenyang minum ASI dan obat penahan rasa sakitnya bekerja. Malam harinya, di luar dugaan kami, Caka bisa tidur cukup pulas. Satu-satunya yang membuat dia menangis kesakitan adalah saat buang air kecil dan saat minum obat. Lukanya menyebabkan pembengkakan tapi ini normal karena memang ada konsentrasi getah bening di sekitar luka.

Hari Kedua:

Caka sudah tidak terlalu merasa kesakitan lagi kecuali lukanya tersentuh. Dia sudah mulai bermain seperti sedia kala. Sekitar jam 3 sore, dia sudah bandel seperti biasanya. Di pagi hari Caka masih menangis saat buang air kecil tapi di sore hari dia diam saja, berarti lukanya sudah tidak sakit. Kami lalu menghentikan pemberian obat penahan sakit. Caka, yang anti-obat, juga selalu menangis ketika kami beri minum antibiotik. Sesudah mencoba berbagai macam tipuan yang semua gagal, akhirnya kami berkesimpulan: Caka harus dicekoki dan berhasil. Bengkaknya sudah mulai berkurang.

Hari Ketiga:

Caka sudah benar-benar menjadi dirinya kembali. Bermain sepanjang hari, ingin mengambil ini dan itu, membuat kesal ibunya, lalu merajuk kala keinginannya tidak dituruti. Bengkak sudah hilang dan luka sudah terlihat kering. Pada tahap ini yang membuat dia menangis adalah saat lukanya ditetesi obat sehabis buang air kecil dan saat minum obat, tapi sebenarnya lebih karena Caka tidak suka dipegangi dan selalu berontak. Besok adalah hari keempat dan kami harus kembali ke klinik untuk memeriksakan Caka. Saya yakin dalam waktu tujuh hari, Caka sudah pulih sepenuhnya.

Seminggu Kemudian:

Caka sudah tidak menangis lagi karena lukanya. Daerah luka khitan dilapisi cairan getah bening yang lengket dan ketika mengering membentuk sebuah lapisan berwarna kecoklatan transparan. Lama-kelamaan lapisan ini memenuhi seluruh kepala penis. Saat mengering, lapisan ini menjadi hitam, persis seperti bekas luka biasa dan rasanya agak gatal. Dalam waktu seminggu, kerak sudah mengering dan mulai mengelupas dengan sendirinya sedikit demi sedikit. Klinik berpesan, keraknya jangan dikelupas. Biarkan mengering secara alami dan nanti akan terkelupas dengan sendirinya.

Dua Minggu Kemudian:

Selama dua minggu terakhir, Caka berlarian di rumah tanpa memakai celana apapun dan buang air di mana-mana. Klinik khitan yang kami kunjungi menggunakan metoda tanpa-perban untuk menutupi luka, dengan begitu luka diharap cepat kering. Yang perlu dijaga adalah: anak tetap berada di dalam rumah, supaya tidak terpapar debu dan kuman, luka diusahakan selalu kering terutama setelah buang air kecil dan selalu dibersihkan dengan antiseptik dan ditetesi obat khusus. Metoda ini ternyata cukup efektif. Luka jahitan dan kerak sudah sepenuhnya lepas sendiri. Jadi hari ini Caka resmi sudah sembuh total, Alhamdulillah. 

Jadi ternyata, dikhitan tidak seburuk yang kami kira. Waktu Caka histeris beberapa jam sesudah khitan, kami berpikir ini akan berlangsung sampai satu minggu. Ternyata tidak. Anak-anak memang punya mekanisme pemulihan yang luar biasa. Jadi apabila anak Anda perlu dikhitan, baik untuk alasan medis maupun bukan, inilah yang terjadi pada Caka, anak kami, usia 20 bulan, untuk rujukan. ***

Kesimpulannya: masa kritis pertama hanya berlangsung selama tiga jam saja. Masa kritis kedua berlangsung selama tiga hari. Satu minggu pascakhitan, luka sudah mengering dan kerak sudah mulai mengelupas sedikit demi sedikit. Dua minggu pascakhitan, luka sudah sembuh sama sekali dan penis sudah bersih dari kerak.

Renungan tentang rasa sakit & kedewasaan:

Kita hidup di sebuah budaya di mana anak laki-laki harus kuat dan tidak boleh menangis, perempuan tidak apa-apa menangis karena dianggap lebih lemah dan harus dilindungi. Sebuah pandangan dominan yang sebenarnya bisa diperdebatkan. Bicara soal rasa sakit dalam kaitannya dengan proses pendewasaan, saya kira masyarakat modern semakin lama semakin jauh dari rasa sakit fisik. Masyarakat modern yang tinggal di perkotaan, terutama dari kalangan menengah ke atas, bisa dikatakan cukup manja bila dibandingkan dengan mereka yang tinggal di pedesaan, apalagi dengan masyarakat suku. Mereka ‘tidak mengenal’ rasa sakit. Rasa sakit yang mereka pahami biasanya disebabkan cedera karena kecelakaan dan sebisa mungkin harus dihindari. Di masyarakat suku, proses pendewasaan baik laki-laki atau perempuan, selalu melibatkan rasa sakit. Bila seorang anggota suku ingin masuk ke dalam kelompok prajurit dan menjadi bagian dari klan ksatria, ujian dan inisiasinya jauh lebih menyakitkan lagi. Menyakitkan dan mengerikan.

Tradisi suku Satere-Mawe atau orang-orang Maue di hutan Amazon, Brazilia, misalnya, menggunakan Semut Peluru (Paraponera Clavata) untuk ritualnya. Sekitar 30 ekor Semut Peluru dibius menggunakan cairan dari bahan alami sampai mabuk, lalu mereka dimasukkan ke dalam semacam sarung-tangan yang terbuat dari daun-daunan. Bila kita ingin menjadi prajurit di suku tersebut, kita harus memasukkan tangan kita ke dalam sarung tangan yang bukaannya diikat dan saat semut-semut celaka itu sadar dari mabuknya, mereka akan berebutan mencari celah untuk keluar dan menggigiti tangan kita. Selama sepuluh menit penuh kita tidak boleh menjerit, apalagi menangis, kita tidak boleh menunjukkan tanda kelemahan apapun juga sementara anggota suku yang lain menari dan menyanyi, memberi semangat dan berusaha mengalihkan perhatian kita dari rasa sakit. Sekedar catatan, Semut Peluru mendapatkan namanya karena racunnya (disebut Poneratoxin) mengakibatkan sensasi yang  menyerupai sensasi ditembus peluru panas. Rasa sakit dan panasnya akan bertahan selama 24 jam, mengakibatkan kelumpuhan sampai ke pangkal lengan, membuat sekujur lengan bergerak-gerak sendiri sampai berjam-jam, menimbulkan rasa mual yang hebat, muntah-muntah dan degup jantung menjadi kacau. Padahal itu semua baru gigitan satu ekor semut. Ujian ini akan diulang sampai sekitar 20 kali, memakan waktu berbulan-bulan bahkan sampai tahunan, sampai akhirnya kita ditasbihkan menjadi anggota klan ksatria Maue.

Ini hanya salah satu dari ratusan, kalau tidak ribuan, jenis ujian atau ritual pentasbihan yang melibatkan rasa sakit di seluruh dunia. Di Bali, kita mengenal tradisi metatah, meratakan gigi di usia akil baligh. Ini tentu saja menimbulkan rasa ngilu yang luar biasa, membayangkannya saja sudah ngilu. Di Mentawai, gigi depan sampai ke taring anak gadis ditatah jadi berbentuk segitiga, tajam seperti ikan hiu. Ini kelihatannya lebih ngilu lagi. Lalu ada juga rajah yang, berbeda dengan rajah modern, dilakukan dengan cara menorehkan batu tajam dan membuat luka di kulit, membentuk pola tertentu. Jalur luka ini kemudian dipupuri tinta dan orang bisa demam sampai berhari-hari. Namun pendeknya, pola mengaitkan rasa sakit dengan kedewasaan sudah berlangsung ribuan tahun di mana-mana. Dirasa penting untuk mengimbuhkan rasa sakit, memancangkannya ke dalam ingatan, karena sakit memberi trauma dan trauma tidak bisa dilupakan. Kita lebih mengingat hal yang traumatik daripada hal yang menyenangkan.

Jadi kelihatannya tujuan dari praktik-praktik ini sangat psikologis. Semua rasa sakit fisik yang dialami semata-mata bertujuan membangkitkan kesadaran bahwa kehidupan sudah berubah. Kita bukan anak kecil lagi tapi sudah menjadi orang dewasa. Kita bukan orang dewasa pada umumnya lagi tapi sudah menjadi bagian dari kalangan ksatria, semacam itu. Tidak disangkal, berhasil melewati ujian yang berat dan penuh rasa sakit pun memberi kebanggaan, ada sebuah imbalan psikologis yang besar yang mengiringi kesadaran akan kedewasaan saat kelompok memberi pengakuan bahwa kita adalah salah satu dari mereka. Berhasil melewati ujian semacam itu, cara kita memandang dunia akan berubah sama sekali. Saat itu juga.

Di ekstrim lain, masyarakat modern yang tinggal di perkotaan tidak mengenal upacara penuh rasa sakit seperti tadi karena itu bisa dimengerti bila mereka ‘terlambat dewasa’. Pendewasaan butuh ujian dan inisiasi, apapun bentuknya. Kita terbiasa menghadapi ujian di sekolah dan inisiasi saat wisuda atau kelulusan. Sekolah tidak membuat kita dewasa. Pintar secara akademik barangkali ya, tapi dewasa belum tentu (karena itu guru yang baik bukan hanya memberi ilmu tapi menyalakan api kesadaran). Tidak tertanam dalam ingatan kita rasa sakit yang traumatik dan pentasbihan yang membanggakan setelah melewati ujian akademik. Bila kita ikut olahraga beladiri misalnya, kita bisa saja mendapatkan ujian dan inisiasi yang serupa dengan masyarakat suku, tapi tentu semua akan berpuncak saat seseorang memutuskan untuk masuk dunia militer. Sesuai dengan asal-muasalnya, dunia militer masih memelihara tradisi ribuan tahun tersebut. 

Tapi sungguh, apa yang sebenarnya menumbuhkan kedewasaan? Apa benar rasa sakit? Atau ada yang lebih esensial dari itu? Saya pikir seseorang bisa dikatakan dewasa apabila ia mulai sungguh-sungguh menyadari bahwa apa yang dia lakukan akan berdampak terhadap hidup orang lain dan pada akhirnya, pada diri sendiri. Refleksi dari kesadaran itu adalah sebuah rasa tanggung-jawab. Karena itu kedewasaan tiba di usia yang berbeda-beda, tergantung situasi. Orang yang hidup di kondisi ekonomi yang sulit, misalnya, yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah dan harus bekerja hanya untuk bertahan hidup, tentu sudah selangkah lebih maju ke arah kedewasaan. Bila orang itu harus menanggung hidup orangtuanya yang sakit, menghadapi segala tantangan dan cobaan, dengan ketegaran dan penerimaan, barangkali orang itu sudah bisa dikatakan dewasa walaupun usianya relatif muda. Berkeluarga dan memiliki keturunan secara alamiah memberikan dorongan dan tekanan yang cukup besar sehingga seseorang akan bergerak secara pasti menuju kedewasaan, diasumsikan bahwa kita benar-benar ikhlas menerima kondisi tersebut dan mau berjuang. Itu sebuah cara mulia untuk menjadi dewasa.

Khitan yang dialami Caka lebih merupakan masalah medis dan hampir tidak ada hubungannya dengan kedewasaan, mengingat usianya. Saya dan Fini akhirnya merasa cukup tenang melihat, setelah tiga jam, kelihatannya serangan rasa sakitnya mulai merenggang. Ia bisa minum ASI dengan tenang, barangkali karena capek juga menangis terus-terusan dan obat penahan sakitnya bekerja cukup baik. Ia menonton acara televisi dan kadang-kadang berceloteh lirih bahkan tersenyum. Ia baru menangis histeris ketika kami memberi obat tetes setiap jam atau saat ia buang air kecil. Ini semua akan berlangsung paling lama selama satu minggu. Tugas saya adalah melayani termasuk menyuapi Fini karena Fini hampir tidak bisa sama sekali meninggalkan Caka dari sampingnya, setidaknya sampai sore ini. Sedih juga melihat Caka menderita, tapi bagaimanapun ini harus dilalui. Saya juga kasihan melihat Fini harus berada di samping Caka terus-menerus sambil menahan iba. Tapi ya, tidak apa-apa. Ini pengalaman. Masih lumayan daripada digigit Semut Peluru. Mudah-mudahan saya dan Fini bisa lebih dewasa karena mengurus Cakrawala.***

Panaitan, 6 Januari 2012

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s