Tulisan ini amat teknis sifatnya, tentang warna. Dulu waktu kami masih kuliah tahun pertama, mata kuliah Nirmana 2D dipegang oleh Ibu Rita Widagdo. Beliau orang Jerman yang menikah dan tinggal di Bandung lalu menjadi pengajar seni rupa di FSRD ITB. Ibu Rita adalah seorang pematung dengan pemahaman seni modern yang sangat mendalam, memiliki disiplin tingkat tinggi dan ‘kekejamannya’ dalam mengajar tanpa tedeng aling-aling. ‘Kejam’ di sini mirip seperti kejamnya drill-sergeant di West Point, kejam mendidik walaupun tanpa kekerasan fisik. Salah satu yang saya ingat betul dari Beliau adalah doktrinnya tentang warna.
Bila kami selesai mengerjakan tugas Nirmana 2D, kami akan memajang karya-karya kami di selasar gedung kuliah di samping ruang kelas. Ketika Ibu Rita datang dan melihat lalu menilai karya-karya itu satu-persatu, kami akan langsung berkerumun di belakang Beliau dan mendengarkan kritik yang akan disampaikan. Kritik itu macam, “Bagus ya, warnanya, seperti baju Si Bibi waktu Lebaran.” atau “Kalau gambar kamu seperti ini, lebih baik pindah sekolah saja. Mau, saya kasih surat?” atau “Hitam itu bukan warna, itu intensitas cahaya nol. Tidak boleh pakai hitam dalam kuliah saya!” Kami selalu tertawa kecut mendengar kritik Beliau, menertawakan teman yang kena kritik sekaligus menertawakan diri sendiri kalau sedang sial.
Dalam kuliah Nirmana 2D ketika kami mulai berurusan dengan warna, apapun medianya, Ibu Rita akan segera ‘menghajar’ siapa saja yang menggunakan ‘warna tube’ dalam karyanya. “Warna itu harus ambigu.” Semata-mata menggunakan satu warna dari satu pensil atau satu tube cat air atau cat poster diharamkan. Beliau selalu menekankan pada kami, betapa pentingnya menemukan satu kualitas warna yang baik, campuran dari beberapa warna, dan akhirnya membuat komposisi warna yang baik dari campuran-campuran tadi.
Inti dari segala inti pelajaran nirmana baik 2 dimensi maupun 3 dimensi saat itu adalah keseimbangan dari semua unsur rupa. Warna adalah salah satu unsur terpenting dalam komposisi dan doktrin mencampur warna ini adalah apa yang kita sebut sebagai ‘broken colors’. Warna harus ‘dirusak‘ dengan mencampurnya dengan warna lain, tidak boleh tunggal. Warna hijau harus memiliki sedikit nuansa biru atau diberi sedikit coklat sehingga lebih ‘hangat’. Biru diberi sedikit merah sehingga memiliki bias keunguan dan seterusnya. Warna menjadi ‘matang’.
Gemblengan ini diulang-ulang sepanjang tahun itu. ‘Korban’ kecaman dan kritikan Beliau pun semakin lama semakin berkurang. Bukan apa-apa, tugas-tugas waktu kuliah tahun pertama itu banyak sekali. Kami harus begadang tiap malam mengerjakan banyak tugas dan mencampur warna itu tidak sebentar. Jadi seringkali kami membuat campuran warna yang hanya terdiri dari dua-tiga warna dengan asal-asalan terutama karena kami capek, terlalu malas untuk mengerahkan semua daya upaya di atas selembar kertas. Tugas akan jadi lama sekali, tidak akan selesai pada waktunya. Tapi ya, begitulah, siapa yang malas pasti kena kritik pedas.
Dalam prakteknya, banyak sekali seniman yang kadang-kadang tidak menghiraukan doktrin ini. Yue Minjun, eksponen China Avant-garde, dengan karya-karya lukisnya yang menghebohkan dunia Barat, pasti dikritik habis-habisan oleh Ibu Rita karena penggunaan warnanya yang ‘banal’. Saya menyadari bahwa paham ini berasal dari Eropa, tapi karena doktrin Ibu Rita tentang warna adalah satu-satunya yang saya dapat, ditambah dengan gemblengan yang tanpa tedeng aling-aling, sampai sekarang bila saya menggambar atau melukis, rasanya tidak puas kalau warna belum ‘dipecah’ sampai hancur, sampai tidak jelas identitasnya.
Dalam berkarya ada banyak medium yang saya gunakan tapi cat air adalah salah satu yang istimewa karena sifatnya yang tembus-pandang. Sifat ini cocok bersanding dengan media kertas dan garis pensil tipis, menjadikannya intim dan feminin. Cocok untuk membuat karya-karya yang berbau kekerasan karena menimbulkan ‘ketegangan’ antara obyek dan sifat medianya. Sepengalaman saya, berkaitan dengan broken colors, cat air yang berbentuk blok lebih enak dipakai daripada yang disimpan di dalam tube. Pada kemasan cat air blok, biasanya disediakan wadah untuk mencampur (lihat gambar di atas). Sesudah mencelupkan kuas ke dalam air dan membubuhinya dengan tinta, warna diaduk dulu di wadah pencampur untuk melihat kesesuaian warna dengan yang kita inginkan. Kita juga bisa mencampur warna di wadah yang sama. Dan ketika selesai bekerja, saya tidak membersihkan wadahnya, wadah saya biarkan kering sampai saya memakai cat air itu kembali.
Tinta cat air akan basah lagi kalau diberi air dan tinta yang sudah mengering di wadah pencampur baik sekali untuk menghasilkanbroken colors. Kadang-kadang ketika baru mulai, saya tidak mengambil warna sama sekali dan mengambilnya hanya dari tinta kering di wadah pencampur. Warna-warna terdahulu yang terkadang berbeda dengan yang kita maksud justru menjadi campuran yang bagus. Kita selalu bisa membubuhkan warna yang kita maksud di lapisan kemudian. Dengan demikian, warna selalu tercampur dan hasilnya warna lebih matang. Untuk alasan praktis yang sama, cat air berbentuk blok juga mudah untuk digunakan karena kita hanya perlu menyediakan kuas dan air, tidak perlu membawa wadah sama sekali.
Membuat broken colors dengan cat air tidak sulit, hanya membutuhkan sedikit usaha. Karena cat air sifatnya tembus-pandang, tidak perlu khawatir kalau warna belum sesuai dengan apa yang kita maksud. Kalau mau menuju warna hijau, kita bisa memulaskan warna coklat dulu, lalu kuning, lalu sedikit biru, dan terserah saja mau mencoba lewat jalan yang mana. Hasil akhirnya akan jauh berbeda dibandingkan dengan hanya memulaskan warna yang dimaksud. Warna akan menjadi ‘matang’ dan ambigu, seperti kata Ibu Rita Widagdo.
Pingback: Kelas Cat Air Tobucil & Klabs 2014 | Cakrawala Hartanto