Kertas Aquarelle (bagian pertama dari dua bagian)

shapeimage_1-2Tulisan bagian pertama ini ditujukan untuk mereka yang baru mulai suka dengan cat air, untuk mereka yang lebih mementingkan pengalaman daripada pencapaian karya. Jadi tulisan ini menyentuh topik-topik mendasar dulu. Pada bagian kedua nanti akan ada paparan lanjutan yang menjangkau topik yang lebih luas. Selamat membaca. 🙂

Walaupun ada juga beberapa perupa yang menggunakan kanvas untuk karya-karya cat airnya, kertas masih merupakan media utama untuk aquarelle. Biarpun sama-sama berserat, kanvas dan kertas sangat berbeda saat digunakan. Kita bandingkan perbedaannya.

Pada kanvas untuk melukis, kain yang belum diapa-apakan disebut kain ‘mentah’. Sebelum dilukis, kanvas harus dilapisi dulu dengan pelapis semacam lem kayu untuk menutupi seluruh permukaannya sampai tidak tembus cahaya. Lapisan ini disebut primer. Langkah ini dilakukan untuk melindunginya lapisan kain dari asam, biasanya dari jenis linoleic acid, yang dijadikan pengikat dalam pembuatan cat minyak. Asam dari cat minyak tidak boleh menyentuh serat kain karena merusak. Selain itu, lapisan ini juga berfungsi untuk memberi dasar untuk lapisan kedua: gesso, sebuah lapisan kimiawi berbahan dasar air berwarna putih. Pada lapisan kedua inilah tinta dari cat menempel. Gesso pada kanvas bisa dipersiapkan untuk cat berbahan dasar minyak dan air tapi intinya tetap sama: tinta cat tidak akan pernah bersentuhan dengan serat kain. Lebih mendalam tentang kanvas untuk melukis bisa dibaca di artikel ini.

Kertas justru kebalikannya. Pada kertas, serat-seratnya terbuka sama sekali, tidak ditutupi apa-apa. Tinta pada cat akan langsung bertemu dan menyerap pada serat kertas. Ini menyebabkan penyerapan kertas  terhadap air bagus sekali. Bahkan tinta yang sangat tipis pun bisa terlihat ketika pigmennya diserap kertas, terutama yang pada kertas warnanya putih terang. Hal ini menjadikan kertas menjadi sebuah media yang sangat sensitif terhadap pigmen, sebuah kelebihan yang sekaligus menjadi kekurangannya. Kertas sangat sensitif terhadap kelembapan dan bila tidak dijaga dengan baik, kertas akan menguning dan berjamur. Selain itu, ada juga ‘kekurangan‘ lainnya.

Kanvas biasanya dibentang di sebuah struktur kayu, dalam bahasa Belanda disebut spanraam, sehingga kanvas selalu terbentang dengan tegang dan rata. Kanvas yang terbentang tidak rata dan tidak tegang dianggap tidak baik dan harus diperbaiki. Kertas, di sisi lain, biasanya tidak dibentang dan karena aquarelle berbahan dasar air, penyerapan yang terjadi mengubah kerapatan partikel sehingga kertas pun menjadi bergelombang. Pada saat basah kertas merenggang dengan hebat dan ketika mengering partikelnya saling menarik ke posisi semula, tapi kertas tetap tidak akan pernah serata aslinya lagi. Ini adalah masalah klasik karya-karya aquarelle dan selama gelombangnya tidak terlalu hebat ketika karya sudah kering, kertas yang tidak rata masih bisa diterima.

Dengan begitu, kertas yang tipis akan lebih bergelombang daripada kertas yang tebal. Kertas yang sangat tipis akan robek dan berubah menjadi bubur kalau kita menggosoknya terus-menerus dengan air. Karena itu, untuk membuat karya aquarelle di atas kertas, kita biasanya membutuhkan ketebalan tertentu. Stardardisasi ketebalan kertas dihitung dengan satuan gram per meter persegi luas kertas. Bila kita menemukan kertas gambar yang bertuliskan 160 gsm, itu berarti kertas tersebut memiliki berat 160 gram untuk setiap potongan 1×1 meternya.

Berat ideal kertas aquarelle untuk penggunaan ‘normal’, artinya lapisan-lapisan warnya tidak banyak sekali sehingga konsentrasi air saat pengerjaan tidak terlalu tinggi, adalah sekitar 200 gsm. Untuk ukuran ‘semi-profesional’, kurang dari itu masih bisa, sekitar 180 gsm masih oke. Lebih dari 200 gsm lebih baik lagi, ini memungkinkan pembuatan karya dengan kualitas profesional. Kertas dengan ketebalan 300 gsm mampu menangani konsentrasi air yang tinggi saat dikerjakan. Tapi kertas dengan ketebalan di atas 200 gsm biasanya sudah termasuk kelas profesional, atau kelas artist. Pilihannya banyak, harganya lumayan mahal dan mutunya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, walaupun kalangan profesional tidak habis-habisnya berdebat mengenai kertas mana yang paling baik.

Waktu saya kuliah tingkat pertama dulu, tugas cat air banyak sekali dan selalu dikerjakan di kertas Padalarang ukuran A2. Ini adalah kertas yang sebenarnya kurang memenuhi syarat untuk cat air. Gelombang yang dihasilkannya cukup dahsyat karena ketebalannya saya kira kurang dari 160 gsm, barangkali sekitar 120 gsm. Seingat saya, warnanya pun tidak putih terang, bariknya mulus seperti kertas hot-press (barik = tekstur) dan saya yakin dalam pembuatannya menggunakan bahan kimia mengingat skala produksinya selalu dalam jumlah besar. Tapi, mengingat harganya yang murah, kertas Padalarang bisa jadi pilihan yang baik untuk berkarya bagi pemula, cocok untuk kelas student.

Walaupun waktu kuliah tingkat awal banyak tugas cat air, cat air tidak pernah jadi media yang dominan saya gunakan. Selalu hanya sekali-sekali saja. Jadi saya tidak pernah punya cat air yang bagus atau kertas yang bagus. Saya cukup sering menggambar cat air di kertas HVS A4 berketebalan 80 gsm. Gelombangnya seperti badai di Samudera Hindia. Tapi waktu saya punya cukup uang, menjelang Tugas Akhir tahun 1997, saya membeli sekotak cat air Cotman dari Winsor & Newton. Ini adalah cat air istimewa untuk saya waktu itu karena kalau dibandingkan dengan semua cat air yang pernah saya pakai sebelumnya: harganya mahal, kotaknya bagus sekali dari plastik berwarna putih dan bentuknya blok, bukan tube. Sebelum itu saya selalu memakai cat air dalam bentuk tube. Cat air ini saya pakai sampai habis, sampai akhirnya saya berganti merk.

Saya punya kebiasaan membawa buku catatan kemana saja saya pergi, kebiasaan ini masih berlanjut sampai sekarang. Saya menulisi catatan itu dengan daftar belanja, perhitungan keuangan, nomor telepon, alamat dan berbagai macam hal praktis lainnya. Tapi lain dari itu, saya selalu menggambar di dalamnya, dengan pensil atau ballpoint, dan akhirnya saya mulai mewarnai gambar-gambar saya itu dengan cat air. Buku catatan yang saya punya, di awal-awal adalah kertas A4 yang dibelah dua jadi ukuran A5, lalu dijilid tebal di tempat fotokopi Widji. Walaupun jilidnya selalu lepas dan kertasnya jadi bertebaran, tapi buku catatan ini menyimpan cukup banyak halaman yang disentuh cat air. Buku-buku ini masih ada sampai sekarang dan mudah sekali menemukan halaman cat air karena halamannya, walaupun sudah mengering sempurna, selalu bergelombang.

Jadi, saya memulai karya-karya cat air saya dengan HVS 80 gsm dankertas Padalarang 120 gsm. Saya pernah coba memakai cat air di kertas buram 70 gsm, hasilnya cukup mengerikan jadi saya tidak menyarankannya. Tapi dua jenis yang pertama di atas: bisa dipakai. Ada baiknya tidak menggunakan kertas ukuran besar dulu, apabila Anda baru memulai. Kertas besar membutuhkan usaha ekstra untuk bisa mencapai tahap ‘selesai’. Saya menyarankan: potong-potonglah kertas Padalarang jadi ukuran A5 atau A6, lalu dijilid dan dijadikan buku gambar khusus cat air. Atau daripada pusing, belilah buku-buku catatan kecil di Tobucil & Klabs yang bergambal sampul cantik dan dijilid rapi. Ada buku-buku catatan yang bagus sekali dan bisa dipakai untuk media cat air. Kertasnya ada yang putih ada yang kekuningan. Kertasnya pasti bergelombang, tapi cukup baik untuk ukuran kelas student.

Kita sering mendengar ungkapan, ‘Yang penting orangnya, bukan alatnya.‘ Ungkapan ini cukup tepat.. Yang ingin kita hindari kalau memulai berkarya adalah: semangat berkarya keburu habis padahal kita sudah beli alat dan bahan kelas artist yang mahal. Justru dengan memulai berkarya memakai bahan yang murah-meriah, kita bisa tahu mutu dan perbedaan semua bahan ketika pengalaman bertambah. Proses ini menyenangkan untuk diikuti. Misalnya ketika kita terbiasa melukis cat air di atas kertas HVS atau Padalarang, lalu kita mencoba kertas Fabriano 160 gsm, rasanya berbeda. Dan seterusnya dan seterusnya. Cat apa yang harus digunakan? Oh, banyak pilihan. Dulu saya mulai dengan merk Guitar, lalu ada juga Pentel yang lebih bagus, di Toko Hidayat ada merk Reeves. Semua ini cocok untuk digunakan pada masa-masa awal berkarya cat air. Akan saya bahas lebih dalam di tulisan khusus nanti.

Intinya, kalau baru mulai berkarya, yang lebih penting adalah semangat berkaryanya, bahan nomor dua. Yang penting bukan mutunya tapi jumlahnya, yang penting adalah pengalamannya dan bukan pencapaiannya. Bahan yang baik serta mutu karya akan meningkat sesuai pengalaman, kalau kita sudah mulai mahir, akan ada kebutuhan untuk meningkatkan mutu bahan dengan sendirinya. Bagi orang-orang tertentu, cat air ‘sulit dimengerti’ tapi begitu mengenal wataknya yang lembut dan sensitif, orang biasanya lalu jatuh cinta pada media ini. Termasuk saya. Dan Anda. Nah, untuk Anda yang baru mulai mengenal keindahan cat air, selamat berkarya.

(lanjutkan membaca bagian terakhir dari dua bagian)

3 thoughts on “Kertas Aquarelle (bagian pertama dari dua bagian)

  1. Pingback: Kelas Cat Air Tobucil & Klabs 2014 | Cakrawala Hartanto

  2. Mantap banget tulisannya kak, dari dulu aku pengen bisa ngegambar apalagi pake cat air. Semangat ini tumbuh lagi ketika sedang iseng mengisi wreck this journal dan ngeliat video2 di instagram. Menurutmu, perlu (atau dinjurkan) ga beli buku referensi atau guide dalam memulai kegiatan melukis kaya gini? Saya tertarik sm buku karya Marjorie blamey dan Patricia seligman, tapi takutnya pas buku2 itu ada, semangat buat melukisnya langsung padam

    • Hai, makasih udah mampir dan baca-baca. Ah, kalo mau ngelukis cat air sih nggak usah beli buku. Liat aja video instruksi di YouTube, banyak banget. 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s