Saya mengakui bahwa saya termasuk orang yang kurang sabar. Apa-apa inginnya cepat, inginnya saat itu juga terwujud. Kalau yang sedang saya kerjakan rasanya terlalu sulit, saya kadang-kadang cepat menyerah lalu berhenti dengan kesal. Namun mengimbangi hal itu, saya juga sering merasa terganggu kalau apa yang saya inginkan belum terwujud. Saya jadi memikirkannya siang dan malam. Rasa penasaran inilah yang kemudian membuat saya mau mencoba kembali, walaupun belum tentu berhasil.
Sebagai orang yang kurang sabar, mempelajari keterampilan baru adalah saat-saat yang menyebalkan bagi saya. Dulu waktu saya kecil, kalau keluarga kami sedang pergi ke sebuah tempat baru yang belum pernah saya kunjungi, saya selalu gelisah di dalam mobil. Perjalanan rasanya panjang sekali dan tidak sampai-sampai. Tapi yang saya ingat, saya pasti terheran-heran mengetahui bahwa perjalanan pulang rasanya jauh lebih cepat. Mempelajari kemampuan baru bagi saya rasanya kurang-lebih mirip dengan kegelisahan saya di dalam mobil menuju tempat baru. Tapi sungguh, tidak ada rahasia dalam membangun keterampilan baru. Yang dibutuhkan hanya pengulangan, pengulangan, pengulangan.
Dr. Joseph Dispenza, seorang neuroscientist dari Amerika Serikat menjelaskan dalam film What The Bleep Do We Know bahwa sel-sel syaraf otak yang jumlahnya triliunan itu saling terhubung atau saling melepas diri tergantung apa yang kita pikirkan, apa yang kita kerjakan. Satu jejaring sel syaraf disebut neuronet. Saat kita melatih diri untuk memiliki kemampuan baru, sel-sel syaraf yang semula saling terpisah mulai terstimulasi dan perlahan saling mendekat. Bila hal itu diulang-ulang terus-menerus, sel-sel syaraf itu akhirnya saling bertemu dan membentuk sebuah neuronet baru dan otak kita pun memiliki sebuah visi baru.
Tidak heran, saat pertama kali belajar apapun juga, misalnya naik sepeda, rasanya begitu kikuk. Koordinasi mata-tangan-kaki rasanya begitu rumit, keseimbangan tidak pernah terjaga dan sepeda rasanya sulit sekali dikuasai. Pada tahapan ini, neuronet yang dibutuhkan untuk mengendarai sepeda belum terhubung. Ketika kita mengulang-ulang hal itu, pelan-pelan kita mulai bisa mengayuh satu-dua ayunan sebelum kaki turun ke tanah menjaga keseimbangan. Neuronet mulai terhubung dan pada sebuah momen yang istimewa, tiba-tiba kaki kita tidak menyentuh tanah, hanya mengayuh dan sepeda tiba-tiba bergerak dengan laju. Kita sampai kaget sendiri karena belum pernah merasakan sensasi kecepatan seperti itu di atas sepeda. Neuronet sudah terhubung sepenuhnya.
Sama seperti binatang, kita pun membutuhkan pengulangan saat melatih diri, hanya bedanya kita mampu memotivasi diri sendiri. Lihatlah semua pencapaian terhebat di dunia ini baik itu di dalam bidang olahraga, seni, ilmu-pengetahuan atau apa saja, nyaris semua dilakukan karena usaha yang terus-menerus, pengulangan Sisyphus yang seperti tak ada habisnya. Namun kabar baiknya, ketika kita melakukan satu hal terus-menerus sampai mahir, bukan keterampilan saja yang kita miliki. Ini dia hebatnya otak kita.
Ketika kita berlatih, yang kita lakukan adalah rutinitas seperti ini: lakukan-koreksi-ulangi, lakukan-koreksi-ulangi, begitu terus. Tapi kalau keterampilan kita semakin meninggi, lama-kelamaan yang perlu dikoreksi semakin sedikit dan lama-kelamaan tidak ada lagi yang perlu dikoreksi. Pada tahapan ini seseorang sudah mencapai tingkat mahir. Pada tingkatan mahir, apa yang kita kerjakan sudah tidak lagi berada di wilayah sadar tapi turun ke wilayah bawah sadar. Apa yang kita ulang-ulang sudah menjadi second nature. Kemahiran kita sudah menjadi insting dan insting bisa sangat presisi, mengalahkan perhitungan nalar yang serba-rumit. Apa yang kita lakukan jadi ‘sederhana’ dan tanpa-usaha. Kita bukan hanya jadi terampil tapi mahir, kita bukan sekedar punya keahlian tapi punya sensibilitas. Hal macam inilah yang membuat orang seperti Tiger Woods bisa membuat pukulan yang sangat sulit dari jarak jauh dan berhasil.
Jadi, tidak ada orang yang terlahir hebat atau jenius, semua karena latihan. Tentu saja bila yang dilatih sesuai dengan minat dan bakat, ditambah motivasi yang tinggi dan rasa ingin tahu yang cukup untuk mengalahkan rasa kesal atau lelah saat berlatih, seseorang bisa menjadi mahir dalam waktu lebih cepat. Orang yang terlatih mampu menyerap informasi lebih banyak daripada orang biasa dalam sekali lihat, mampu beraksi lebih baik dalam sekali coba. Bagi saya, yang terpenting dalam mencoba keterampilan baru pertama kali adalah rasa ingin tahu. Penasaran adalah modal utama bagi saya karena itulah yang membuat saya ingin mencoba lagi, betapapun banyaknya kegagalan yang saya alami. Motivasi (untuk menjadi lebih baik lagi) biasanya muncul ketika saya sudah ‘setengah jalan’. Ketika saya mulai bisa tapi saya merasa hasilnya masih kurang memuaskan, pada tahap itulah biasanya motivasi saya muncul.
Berkarya seni rupa adalah pekerjaan saya dan saya bisa katakan media yang saya pakai sebenarnya sangat konvensional. Saya merasa memiliki keterampilan cukup baik di media-media kering seperti pensil, arang atau pastel kapur. Di media basah seperti tinta Cina dan cat air, rasanya lumayan tapi masih bisa ditingkatkan lagi, saya punya motivasi untuk berlatih terus. Cat minyak bagi saya masih memiliki banyak misteri karena ternyata media ini sangat versatile, bisa digunakan untuk begitu beragam jenis ekspresi. Mau halus sekali bisa, mau kasar bisa, mau luwes bisa, mau kaku bisa, mau diapa-apakan saja bisa. Saya kira perjalanan saya belajar cat minyak masih panjang. Kadang-kadang saya suka kesal karena lukisan cat minyak saya tidak seperti yang diharapkan tapi ya, sehari-dua hari kemudian saya mencoba lagi. Tidak apa-apa kalau proses belajar berjalan lambat, yang penting tidak berhenti.
Pingback: Tolong! Anak Saya Ingin Jadi Seniman! (bagian pertama dari dua bagian) | Cakrawala Hartanto
Pingback: Mana yang Lebih Penting: Bakat atau Jam Terbang? | Cakrawala Hartanto