Walaupun blog ini memiliki fokus pada dunia seni rupa namun secara pribadi saya memerhatikan sebuah hal mengerikan yang nampaknya tidak bisa hilang dari peradaban manusia: pembantaian massal. Mata dunia sedang terpaku pada pembantaian massal di Suriah dan Myanmar, dua tempat yang jauh sekali jaraknya namun peristiwa mengerikan itu hanya terpaut 3 bulan saja, hampir bersamaan. Saya masih ingat, pertama kali saya bersentuhan dengan tema ini adalah antara tahun 1996-1998, saya masih kuliah. Saat itu saya menonton film, saya lupa judulnya, tentang pembantaian Nanking, 1937. Saya betul-betul terguncang menonton film tersebut. Walaupun hanya sebuah film tapi film ini dibuat berdasarkan kisah nyata dan penyiksaan tentara Kekaisaran Jepang di film tersebut sangat brutal dan mengerikan. Saya menangis waktu menonton film itu, bukan karena terharu tapi karena terguncang. Pada tahun 2004-2005, saya menonton film Hotel Rwanda yang juga diinspirasi oleh kisah nyata berlatar-belakang peristiwa pembantaian massal berskala monumental di Rwanda tahun 1994. Saya masih menangis juga menonton film itu dan ini murni tangis ketakutan. Berbeda dengan sebelumnya, saya tiba-tiba merasa ketakutan kalau-kalau hal ini terjadi di Indonesia lalu menimpa saya dan keluarga saya. Saya tiba-tiba merasa cemas dan tidak aman. Itu bukan hal yang tidak beralasan, hal itu pernah terjadi berkali-kali di Indonesia di berbagai tempat dengan memakan korban dari mulai beberapa orang, sampai ratusan ribu kalau tidak jutaan orang. Kita di Indonesia tidak kebal terhadap pembantaian massal.
Tapi rasa takut saya terhadap pembantaian massal, rasa takut terhadap ancaman pelecehan, penyiksaan dan pembunuhan yang ditimbulkan oleh pembantaian massal sedikit mereda ketika saya mempelajari lebih jauh tentang anatomi pembantaian massal. Sebelumnya, ketika menonton film atau membaca berita, saya sungguh tidak bisa memahami mengapa orang bisa sekejam itu. Mengapa orang biasa seperti kita bisa tiba-tiba berubah menjadi penyiksa, pemerkosa dan pembunuh yang kejam? Karakter seperti itu biasanya hanya kita temui di film-film tentang pembunuh berantai, tapi ini nyata dan melibatkan orang banyak sekali. Ada sebuah kegilaan massal dan orang jadi seperti robot, menjadi mesin pembunuh yang efektif. Senjata pemusnah massal bukanlah misil antar-benua dengan hulu ledak nuklir beberapa megaton, senjata pemusnah massal yang efektif adalah ratusan ribu orang yang dipersenjatai dengan golok berkarat atau pentungan, memburu saudaranya sendiri. Mengapa ini bisa terjadi? Kalau kita membayangkan diri kita menjadi korban pembantaian massal, walaupun mengerikan tapi ya okelah, itu mungkin, namanya juga korban. Tapi bagaimana mungkin kita, saya, menjadi pelaku pembantaian massal? Bisakah Anda membayangkan diri Anda, termasuk keluarga dan kawan-kawan Anda, menjadi pelaku pembantaian massal? Sayang sekali, jawabannya sama: mungkin memang bisa.
Pasal 2 pada Konvensi Pencegahan & Penghukuman Kejahatan Pembantaian Massal PBB yang ditetapkan pada tahun 1948 mendefinisi pembantaian masal sebagai “kegiatan apa saja yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan menghancurkan, baik secara keseluruhan maupun sebagian, suatu bangsa, suatu etnis, suatu ras atau suatu kelompok agama tertentu, seperti: membunuh anggota kelompok tersebut; mengakibatkan kerusakan fisik atau mental pada anggota kelompok tersebut; secara sengaja menurunkan kondisi hidup anggota kelompok tersebut dengan maksud menghancurkan secara fisik baik keseluruhan maupun sebagian; memperlihatkan cara-cara untuk mencegah kelahiran anak di dalam kelompok tersebut; (dan) secara paksa merebut anak-anak dari suatu kelompok untuk dipindahkan ke kelompok lain.”
Dari definisi tersebut, kita bisa melihat bahwa pembantaian massal berbeda dengan kerusuhan yang bersifat eksplosif, sesaat dan ruang-lingkupnya yang tidak luas walaupun tentu saja kerusuhan bisa menjadiprelude dari pembantaian massal. Untuk bisa terjadi, pembantaian massal membutuhkan prasyarat-prasyarat tertentu, pengkondisian-pengkondisian tertentu dan organisasi yang rumit yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Pembantaian massal bukanlah ledakan kemarahan sesaat dari sekelompok orang yang mengarah pada perusakan. Jauh dari itu, “Genocide is always organized.” demikian papar Gregory Stanton, direktur The Genocide Watch di New York. Dan menggerakkan orang sedemikian banyak dalam waktu yang bersamaan akan membutuhkan doktrin, jaringan kekuatan media, militer, inteljen, massa dan dana dalam skala raksasa. Hampir pasti, pembantaian massal hanya bisa direncanakan dan dieksekusi oleh rezim pemerintah yang berkuasa, terutama bila kita membicarakan pembantaian massal yang berskala monumental seperti yang dilakukan Nazi Jerman pada jaman Perang Dunia II, pemberantasan PKI 1965 di Indonesia, pembantaian massal di Kamboja oleh Khmer Merah pada tahun 1970-an atau pembantaian Rwanda, 1994. Tapi yang seperti ini tidak terlalu sering terjadi, yang sering terjadi adalah yang berskala lebih kecil.
Bila kita mengetikkan frasa ‘genocide’ di Wikipedia, ada paparan The Genocide Watch tentang 8 tahap pembantaian massal dan, menarik sekali, tahap pertama adalah ‘orang-orang dipisahkan menjadi “kita” dan “mereka”’. Tidak sulit untuk menyadari bahwa ini terjadi di sekeliling kita pada saat ini juga, bahkan kalau kita mau mengakui barangkali itu terjadi di dalam rumah kita sendiri. Melihat diri kita berasal dari kelompok yang berbeda dengan orang lain tentu saja lumrah, kalau kita orang Muslim, tentu wajar kalau kita merasa berbeda dengan orang Nasrani, Hindu, Buddha dan sebagainya, begitu pula sebaliknya. Namun dalam kasus pembantaian massal, pembedaan antara “kita” dan “mereka” diimbuhi sebuah sentimen negatif. “Mereka” adalah “Si Liyan” yang mengganggu, “mereka” dianggap kaum pariah yang akan lebih baik kalau tidak ada.
Tahap kedua adalah digunakannya simbol untuk menandai kaum pariah tersebut. Simbol yang paling terkenal adalah bintang Daud yang digunakan Nazi Jerman untuk menandai kaum Yahudi di Eropa. Orang-orang Yahudi harus mengenakan tanda tersebut tanpa terkecuali sehingga pembedaan identitas antara “kita” dan “mereka” sudah bukan hanya didengar dan dibicarakan, tetapi jelas terlihat oleh mata semua orang. Di Indonesia pada tahun 1965, semua orang mengenali simbol palu-arit, simbol ideologi yang dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia. Kini pembedaan antara “kita” dan “mereka” dapat dengan mudah dilihat pada Kartu Tanda Penduduk yang selalu kita bawa kemana-mana. Di situ tertulis agama apa yang kita anut. Dalam hal ini kita mirip dengan kasus Rwanda. Pada kartu identitas warga Rwanda, di situ tertulis golongan etnisnya, “Hutu” atau “Tutsi”. Pada suatu titik kritis, ini bisa menimbulkan perbedaan antara hidup dan mati.
Tahap selanjutnya akan membuat kita mulai memahami potensi kekejaman kita sendiri. Kita manusia, dari manapun kita berasal, kita selalu mencari pembenaran dari apapun yang kita lakukan dan tahap ini adalah pembenaran yang membuat kita bisa berubah menjadi pembunuh. Tahap ketiga adalah saat “kita” menyangkal kemanusiaan “mereka”. “Mereka” dianggap bukan manusia yang memiliki derajat yang sama, “mereka” dianggap binatang, dianggap penyakit atau sampah. Dengan begitu, menyingkirkan “mereka” bukan tindakan kejam, “kita” justru telah melakukan ‘suatu kebajikan untuk membuat perubahan ke arah yang lebih baik’. Ketika doktrin ini diulang-ulang, dicamkan terus-menerus ke pikiran begitu banyak orang, lama-lama orang akan percaya, apalagi bila itu ada di tengah kondisi: bila Anda tidak percaya, berarti Anda termasuk dalam golongan “mereka” maka Anda layak disingkirkan. Ini adalah nasib yang menimpa golongan Hutu moderat yang menolak untuk dipecah-belah. Mereka ikut menjadi korban, bersama dengan etnis Tutsi, dalam salah satu pembantaian massal paling mengerikan di dunia yang jumlah korbannya mencapai sekitar 1 juta orang dalam jangka waktu 90 hari.
Dari awal hingga akhir, pembantaian massal sangat bertumpu pada propaganda dan sangat mengandalkan media. Di Rwanda pada tahun 1994, media yang efektif digunakan mayoritas Hutu adalah radio. Hate speech adalah media indoktrinasi yang efektif, bisa digunakan dari mulai diskusi kecil yang hanya dihadiri beberapa orang, sampai ke skala nasional yang ditonton jutaan orang. Sesudah Partai Komunis Indonesia diberantas sampai ke akar-akarnya, lihatlah bagaimana Orde Baru masih merasa perlu menayangkan film Pemberontakan G30S/PKI pada setiap malam 30 September selama bertahun-tahun. Jauh sesudah pembantaian massal terjadi, sebagian masyarakat Indonesia masih mengalami tahap pertama, tahap kedua dan tahap ketiga. Tahap keempat dan selanjutnya sudah bukan hanya indoktrinasi lagi tetapi sudah masuk ke tahap persiapan dan pelaksanaan. Sifatnya lebih teknis dan pelaksanaannya akan diperhitungkan dengan taktis dan strategis, bisa dikatakan ini adalah sebuah operasi militer yang melibatkan masyarakat. Lebih lengkapnya bisa dilihat di sini.
Mengetahui fakta-fakta ini membuat rasa takut saya berkurang tetapi tidak hilang. Dalam batas-batas tertentu, di lingkungan tertentu, tahap pertama sampai tahap ketiga masih ada di lingkungan sekitar kita. Kebhinekaan kita sedang terancam saat ini, ada kelompok-kelompok tertentu yang sedang mengeksploitasi perbedaan-perbedaan di antara kita dan menginginkan masyarakat terpecah-pecah untuk motif tertentu. Bila harus diurai untuk memahami dari mana semua ini berasal, saya terus-terang tidak tahu, saya tidak cukup kompeten untuk menjabarkan itu. Yang pasti, pengerasan identitas di begitu banyak kelompok masyarakat terjadi begitu kuat hari ini. Orang-orang merasa perlu untuk menegaskan identitasnya, berkelompok dan mempertahankan ideologi dan teritorinya secara agresif. Ada semacam perasaan gamang, ketidakpercayaan diri bercampur rasa tidak-aman yang diselimuti keyakinan, rasa bangga dan patriotisme yang melanda kantung-kantung masyarakat tertentu dalam menghadapi keragaman.
Di tahun ini, dalam jangka waktu 3 bulan, dari mulai Juni hingga Agustus 2012, pembantaian massal telah terjadi Suriah dan Myanmar. Ini sungguh mengerikan tapi yang memprihatinkan adalah dunia seperti tidak mampu berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Walaupun sudah ada pihak-pihak yang secara langsung melakukan tindakan, menghadapi berita seperti ini membuat saya merasa tidak berdaya. Saya hanya duduk membaca berita, merasa prihatin sambil diam-diam merasa malu karena tidak bisa berbuat apa-apa, tapi tidak lama kemudian saya kembali ke kehidupan saya semula: bercengkerama dengan kawan-kawan lewat media sosial yang sama yang memberitakan tragedi kemanusiaan tersebut. Ini persis seperti yang diterangkan Susan Sontag dalam bukunya “Regarding The Pain of Others”.
Pembantaian massal sudah dan akan selalu menjadi membayangi umat manusia. Selain penindasan, peperangan, kelaparan dan wabah penyakit, pembantaian massal adalah salah satu hantu peradaban kita. Dari paparan di atas, setidak kita bisa memahami cara kerja dan cara berpikirnya. Saya tidak tahu bagaimana menjawab masalah ini. Selama masih ada perang, pembantaian massal pasti masih akan terjadi. Beberapa tokoh terkemuka dari berbagai bidang tidak henti-hentinya membuat pidato yang mencerahkan dan memberi harapan tetapi pembantaian massal masih tetap terjadi juga. Saya tahu ini akan bernada muram tapi saya ingat sebuah siaran pengetahuan yang saya lihat di televisi dulu, mungkin siaran National Geographic, saya agak lupa. Siaran itu memberi ilustrasi suatu masa jutaan tahun yang lalu saat manusia setengah kera hidup berkelompok-kelompok, menyebar di pedataran luas Afrika. Ada suatu kelompok yang mempelajari bahwa ada cara lain untuk bisa makan selain berburu dan mengumpulkan makanan, yaitu dengan merebut makanan dari kelompok lain. Maka kelompok ini membawa senjata ala kadarnya dan membuntuti kelompok manusia-kera lain. Saat yang dibuntuti sedang lengah dan beristirahat di gua-gua, kelompok manusia kera pemburu ini menyerang dan membunuh lalu merebut makanannya. Kelompok pemburu ini kemudian berkembang menjadi Homo Sapiens dan satu-satunya spesies dari genus Homo yang bertahan hidup sampai sekarang.