Lebaran tahun ini berbeda bagi saya, Fini dan Caka. Tidak ada kumpul-kumpul dengan keluarga besar, tidak ada makanan khas hari raya, tidak ada baju dan sepatu baru. Keluarga ada, tapi jauh. Makanan ada, tapi tidak ada yang terlalu istimewa. Baju dan sepatu baru, ya nanti saja kalau sudah perlu baru dibeli. Sisanya hanya kami bertiga di tempat baru dalam bab kehidupan kami yang baru. Rumah kami memang agak sepi karena teman-teman Caka yang setiap hari main di rumah kami sedang mudik ke rumah kakek-neneknya. Dari lima rumah di deretan jalan tempat kami tinggal, hanya rumah kami yang berpenghuni, sisanya mudik beberapa hari sampai seminggu lagi. Tapi lepas dari itu, tidak ada yang berbeda dengan hari-hari lainnya.
Awal tahun 2000-an, saya menghabiskan waktu dua kali Lebaran di Amsterdam tapi saya tidak ingat lagi apa yang saya lakukan. Yang jelas, Lebaran di Belanda berjalan seperti biasa, tidak ada perayaan apapun kecuali bagi mereka yang mau berkunjung ke KBRI di Den Haag. Tahun 2003 kebetulan saya sedang di Jepang, ikut residency selama tiga bulan di Moriya. Hari pertama Lebaran saya harus bangun dan pergi jam 7 pagi, naik sepeda sambil kehujanan dan bersiap-siap soalnya adashooting tentang program residency kami, dibuat oleh stasiun tv setempat. Hari-hari tersebut saya habiskan bersama teman, saya bahkan tidak ingat lebih rinci lagi.
Tapi Lebaran tahun ini, walaupun tidak bersama keluarga besar, saya bisa tetap berkumpul dengan keluarga saya sendiri. Mungkin hari ini atau besok, keluarga kecil kami akan ‘bertatap-muka’ dengan keluarga di Bandung lewat internet. Bagi keluarga besar saya, Lebaran tahun ini bisa disebut sepi karena saya ada di Ungaran dan adik saya yang bungsu masih di Sydney. Saya dan Fini tidak ada masalah ber-Lebaran jauh dari keluarga besar, toh berkumpul bisa kapan saja. Di rumah saya tidak ada suasana Lebaran sama sekali bahkan bagi saya, musim liburan ini adalah saatnya bekerja. Ini sama sekali tidak heroik, saya semata-mata sedang berusaha mengejar ketinggalan saya karena pindah rumah kemarin, itu sangat menyita waktu dan perhatian. Saya menyukai situasi ini, setidaknya saya tidak perlu menghadapi formalitas Lebaran.
Saya selalu bertanya-tanya apa makna Lebaran? Saling memaafkan, terutama dengan orang yang tidak saya kenal atau teman yang jarang bertemu. Apa urusannya? Maaf-memaafkan nampaknya hanya relevan bagi orang-orang yang dicintai atau dibenci, lain dari itu tidak. Memaafkan berarti memahami. Ada yang sudah saya pahami, ada juga yang belum. Saya mengakui untuk beberapa hal, karena ego saya, saya merasa tidak perlu memahami. Tapi saya tidak bisa membaca pikiran atau mengetahui perasaan orang lain, apalagi yang tidak terlalu saya kenal. Jadi biarlah soal memahami ini berjalan secara alami, kalau saya belum paham sekarang, barangkali nanti. Dan begitu pun sebaliknya, kalau orang lain belum memahami saya, ya biar saja, barangkali nanti.