Kalau dipikir-pikir, baru (hampir) tiga bulan lamanya saya benar-benar jadi kepala keluarga dalam arti sesungguhnya. Seperti layaknya anak di keluarga yang kekerabatannya kuat, saya baru meninggalkan rumah orangtua saya pada usia “tua”. Pada waktu itu tahun 1997, usia saya 24 tahun dan sedang akan memulai Tugas Akhir saya. Walaupun masih sama-sama tinggal di Bandung dengan orangtua, saya memutuskan untuk menyewa kamar di rumah indekoost pertama saya di Jl. Cilaki 36, Bandung. Orangtua saya keheranan, untuk apa kost kalau punya orangtua di Bandung? Jawaban saya, “Mau belajar mandiri.” Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk mengetahui bahwa mandiri itu mudah dibayangkan tapi sulit diterapkan. Tapi kebetulan waktu itu saya sudah mulai dapat pendapatan tetap dengan mengajar privat seni rupa dan semenjak itu saya jadi anak kost lama sekali.
Saya jadi anak kost sampai tahun 2010, 13 tahun lamanya melalui berbagai suka-duka. Tapi anak kost tetap anak kost, tanggung jawabnya tidak besar. Asal bayaran sewa dibayar dengan baik setiap bulan berarti tidak ada masalah. Baru pada saat saya mulai mengontrak rumah sendiri di Bandung sesudah menikah saya menyadari bahwa menghuni rumah sendiri berarti harus berhadapan dengan berbagai macam masalah domestik seperti urusan asisten rumah tangga, urusan air, listrik, sampah, iuran kebersihan-keamanan, para telemarketter yang selalu membuat telepon sibuk, orang yang berusaha menawarkan barang apa saja yang selalu datang ke rumah, sampai pengemis dan tukang tipu.
Tapi di Bandung ada Papa saya. Papa saya adalah orang paling baik sedunia yang selalu punya waktu untuk membantu semua masalah di rumah. Saat aliran air tidak lancar, Papa merancangkan sistem penyimpanan air di belakang rumah. Sepeda motor selalu menetes-netes bocor, Papa yang membawanya ke bengkel. Mobil bermasalah, Papa yang akan mengkontak bengkel dan mengurusnya sampai selesai. Belum lagi urusan pajak yang birokrasinya begitu rumit untuk ukuran orang tidak sabaran seperti saya, termasuk juga memperpanjang STNK, itu semua diurus Papa. Pokoknya semua urusan selalu dibantu Papa. Masih belum cukup, masih ada asisten yang bisa membantu banyak hal terutama yang berkaitan dengan mobilitas, saya bisa tinggal di rumah, tidak kehujanan-kepanasan. Saya tahu saya beruntung di satu sisi namun saya juga menyadari di sisi lain saya jadi manja.
Baru sesudah pindah ke Ungaran inilah, di mana kami tinggal jadi sebuah keluarga mandiri yang jauh dari saudara dan keluarga, saya merasa tanggung-jawab yang lebih besar ada di tangan saya. Aqua galon dan gas untuk memasak habis, saya harus langsung menggantinya. Air bersih di RT kami macet, saya mencari jerigen air dan mengangkut airnya sendiri ke dalam rumah. Belanja, masak, membersihkan, merapikan dan menata rumah, memperbaiki sepeda motor dan mobil, urusan listrik, pasang telepon, internet, WiFi, mengganti lampu putus, memasang pompa air, memasang saringan air dan sebagainya sekarang harus diurus sendiri. Dan astaga, urusan domestik sungguh tidak ada habisnya!
Tapi semua itu ada berkatnya. Saya jadi kenal Mbak Tiwi dan Mas Sugeng, sekretaris dan montir di bengkel Suzuki Ungaran. Saya kenal Pak Khoirul, penjual buah-buahan, Ibu Sop penjual makanan di warung dekat kompleks, Mbak Retno karyawan Alphamart, tukang tambal ban, tukang ojek, mbak-mbak di toko besi, satpam kolam renang, dan sebagainya. Perlahan-lahan jaringan sumber daya saya mulai meluas, saya jadi kenal banyak orang, tahu informasi tentang ketersediaan barang, sedikit-sedikit tahu cara bongkar-pasang barang. Sebetulnya saya belum benar-benar mandiri, kalau ada masalah yang saya tidak mengerti saya masih telepon Papa untuk bertanya. Namun setidaknya, di garis depan hanya ada saya sendiri, Papa seperti komandan di markas batalion.
Yah, jadi seorang ayah dan suami memang bukan hanya harus mencari nafkah saja, tapi juga harus bisa jadi kuli yang bisa mengangkat barang yang berat-berat, jadi sopir untuk mengantar anak-istri belanja dan jalan-jalan, jadi tukang masak amatiran kalau Fini sedang repot mengurus Caka, jadi montir gadungan kalau ada masalah otomotif sederhana (kalau rumit sedikit saja harus bawa ke bengkel) dan jadi tukang untuk mengakali ini-itu di rumah supaya urusan apa saja jadi lancar. Saya jadi ingat Papa. Papa adalah jenis orang yang ‘apa saja bisa’, yang tangannya terampil mengutak-atik apa saja di rumah. Barangkali Papa juga begini dulu. Saya jadi sering melamun-lamun menjelang tidur atau sehabis makan siang di studio, misalnya, ‘Saluran air yang tersumbat itu harus diapakan? Kalau dipasang pompa, bisakah didorong dari kran di dalam rumah supaya sumbatannya hilang? Tapi perlu selang yang seperti apa? Bagaimana cara menyambungnya ke pompa?’ dan sebagainya dan sebagainya. Ini jelas lamunan seorang kepala keluarga, sangat berbeda dengan lamunan saya waktu masih bujangan dan jadi anak kost yang tidak pernah berhadapan dengan masalah-masalah domestik, kerjanya malah melamunkan yang bukan-bukan.