Pernahkah Anda melihat karya seni, misalnya sebuah lukisan, yang begitu ‘rumit’ dan ‘tidak bisa dinikmati’ sekuat apapun Anda berusaha? Sering sekali kita mendengar ungkapan, “Saya tidak mengerti karya ini.” atau “Katanya seniman, kenapa membuat karya seperti ini?” Sebagai contoh, lihatlah karya di atas. Karya itu adalah lukisan di atas kanvas berjudul “Ferragosto I” dibuat oleh salah satu ‘dewa’ seni lukis modern, Edwin Parker Twombly, Jr. yang lebih dikenal dengan nama ‘Cy Twombly’, pada tahun 1961. Karya ini adalah salah satu dari banyak lukisan dalam seri yang sama. Twombly adalah seniman Amerika yang lahir pada tahun 1928 dan meninggal dunia pada tahun 2011 lalu.
Karya-karya Twombly yang berupa coret-moret yang bahkan lebih ‘ngawur’ daripada lukisan anak-anak kita itu, sungguh mengejutkan, paling murah berharga 47,9 miliar rupiah dalam hitungan kurs saat ini. Lukisannya memang besar-besar, ukurannya bisa mencapai 4 atau 5 meter dan biasanya dipajang di museum. Tapi 47,9 miliar rupiah? Paling murah harganya segitu? Gila, apa?! Dan mohon diingat, itu adalah harga yang tertera dalam daftar 10 seniman termahal yang masih hidup beberapa tahun lalu. Fakta bahwa Twombly sudah meninggal hanya akan menaikkan lagi harganya berkali-kali lipat, sama seperti karya-karya Lucian Freud, salah satu seniman kesukaan saya.
Twombly adalah salah satu dari 10 seniman yang harga lukisannya paling mahal di dunia saat ini. Mengetahui hal ini, tentu saja kita bertanya-tanya, “Apa bagusnya lukisan coret-moret seperti itu sampai harganya begitu mahal? Apa senimannya sudah gila? Dan yang lebih gila lagi, kenapa ada yang mau membayar semahal itu? Anak saya juga bisa bikin. Mungkin bisa lebih bagus.”
Saat datang ke pameran seni rupa lalu melihat karya-karya yang dihadirkan, jangankan melihat karya Twombly yang lahir dan besar dalam waktu dan budaya yang berbeda dengan kita, melihat karya teman sendiri yang satu kampus pun kadang-kadang kita merasa ‘tersesat’. Sulit memahaminya, minimal dibutuhkan usaha ekstra. Hanya saja, karya seni adalah puncak dari sebuah gunung es. Apa yang dipajang di galeri, yang nampak di mata kita betul-betul hanya permukaannya saja atau lebih tepatnya merupakan ‘pintu’ untuk masuk ke dalam dunia sang seniman. Seperti pintu menuju Wonderland tempat Alice masuk ke dalam dan menemukan dunia ajaib di bawah sana.
Mengatakan sebuah karya seni ‘tidak bisa dimengerti‘ dan hanya berhenti sampai di situ sama saja dengan mengatakan, ‘Rumah ini jelek‘ hanya dengan melihat pintu gerbangnya saja. Mungkin ‘pintu gerbang‘ itu memang terlihat jelek, kotor, tidak terawat dan karatan, dipenuhi tanaman rambat yang tidak terpelihara bertahun-tahun. Tapi kalau kita tidak ‘membuka pintu itu‘ dan masuk ke dalam rumahnya, tidak melihat semua isinya dan pada akhirnya bertemu dan berbincang-bincang dengan si empunya rumahnya, mendengarkan apa yang dia pikirkan dan apa yang telah dia lakukan untuk membangun rumahnya: kita akan ‘tersesat’ dan tidak memahami apa-apa saat melihat karyanya.
Menurut saya, mempertanyakan ‘apa makna sebuah karya’ tanpa menyelidiki ‘siapa seniman yang menciptakannya’ sama seperti ‘memisahkan anak dari ibunya’. Bila kita memang tertarik untuk memahami suatu karya, kita harus mempelajari senimannya, melihat karya-karya lain yang pernah dihasilkan dan melihat perkembangan kekaryaannya dari awal sampai akhir, membaca wawancara atau tulisan-tulisan dari katalog pameran, koran, majalah, laman-laman internet atau bahkan bila tersedia, menonton film dokumenter tentang seniman tersebut. Bila memungkinkan, melakukan wawancara langsung atau sekedar mengobrol sambil minum kopi dengan senimannya bisa menjadi sebuah pengalaman yang berharga.
Kalau sedang senggang, cobalah mampir ke situs resmi Cy Twombly dihttp://www.cytwombly.info. Isinya ditata dengan sederhana tapi apik, cobalah mampir ke laman galerinya, isinya lebih sederhana lagi. Hanya informasi kronologis berupa gambar yang menjelaskan perkembangan karya Twombly sejak tahun 1951 hingga setahun menjelang kematiannya, tahun 2010.
Saya setuju lukisan Twombly jelek, walaupun ‘jelek’ dan ‘bagus’ masih bisa diperdebatkan. Tapi coba lihat, dari tahun 1951 sampai 2010 Twombly aktif berkarya. Itu sebuah rentang waktu 59 tahun! Itu masa bhakti yang jauh lebih panjang daripada masa bhakti seorang pegawai negeri di Indonesia. Buat seniman tidak ada kata pensiun, dia berhenti berkarya hanya kalau sakit atau mati dan itulah yang Twombly lakukan.
Karyanya memang cuma coret-moret, tapi itu dia lakukan dengan konsisten selama 59 tahun. Mencari dan mencoba, menggugurkan temuannya sendiri untuk menemukan hal yang baru lagi. Dan dia melakukan itu tidak disambi, dia tidak mengerjakan hal yang lain lagi, hanya berkarya, berkarya dan berkarya. Kalau karya-karyanya sudah mulai diterima di masyarakat dan dia bisa hidup dari karyanya, itu bisa dimengerti. Tapi bagaimana dengan saat awal ketika dia baru memulai? Saat lukisannya belum banyak dilihat orang, saat belum ada seorang kolektor pun yang tahu siapa Twombly? Menurut saya itu membutuhkan keberanian dan keyakinan luar biasa.
Dan Twombly hadir ke dunia seni rupa modern dengan membawa karya yang mengaburkan batasan antara seni gambar yang konstruktif dengan seni lukis yang imajinatif. Praktik kekaryaan yang dilakukan Twombly begitu unik sehingga sulit didefinisikan bila hanya membandingkannya dengan praktik-praktik yang sedang ‘hot’ pada masanya: abstrak ekspresionisme, pop art dan minimalisme. Dalam peta dunia seni rupa yang sudah demikian kompleks pada tahun-tahun itu, Twombly begitu saja hadir dan membubuhkan ‘titik merah kecil’ pada peta tersebut. Ia membuat sebuah ‘desa‘ kecil dalam peta tersebut. Inilah ‘desa Twombly’! 10-20 tahun kemudian, ‘desa‘ itu membesar jadi ‘Twombly Town‘, dan sesudah hampir 40 tahun kemudian, saat ia meninggal, ‘titik merah’ di peta itu sudah menjadi sebuah kota besar dan masyarakat seni rupa dunia pergi untuk ‘singgah’ di sana.
Apa yang dilakukan Twombly dengan karya-karyanya telah mengejutkan dunia seni rupa. Karya-karya Twombly telah membuat begitu banyak kening berkerut, membuat para kritisi seni rupa terpaksa membuka-buka buku yang tidak biasa mereka buka, membincangkannya dalam diskusi-diskusi, melakukan wawancara dan meneliti apa yang dikatakannya. Secara tidak langsung, praktik kekaryaan Twombly telah memperluas cakrawala berpikir dunia seni rupa. Karya Twombly barangkali memang tidak bagus untuk citarasa orang kebanyakan, tetapi apa yang dia lakukan penting untuk dunia seni rupa. Apa yang ia lakukan telah mendorong pemahaman dunia seni rupa menjadi lebih luas lagi. Butuh 59 tahun untuk melakukan itu semua.
Kembali ke ‘pintu‘ tadi. Bila kita berhadapan dengan karya Twombly, kita sedang berada di depan sebuah ‘pintu gerbang’. Hanya bila kita membuka pintu itu sajalah, kita akan bisa menyelami dunia pikiran Twombly. Kita akan menemukan bahwa di balik pintu itu bukan hanya ada ‘taman‘ dan ‘rumah‘ tapi ada sebuah ‘kota besar’. Selamat datang di Twombly City! Di sinilah tempat di mana pensil yang biasanya digunakan untuk mengkontruksi bentuk justru dipakai untuk menghancurkannya. Di sini lukisan cat minyak yang biasanya dibuat untuk merayakan keindahan justru diacak-acak sampai ke titik yang paling ekstrim, semata-mata hanya untuk memaksa kita mencari, apakah masih ada secoret keindahan di sana? Dan ternyata tidak, tidak ada keindahan di sini. Dengan begitu kita kemudian jadi terpaksa bertanya pada diri sendiri, masih relevankah kita mengais-ais keindahan saat kita melihat karya seni? Di kota ini lukisan tidak dibuat untuk merayakan keindahan tetapi merajut ingatan. Di kota ini pelukisnya tidak sedang melukis namun justru ‘menulis’. Kota ini lain sekali dengan kota-kota yang biasa kita kunjungi karena ini adalah ‘Twombly City’.
Maka demikianlah Cy Twombly membangun ‘kotanya‘ setahap demi setahap, bata demi bata, sendirian selama 59 tahun sampai usia tidak mengijinkannya. Hal tersebut, bila kita renungkan dalam-dalam, adalah sebuah tindakan yang sangat berani, penuh keyakinan sekaligus kepasrahan. Bisa kita bayangkan, betapa besar cinta Twombly pada karya-karyanya, pada ‘kota yang dibangunnya‘ sampai ia memutuskan untuk menghabiskan seluruh waktu hidupnya untuk satu tujuan itu. Itu adalah sebuah act of faith. Itu adalah sebuah tindakan yang, pada akhirnya, sangat spiritual.
Jadi, ya, memang anak saya atau anak Anda mungkin bisa membuat lukisan yang lebih bagus daripada karya Twombly. Saya setuju. Tapi apakah anak-anak kita mampu memiliki keyakinan diri sebesar Twombly lalu menghabiskan seluruh hidupnya, 59 tahun, tidak mengerjakan hal lain dan benar-benar percaya pada apa yang dilakukannya? Entahlah, tapi saya sungguh-sungguh berharap anak-anak kita bisa seperti itu, apapun jalan hidup yang mereka pilih.