Saya bahkan sudah lupa namanya, seingat saya dia tinggal di Garut. Sepupu lelaki kurus yang pendiam itu pernah tinggal dua tahun saat kuliah di Bandung, menumpang di rumah Jenny, tetangga di depan rumah kontrakan kami di Bandung dulu. Jenny menceritakan bahwa selama menumpang di rumahnya, sepupunya itu sangat pendiam dan tertutup. Ia tidak pernah bicara bila tidak perlu. Ia pergi kuliah lalu begitu pulang ia masuk ke kamarnya, mengunci pintu, hanya keluar kamar saat makan dan ke kamar mandi. Begitu terus selama dia kuliah dan sampai akhirnya ia meninggalkan rumah itu. Sesudah lama sekali, bertahun-tahun tidak ada kabar, tiba-tiba ia datang kembali ke rumah Jenny dan mengeluh tentang hidupnya yang sulit, ditolak keluarga sendiri, bisnisnya berantakan, ditinggal anak-istri, dimusuhi mertuanya, temannya hanya seekor anjing, rumahnya kebanjiran dan barang-barangnya hancur semua, ia juga terlilit hutang berat dalam jumlah besar. Ia terlihat stres sekali. Ia datang dari pagi sampai sore, minum kopi sampai lima cangkir, makan sampai dua kali, ternyata ia nyaris tidak punya uang sama sekali.
Ia pulang hari itu tapi keesokan harinya ia datang lagi. Ia memaksa Jenny untuk menyerahkan hp, mesin jahit bahkan televisi untuk dia jual. Ia memaksa untuk pinjam uang dalam jumlah besar tapi Jenny bilang ia tidak punya uang sebanyak itu. Jenny pergi 10 menit ke luar rumah untuk bertemu temannya dan ketika ia kembali, Alvin anaknya sudah dicekik sampai BAB di celana, Alvin sudah hampir mati. Mengetahui Jenny datang, ia melepaskan Alvin dan tiba-tiba menyerang dan menghajar Jenny habis-habisan. Sambil menghajar dia berteriak-teriak bilang ingin mati, dia bilang kalau hutangnya tidak dibayar ia akan dibunuh.
Di rumah itu hanya ada Jenny (35 tahun), Alvin (9 tahun) dan Oma (nenek yang sudah uzur dan setengah tuli). Jenny melawan mati-matian dan akhirnya bisa melepaskan diri keluar rumah dan menelepon suaminya. Pak Ikim, suami Jenny, datang seperti kesetanan dan minta bantuan saya yang sedang menyiapkan karya untuk dikirim ke Surabaya. Waktu saya lihat ke dalam rumah, Jenny sudah duduk bersimbah darah di lantai kamarnya, Alvin babak belur dan berdarah wajahnya. Si keponakan katanya terjebak di halaman belakang, mungkin sudah kabur lewatbrandgang. Saya mengantar mereka ke rumah sakit Borromeus dan mobil jadi bau amis darah.
Ketika saya pulang ke rumah, Jl. Panaitan sudah penuh dengan mobil polisi, masyarakat dan wartawan. Saya harus parkir jauh di sebelah restoran Ayam Panaitan. Si keponakan yang stres ternyata sudah mati menjerat lehernya sendiri dengan kabel antena televisi di halaman belakang rumah. Akhirnya saya jadi masuk tv, koran dan laman berita di internet karena diwawancara oleh para wartawan dan saya harus memberikan kesaksian dan diwawancara polisi untuk berita acara. Pak Ikim diperiksa polisi sampai berbulan-bulan sesudahnya. Betul-betul merepotkan. Itu terjadi tahun 2010 di Bandung.
Dua tahun kemudian di Ungaran, karena saya tidak berlangganan koran, iseng-iseng saya membeli koran Kompas edisi Senin, 8 Oktober 2012 saat saya berhenti di perempatan jalan menuju ke studio pada pagi hari. Halaman depannya berisi artikel yang sangat menarik perhatian saya, sebuah laporan dari WHO tentang sebuah proyeksi beban penyakit global yang bergeser peringkatnya dari tahun 1990 ke tahun 2020. Siapa yang menyangka bahwa data ini menyatakan secara tidak langsung bahwa masyarakat dunia saat ini semakin tidak bahagia dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu? Inilah daftar peringkat dalam proyeksi WHO:
Major depressive disorder, reccurent depressive disorder, clinical depression, major depression, unipolar depression atau unipolar disorder, adalah banyak nama untuk menerangkan sebuah tingkat stres berkepanjangan yang menggerogoti mental penderitanya. Dalam unggahan ini saya memilih menggunakan nama ‘depresi unipolar’ seperti artikel di koran Kompas (selanjutnya disingkat DU). Sementara depresi bipolar adalah sebuah depresi kronis yang membutuhkan penanganan profesional secepatnya karena orangnya bisa jadi gila betulan, DU relatif tidak terlalu dihiraukan karena tidak dianggap serius, padahal WHO memberikan data bahwa 350 juta warga dunia saat ini mengalaminya. Karena tidak dianggap serius, WHO menyebut DU sebagai silent epidemics dan pada tahun 2020 posisinya akan merebut peringkat kedua penyebab kematian utama masyarakat dunia. 80% pelaku bunuh diri yang berhasil mengalami DU terlebih dahulu. Mereka yang mengalami DU namun tidak bunuh diri bisa mengalami berbagai macam penyakit mematikan lain yang asal-usulnya disebabkan dari depresi. Ini sesuai dengan naskah kuno Vedanta yang mengatakan bahwa kebahagiaan adalah unsur utama kesehatan tubuh manusia. Maka World Federation of Mental Health pun menetapkan tema Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (10 Oktober) dengan tema: “Depresi: Suatu Krisis Global”.
Penderita DU mengalami kesedihan, kecemasan, rasa bersalah, kemarahan, isolasi diri, perasaan putus-asa, bermasalah dengan tidur dan nafsu makan, keletihan fisik, tidak tertarik pada hal-hal yang dulu disukai, tidak mampu berkonsentrasi, kesepian, rasa muak pada diri sendiri, rasa malu dan menarik diri dari lingkungan sosial, mudah tersinggung, rasa nyeri pada bagian tubuh tertentu tanpa penyebab yang jelas, kehilangan motivasi dan mulai memikirkan untuk bunuh diri. Pada kasus depresi bipolar, saudara depresi unipolar yang lebih berbahaya, penderitanya rata-rata mengalami fase DU terlebih dahulu kemudian gejalanya meningkat menjadi lebih ekstrim lagi. Ini tidak akan dibahas di sini namun bila Anda tertarik, Anda bisa melihat artikelnya di sini.
Saya pernah mendengar sebuah analogi, stres itu seperti mengangkat sekaleng Coca-Cola. Tidak berat memang, namun cara orang menangani stres berbeda-beda, ada yang memegang selama beberapa menit lalu segera diturunkan, ada yang 24 jam penuh tidak diturun-turunkan. Orang yang terakhir harus dibawa ke rumah sakit, lengannya kejang, ia tidak mampu bekerja secara normal, otaknya tidak bisa memikirkan hal yang lain karena lengannya sangat nyeri, bahkan bila rasa sakitnya memuncak, ia sudah bukan lagi dirinya yang asli. Stres yang terakumulasi menyebabkan depresi dan depresi ibarat memegang sekaleng Coca-Cola dan tidak mampu menurunkannya. Bayangkan penderitaan yang bisa ditimbulkan ‘sekaleng Coca-Cola’ bila kita tidak menyadari masalahnya.
Baru-baru ini lagi-lagi kita mendengar tentang seorang siswa SMU tewas di Jakarta karena tawuran, lalu tidak lama kemudian dua orang mahasiswa tewas karena tawuran antar-fakultas di Makassar. Kemarin malam Fini, istri saya, bercerita tentang seorang model yang hanya mengenakan pakaian dalam, kelihatannya stres berat lalu menabrak tujuh orang hingga tewas di Jakarta. Dalam artikel Kompas disebutkan bahwa, “Maraknya kasus bunuh diri, tawuran, kekerasan dalam rumah tangga, kesurupan, trauma akibat bencana, hingga meluasnya penggunaan narkoba sebagai coping mechanism untuk pelarian dari tekanan jiwa, menunjukkan depresi individual maupun massal serta yang terselubung makin serius di Indonesia. Manifestasinya, makin banyak orang yang mudah tersinggung, mengamuk dan kian agresif. Atau sebaliknya, menjadi mudah menyerah dan mengambil jalan pintas dengan bunuh diri.” papar Nalini Muhdi, psikiater sosial Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Secara khusus koran Kompas membuat liputan tentang kasus-kasus bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Gunung Kidul, DIY, yang merupakan daerah dengan tingkat bunuh diri tertinggi di Indonesia.
Depresi harus diwaspadai, masyarakat seyogyanya mengenali gejala-gejalanya supaya bisa dilakukan penanganan sejak dini baik oleh profesional maupun oleh diri sendiri karena depresi bisa menyerang siapa saja, tidak peduli usianya. Dalam kesempatan yang lain Guru Besar Psikologi Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta, Irwanto, menyebutkan bahwa, “Orang yang mengalami gangguan emosional cepat mengambil tindakan kekerasan. Hal ini memicu gangguan kecemasan dan menjadi tanda awal depresi yang dapat menjadi keadaan patologis jika berlanjut.” Saya yakin, maksud Beliau dengan ‘keadaan patologis’ di sini adalah depresi bipolar yang jauh lebih berbahaya, yang dapat membahayakan jiwa orang lain maupun diri sendiri. Menurut data Kementrian Kesehatan Indonesia, sekitar 11,6% remaja berusia 15 tahun ke bawah atau sekitar 19 juta remaja mengalami gangguan mental-emosional berupa kecemasan dan depresi pada tahun 2007 sementara gangguan jiwa berat menimpa rata-rata 0,46% atau sekitar 1 juta penduduk Indonesia.
Walaupun diragukan oleh A. Prajitno, Guru Besar Emeritus Psikiatri Universitas Trisakti dalam Simposium Nasional Bunuh Diri di Surabaya, April 2009, apa yang dipaparkan oleh Benedetto Saraceno, Direktur Departemen Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Substansi WHO, pada tahun 2005 cukup mengejutkan. Ia menyatakan bahwa tingkat bunuh diri di Indonesia adalah 24 kasus bunuh diri per 100.000 penduduk per tahun. Bila diasumsikan penduduk Indonesia berjumlah 220 juta jiwa, itu berarti ada 50.000 kasus bunuh diri per tahun. Menanggapi hal itu, A. Prajitno menyatakan bahwa jumlah itu terlalu tinggi, “Angkanya begitu tinggi karena ada depresi massal di Aceh pasca tsunami akhir 2004. Di Gunung Kidul, angka bunuh diri tinggi, 9:100.000 penduduk. Hal ini karena selama tiga dekade terakhir ada yang merasa tertinggal oleh laju pembangunan. Angka bunuh diri di Jakarta lebih rendah daripada di Gunung Kidul, 5,8:100.000 orang tahun 1995-2004.”
Saya jadi sangat tertarik dengan artikel dan isu ini karena saya pribadi pernah mengalami DU, saya baru menyadari bahwa apa yang saya alami ada terminologinya. Walaupun saya tidak merasa perlu memaparkan masalah-masalah pribadi saya di sini, saya mengalami depresi cukup lama dan ciri-ciri DU yang saya tulis di atas nyaris semuanya saya alami dan rasakan, termasuk ingin bunuh diri. Saya mengalami depresi sampai ke tahap saya menyadari bahwa hal ini serius dan saya akhirnya mulai mencari informasi konseling. Saya memang mendapatkan beberapa informasi yang saya butuhkan, saya mulai membuat kontak telepon untuk menanyakan ini-itu tapi belum membuat janji konseling. Saya juga sudah agak lupa kenapa saya tidak membuat janji konseling saat itu namun akhirnya karena aksi dan konsekuensi, situasi dan kondisi tertentu, saya merasa bisa keluar dari situasi sulit tersebut. Saya dibantu oleh orang-orang tercinta di sekeliling saya dan sampai sekarang saya berterima kasih pada mereka.
Namun bagaimanapun, kelihatannya dampak hal itu cukup besar buat saya sehingga sejak akhir tahun 2009, saya mulai mengalihkan tema karya saya pada ‘kecemasan’. Saya kira ini adalah sebuah ikhtiar untuk memahami diri saya sendiri. Dalam kekaryaan, yang saya maksud tentu saja kecemasan pribadi saya namun pada tataran tertentu saya juga menyadari bahwa kecemasan dan depresi bisa menyerang masyarakat luas secara bersamaan, karena itu tema ini berujung pada presentasi karya saya ’99 Wajah’ di Jakarta Biennale XIV, bulan Desember 2011 di Galeri Nasional, Jakarta, yang menggambarkan social anxiety.
Kita semua punya masalah, itu sudah pasti. Anehnya, walaupun ada seribu satu masalah yang berbeda, mereka yang dilanda DU menunjukkan gejala yang sama. DU tidak membedakan sasaran berdasarkan jenis kelaminnya, rasnya, kewarganegaraannya, agamanya, latar-belakang pendidikannya, usianya atau kondisi ekonominya. Ini aneh, lho. Kenapa masalah yang sangat berbeda dari satu orang ke orang lain bisa menyebabkan gejala yang serupa. Saya kira ini memberikan sedikit gambaran bahwa kita, manusia, memiliki sebuah mekanisme alamiah yang khas dalam menghadapi stres dan depresi, walaupun ini berbau Cartesian-Newtonian. Ternyata walaupun umat manusia adalah insan yang unik dan berbeda-beda, kita tetap merasakan emosi-emosi mendasarnya yang sama.
Saya jadi ingat lagi soal keponakan Jenny yang mengalami depresi berat dan hampir membunuh Alvin dan Jenny di rumahnya sendiri. Kejadian itu takkan terlupakan selama hidup saya, saya belum pernah mengalami hal seperti itu dan saya harap tidak perlu terjadi lagi. Saya kira observasi saya tentang kecemasan dalam kaitannya dengan karya saya belum selesai dan saya senang mendapatkan sedikit gambaran tentang apa yang sebenarnya sedang ingin saya ketahui. Saya kira ada baiknya kita memahami masalah ini dengan mengetahui gejalanya karena sadar atau tidak, kita sedang dan selalu diintai kecemasan kita sendiri.
Pingback: Tolong! Anak Saya Ingin Jadi Seniman! (bagian pertama dari dua bagian) | Cakrawala Hartanto