Seperti begitu banyak insan lain, saya adalah penggemar film. Karena saya tidak terlalu suka keluyuran di luar rumah, saya rela-rela saja liburan sampai berhari-hari di rumah untuk menonton film. Saya juga senang baca buku dan kebanyakan buku-buku fiksi. Sejak kecil saya senang baca dongeng. Kalau habis terima raport, Papa Mama mengajak kami ke Gramedia untuk membeli buku cerita banyak sekali dan saya akan membacanya dengan asyik pada saat liburan. Sampai sekarang, kegemaran akan kisah, dongeng dan cerita tidak pernah hilang. Karena itu saya suka pada sejarah, buku-buku non-fiksi di daftar pustaka pribadi saya biasanya bertema sejarah. Walaupun sejarah seringkali bisa digugat dan dipertanyakan obyektivitasnya, bagi saya ia tetap sebuah dongeng, sebuah kisah yang seringkali menarik untuk dibaca. Saya kira inilah yang menyebabkan karya-karya saya, tidak peduli apa teknik dan medianya, senantiasa berkisah. Karya saya adalah perpanjangan semua kisah yang pernah saya baca, saya dengar atau saya tonton, dilapis dengan kisah-kisah rekaan, dicampur dengan kisah saya sendiri dan diberi sedikit sentuhan faktual supaya kesannya obyektif, padahal tidak. Jadi dalam berkarya, tujuan saya bukan memaparkan kisah seakurat dan seobyektif mungkin tetapi membuat sebuah kisah bisa dituturkan semenarik mungkin.
Tapi saya lihat, dimulai dari saat kita anak-anak, kita sudah disuguhi berbagai macam kisah dengan narasi hitam-putih. Ada Si Baik, ada Si Jahat, sependek apapun kisahnya, pola ceritanya pasti: Si Jahat berusaha mengalahkan Si Baik sehingga Si Baik mengalami banyak kesulitan, tapi pada akhirnya Si Baiklah yang menang. Kisah selalu punya happy ending. Dan saya tidak protes. Saya senang-senang saja membaca, menonton atau mendengar kisah-kisah seperti itu terus sampai saat saya dewasa. Saya perhatikan, hanya ada sedikit sekali film yang tidak berakhir bahagia dan bila akhirnya tidak bahagia, penonton jadi sedih dan kecewa. Saya kira ada sebuah psikologi sederhana dalam aksi tonton-menonton ini: bila sejak awal kita, penonton, diarahkan untuk melihat perbedaan antara Si Baik dan Si Jahat, kita jelas akan memihak Si Baik. Ini menyebabkan kita bersimpati pada Si Baik dan Si Baik ‘harus menang’. Bila Si Baik menang, kisah berakhir bahagia. Bila Si Baik kalah, kisah berakhir dengan sedih. Tapi bila sejak awal kita melihat bahwa Si Baik ternyata tidak betul-betul baik, misalnya dia suka curang, ternyata dia munafik, dsb, narasinya jadi abu-abu, tidak lagi hitam putih. Si Jahat ternyata kok baik juga, dia dengan tulus membantu orang lain dan mau bicara membela yang lemah, walaupun akhirnya dia jadi ditekan. Pada narasi abu-abu seperti ini, pada akhirnya kita tidak lagi mengidentifikasi para pemain sebagai ‘Si Baik’ dan ‘Si Jahat’ dan kita lebih terbuka pada kemungkinan apa saja di akhir cerita dan kita tidak memerlukan happy ending.
Film, novel, pentas teater, atau kisah dalam bentuk apa saja jarang mengadaptasi narasi dari jenis yang kedua, narasi terbuka, narasi abu-abu. Kebanyakan berasal dari dan menuju narasi yang pertama, narasi yang hitam-putih. Sebetulnya sih menurut saya tidak apa-apa, kalau memang kisahnya disajikan dengan menarik, saya bisa menonton atau membaca dengan asyik. Tapi toh itu tidak membuat saya berhenti bertanya-tanya, apa yang menyebabkan kebanyakan kisah dibuat dengan narasi hitam-putih? Dan ‘banyak’ di sini maksudnya ‘banyak sekali’, lho. Coba perhatikan, barangkali 99% kisah, tidak peduli apa medianya, biasanya bernarasi hitam-putih. Ini aneh sekali, menurut saya. Apa penyebabnya?
Kita lupakan dulu novel dan film-film. Kita lihat contoh yang biasa kita temukan setiap hari yaitu status-status di Facebook. Bagi saya Facebook sangat menarik karena berbeda dengan film di mana saya hanya menonton, di Facebook saya bisa menonton dan ditonton, saya jadi produsen informasi, bukan cuma konsumen, dengan demikian saya punya semacam ‘ilusi kekuasaan’ karena saya bisa membentuk persepsi orang lain. Saya kira inilah yang membuat media sosial jadi diminati oleh masyarakat, entah itu Facebook, Twitter, Instagram, dan sebagainya, tapi kita ambil contoh Facebook, media sosial yang paling akrab dengan saya.
Di Facebook ada berbagai macam jenis orang dengan berbagai macam jenis masalahnya. Facebook itu absurd, kadang-kadang, karena kita bisa ‘blasak-blusuk’ ke dalam kehidupan pribadi orang lain. Kadang-kadang kita tidak perlu berusaha banyak karena si empunya akun sudah dengan terang-terangan memberi tahu hal-hal yang kadang-kadang sangat pribadi. Cobalah perhatikan status-status di Facebook baik yang bernuansa pribadi maupun yang sosial, rata-rata informasinya bernarasi hitam-putih. Kalau ada orang ngomel-ngomel, dia sedang merujuk dirinya sendiri sebagai Si Baik sementara obyek omelan dan protes-protesnya adalah Si Jahat. Ini berlaku untuk omelan yang ditujukan pada individu lain maupun pada konteks yang lebih luas seperti pada sebuah sistem atau pada aparat pemerintah yang, kita semua tahu, memang ditakdirkan untuk menjadi bulan-bulanan kritik sampai hari Kiamat. Status-status di Facebook kebanyakan adalah narasi hitam-putih dan komentar-komentar yang menyahutinya pun biasanya mengamini narasi ini, berpihak pada ‘Si Baik’.
Walaupun Facebook adalah media teknologi, isinya sebenarnya sama dengan ‘status-status’ à la warung kopi atau kafe. Ini serupa dengan keluhan dan curhat kawan kita atau diri kita sendiri. Saat seseorang sedang mencurahkan kegundahan hatinya pada kita, coba perhatikan, biasanya narasinya hitam-putih. Ia sedang merujuk dirinya sendiri sebagai Si Baik dan orang lain sebagai Si Jahat. Bedanya dengan film adalah, dalam kisahnya Si Baiklah yang kalah sehingga kisahnya berakhir menyedihkan. Si penutur perlu didengarkan karena ia membutuhkan ‘pengakuan‘ bahwa ia adalah ‘Si Baik yang didzalimi’. Media-media informasi seperti koran baik dalam format cetak, gelombang maupun digital pun mirip-mirip seperti itu. Narasinya kebanyakan hitam-putih. Tidak peduli ke mana atau pada siapa media informasi berpihak, biasanya isinya ya sama, hitam-putih.
Puncak dari segala puncak narasi hitam-putih adalah sejarah karena sejarah ditulis oleh ‘Sang Pemenang’ yang secara otomatis menjadi ‘Si Baik’. Kedengarannya memang sangat bernuansa politik karena sejarah nasional, misalnya, dilegitimasi sebagai sejarah bangsa tapi sebenarnya tidak juga. Maksudnya bukannya sejarah tidak bernuansa politik tetapi politik bisa menyentuh hal apa saja sampai hal-hal sederhana yang kita temui sehari-hari, tidak hanya sejarah nasional suatu bangsa. Kalau mau diteruskan, banyak sekali contoh di mana kita menemukan bentuk-bentuk narasi hitam-putih seperti ini. Salah satu yang saya sadari adalah kalau saya sedang berkendara di lalu-lintas. Di jalanan kan selalu ada orang yang ‘ngaco’, ya? Berhenti di belokan, bergerak lambat di jalur cepat, memotong lajur tiba-tiba tanpa tanda, dst. Ada jutaan kasus lalu-lintas yang bisa membuat saya, dan kita, kesal. Pada situasi seperti itu, pikiran saya selalu hitam-putih. Yang salah selalu orang lain, saya selalu benar. Yang seperti ini berlaku di mana saja di seluruh dunia, kalau mobil kita disenggol mobil lain dan kita bertengkar mulut, semua jadi jelas. Setiap orang berpikir bahwa dialah yang benar dan orang lainlah yang salah, sementara bagi orang lain yang salah adalah kita.
Jadi saya pikir, ini semua gila. Pola seperti ini ada di mana-mana. Kalau begitu, kembali ke narasi dalam novel, film, dsb itu, apa yang sebenarnya terjadi? Kita semua juga tahu bahwa kehidupan ini tidak hitam-putih, tetapi kenapa narasi yang ada di kepala kita hampir selalu begitu, baik saat kita menciptakan atau mencerap sebuah kisah? Akhirnya saya curiga bahwa ini semua adalah sebuah refleksi perayaan ego. Kita hidup di dunia yang berbasis ego dan ego secara alami bersifat ‘membedakan’ dan ‘memisahkan’. Egolah yang mengidentifikasi diri kita sebagai ‘The Self’ dan yang di luar diri kita sebagai ‘The Other’. Kehidupan memang tidak hitam-putih namun cara kita mencerap, memahami dan bereaksi terhadapnya hampir selalu hitam-putih karena kita mengacu pada ego kita sendiri. Dalam tulisan ini tentu saja saya tidak sedang mengklaim bahwa ini adalah kebenaran satu-satunya yang menjelaskan epistemologi narasi hitam-putih tapi, ya, barangkali ini salah satunya.
Pada akhirnya bagi saya, sebagai seorang seniman yang berpraktik, ini menjadi sebuah bahan perenungan saat hendak berkarya. Bila karya-karya saya selalu naratif, bila saya ingin menghadirkan kisah, bagaimana seharusnya kisah-kisah tersebut saya tuturkan? Dalam sebuah kesadaran yang lebih mendasar lagi, saya menghadapi sebuah dilema karena saya berpikir bahwa membuat sebuah kisah abu-abu lebih baik daripada membuat sebuah kisah yang hitam-putih, namun cara berpikir seperti itu dengan sendirinya adalah sebuah cara berpikir hitam-putih.
Sebagai manusia, kita semua harus memilih. Ada orang yang kita sapa dengan ramah di kantor, tapi dia bahkan melirik pun tidak, kita bisa tersinggung dan narasi hitam-putih bisa langsung terjadi. Padahal kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tersinggung atau tidak, itu soal pilihan. Mau orangnya dikonfrontasi secara langsung dan ribut di situ saat itu juga, atau kita diam saja tapi mengomel lewat status di Facebook atau di Twitter karena kita tahu orangnya tidak akan pernah membaca, atau justru kita tahu orangnya pasti akan membaca status kita, itu juga pilihan. Hidup adalah soal pilihan dan ego adalah salah satu, kalau bukan satu-satunya, rujukan yang selalu kita dengarkan pada saat kita mencerap dan memahami kehidupan, untuk membuat keputusan tentang bagaimana cara kita bereaksi terhadapnya.