Ego & Kecemasan

the_rage_of_the_vegetarian_kingPada akhir tahun 2009, saya meminta dua orang kawan saya, Agus Rakasiwi dan Theoresia L. Rumthe, untuk berpose di depan kamera. Saya minta mereka untuk melirik ke kiri lalu ke kanan, tidak melihat ke lensa kamera. Sambil melirik saya minta mereka membayangkan seakan-akan ada orang lain di sebelahnya dan saya juga meminta mereka membayangkan sedang melihat seseorang yang mencurigakan sehingga mimik wajah mereka merautkan ekspresi curiga. Sesudah sesi foto, hasilnya saya cetak dan saya mendapatkan dua foto dari model yang sama. Saya lalu memasangkan kedua foto tersebut berdampingan sehingga sang model saling melirik curiga pada dirinya sendiri.

Ini adalah perspektif pertama yang saya ambil ketika memulai proyek seni saya dalam seri yang berpusat pada tema ‘kecemasan’. Modus ini masih tetap dilanjutkan selama 3 tahun kemudian dan mencapai puncaknya saat saya memotret 99 orang model yang memiliki usia, jenis kelamin, ras dan latar belakang suku yang berbeda-beda, ditampilkan di Jakarta Biennale 2011, semua sedang saling melirik curiga. Kecemasan yang saya maksud di sini adalah kecemasan saya yang personal namun dalam perkembangannya, seri karya ini akhirnya menyentuh dimensi kecemasan sosial. Tapi kecemasan apa? Apa yang dicemaskan?

Saya mencemaskan banyak hal dan begitu pula orang lain. Banyak orang mencemaskan banyak hal yang berbeda-beda tapi reaksinya sama. Saya kira kita selalu gamang menghadapi sesuatu yang belum pernah kita ketahui, manusia selalu gamang berhadapan dengan ketidakpastian. Maka saya cemas menghadapi masa depan saya, masa depan karir saya, masa depan anak-istri saya, keluarga besar saya. Mendengar, melihat dan membaca berita setiap hari, saya cemas membayangkan nasib bangsa ini, nasib negara ini. Melihat gambaran sejarah yang muram, saya cemas membayangkan masa depan umat manusia, kadang-kadang saya begitu yakin bahwa suatu saat akan terjadi perang nuklir, wabah dan kehancuran besar-besaran, peradaban akan mundur ribuan tahun menjadi sebuah peradaban nirhukum yang diwarnai perbudakan dan penindasan dalam bentuknya yang paling nyata.

Ada jutaan kalau tidak milyaran alasan untuk menjadi cemas dalam hidup ini namun saya tidak memikirkan itu. Pertanyaan saya terarah pada alasan mengapa kecemasan ini muncul? Dari mana asalnya? Bagaimana mekanisme psikologisnya sehingga saya merasakan kecemasan? Dan bila saya merasakan hal ini, saya tahu saya tidak sendiri. Ratusan juta orang di dunia ini merasakan kecemasan yang sama setiap hari walaupun penyebabnya berbeda-beda. Sebetulnya tidak perlu waktu lama bagi saya untuk menemukan sumber segala kecemasan ini. Bila saya mengelupas satu persatu kecemasan saya, seperti mengupas bawang bombay selapis demi selapis, pada intinya saya menemukan sebuah kecemasan eksistensial. Saya bukannya takut mati, saya takut sirna, hilang tanpa bekas dan yang selalu cemas sebenarnya adalah ego saya.

Saya yakin, seluruh kecemasan ini bersumber dari ego saya sendiri. Bila saya perhatikan baik-baik, ego saya adalah mahluk yang gelisah. Ia terus-menerus menuntut perhatian dan pengakuan. Dalam proyeksi ego saya, saya selalu mengidam-idamkan kekayaan materi yang, bukan hanya cukup, namun berlimpah-ruah. Bila kekayaan materi yang saya miliki hanya sekedar cukup, saya akan gelisah dan cemas, apalagi bila kurang.

Saya benci dikritik. Saya tidak suka penolakan apalagi penentangan. Saya tidak senang bila ada seseorang yang merasa lebih baik daripada saya. Saya ingin semua orang sependapat dengan saya karena pikiran saya selalu lebih dalam, lebih tepat dan lebih benar daripada pikiran mereka. Dengan alasan itu, sudah sewajarnya mereka mengikuti kemauan saya. Saya selalu benar, yang salah adalah mereka, adalah penting bagi saya untuk selalu menekankan otoritas ini.

Saya pun ingin semua orang mencintai saya dan saya akan mencintai mereka. Orangtua; anak-istri; saudara; teman; kerabat dan sahabat, semuanya. Saya benci penolakan dan terutama pembangkangan. Saya benci mereka yang membenci saya dan saya berharap mereka akan hidup menderita, sengsara, sakit lalu mati dengan nista. Saya juga tidak ingin dilupakan, saya ingin selalu dikenang bahkan sesudah saya mati karena saya tahu bahwa musnah dari ingatan adalah kematian yang sebenarnya. Demikianlah suara-suara ego saya, sebegitu banyak tuntutannya. Bila itu tak terpenuhi, ia akan diliputi kecemasan, kegelisahan dan ketakutan.

Bila saya membayangkan ego saya sebagai sesosok manusia, ia adalah manusia paripurna. Kaya raya dan memiliki segalanya. Disembah, dipuja dan sangat berkuasa, bisa menentukan nasib manusia. Ia sangat welas asih namun juga sangat kejam bila diperlukan. Dan pada akhirnya, ia tidak pernah mati. Ia abadi selamanya. Maka saya pun mengenalinya sebagai gambaran Tuhan yang diajarkan pada saya sejak kecil dan pada akhirnya saya pun menyadari bahwa kita menggambarkan Tuhan berdasarkan citraan ego diri kita sendiri.

Pameran yang akan dibuka tanggal 14 Desember 2012 di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space, akan menampilkan karya-karya lukisan di atas kanvas, gambar cat air di atas kertas, digital print dan obyek. Semua merupakan runtutan karya-karya yang saya hasilkan dari tema besar ini dalam waktu 3 tahun terakhir. Sekitar 60% dari karya-karya yang saya tampilkan adalah karya-karya lama yang pernah dipamerkan, sisanya karya baru. Dalam pameran ini saya bermaksud menutup seri kecemasan dan pindah ke tema berikutnya yang tidak kalah lebarnya, yaitu tentang ‘hasrat‘ dan ‘ingatan’.

Maka demikianlah, satu demi satu karya-karya tersebut saya buat untuk memahami diri saya sendiri. Kadang-kadang saya merasa menemukan sebuah jawaban, kadang-kadang belum. Jawaban yang saya temukan kadang-kadang seperti bertentangan dengan jawaban yang saya temukan sebelumnya, namun bagaimanapun ia melengkapi seluruh rangkaian. Saya tidak pernah menemukan sebuah penjelasan tunggal yang menjawab semua pertanyaan.

Seperti foto udara yang dibuat untuk memindai permukaan bumi, bumi tidak pernah bisa difoto dengan rinci hanya dengan menggunakan satu foto saja, dibutuhkan ratusan, ribuan foto yang dipasang bertumpuk-tumpuk, saling berlapis untuk bisa melihat dan ‘memahami‘ wajah Bumi secara rinci. Dan belajar memahami diri sendiri tentu saja bukan hanya dengan berkarya karena itu akan seperti berusaha menangkap hujan dengan sebuah mangkuk kecil. 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s