Berkat & Kutukan

maskNyaman rasanya pulang ke rumah. Saya baru tiba pagi ini. Tiba pagi sekali naik kereta malam dari Bandung sampai Semarang. Berkumpul dengan anak-istri rasanya senang sekali. Namun begitu pula yang saya rasakan saat saya tiba di Bandung dan merebahkan diri di kasur empuk di rumah orangtua saya setelah letih melakukan persiapan pameran, pembukaan dan diskusi.Home, at last. Selalu nyaman rasanya pulang ke rumah, ke tempat orang-orang yang mencintai selalu menunggu dengan kangen, di tempat di mana kita selalu diterima dengan penuh kasih-sayang, menang atau kalah.

Pameran di Bandung sudah selesai dan ini sudah lewat paruh kedua bulan Desember. Tahun baru menjelang. Walaupun tahun ini saya tidak secara khusus berencana untuk merayakan tahun baru, berbeda dengan beberapa tahun terakhir, bagi saya perpindahan tahun kali ini istimewa. Istimewa karena saya berada di tempat baru bersama anak-istri, karena saya memulai hidup baru di usia saya yang hampir 40 dan karena seri ‘kecemasan’ yang sudah membuat saya depresi dua tahun terakhir ini akhirnya selesai dan dipresentasikan dengan cukup baik.

Saya menyadari bahwa saya punya bakat depresi, itu sudah turunan. Ibu saya dalam perawatan psikiater dan harus minum obat secara rutin untuk membuat emosinya lebih stabil. Adik saya juga dulu begitu, selama beberapa tahun dalam pengawasan psikiater dan harus minum anti-depressant. Bakat ini menurun dari garis ibu saya dan saya pada akhirnya memahami dan menerima semua ini. Saya bisa menerima semua ini karena sesuatu yang saya pelajari dalam ikhtiar yang saya lakukan untuk memahami masalah kecemasan dan depresi saya.

Sebuah penelitian panjang yang dilakukan di Karolinska Insitutet, Swedia, yang melibatkan lebih dari sejuta orang dan memilih 13 orang yang sangat kreatif di antaranya menemukan bahwa: reseptor dopamine-2 (D2) di daerah thalamus di otak mereka jumlahnya hanya sedikit. Jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah reseptor D2 di thalamus manusia normal. Thalamus adalah satu bagian otak yang berfungsi untuk “menyaring” sinyal-sinyal berisi informasi sebelum diteruskan ke cerebral cortex di daerah luar yang menjalankan fungsi berpikir logis dan rasional. Dengan demikian, arus sinyal berisi informasi dari seluruh bagian otak yang berbeda-beda mengalir lebih kuat dan lebih raw, “tidak tersaring”, menuju cortex. Hal ini membuat orang-orang kreatif mampu berpikir out of the box, mereka mampu membuat asosiasi-asosiasi yang tidak lazim tapi “kena”. Namun, hal ini pulalah yang terjadi pada kasus para pasien skizofrenia. Mereka sering membuat asosiasi-asosiasi yang aneh dan absurd dengan pencerapan tingkat tinggi sampai mereka percaya bahwa hal itu nyata. Dengan demikian, penelitian di Karolinska Institutet berkesimpulan bahwa orang yang sangat kreatif dan para pasien skizofrenia memiliki anatomi dan fungsi kerja otak yang serupa.

Saya harap saya tidak sampai harus jadi seniman skizofrenik, urusannya bisa berabe. Kasian anak-istri dan keluarga saya nanti. Hanya saja, saya kini memahami dan menerima bahwa saya, termasuk juga para penulis, penyanyi, penari, fotografer, penyair dan orang-orang dengan bakat dan profesi kreatif lainnya, memang lebih rentan terhadap gangguan kejiwaan. Itu sudah lumrah. Seniman itu perasa. Apa-apa diambil hati, sensitif dan dengan begitu mudah terkena tekanan batin. Namun hal itu pulalah yang membuat seniman mampu merasakan “getaran” sangat halus yang tidak bisa dirasakan orang lain. Dan yang saya maksud dengan “getaran” di sini adalah semata-mata masalah asosiasi dari hal-hal yang sepintas-dua-pintas-lalu tidak terlihat hubungannya. Ini kekuatan seniman, mereka mampu melihat hubungan antara hal-hal yang bagi orang banyak tidak ada hubungannya.

Saya kira tidak ada sesuatu yang berubah atau yang perlu diubah dalam kaitannya dengan kondisi kecemasan dan depresi saya, kecuali bahwa saya mulai memahami dan menerima kondisi ini. Menjadi seniman yang terlahir dengan bakat dan minat hanya-pada-seni adalah sebuah berkat sekaligus kutukan. Soal berkat kita sudah paham tetapi ini adalah kutukan karena bila seniman sampai tidak bisa berkarya, ia akan gila, layu lalu mati. Sebagai seniman yang dibesarkan di institusi formal dan mengambil jalur karir, apapun artinya itu, saya akhirnya memahami bahwa sebenarnya dorongan paling mendasar untuk berkarya bukanlah untuk mencari nama, menjadi terkenal seperti superstar, kaya-raya dan masuk dalam sejarah dunia, tapi semata-mata hanya berusaha untuk “tetap waras”.

Apabila dalam prosesnya saya harus terjerumus dalam cengkeraman depresi, biar saja, saya terima. Ini bukan yang pertama kalinya dan saya sudah mulai mengenalinya. Bila saya harus senantiasa diselimuti kecemasan, tidak apa-apa, saya terima. Suara-suara obsesif dalam pikiran saya yang tidak mau berhenti bicara, saya anggap mereka suara-suara dari “kampung hati saya”, mereka “kerabat” saya. Biar saja, saya peluk, saya terima semua. Amor fati fatum brutum

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s