“Life of Pi” adalah salah satu dari sedikit novel favorit saya yang dari waktu ke waktu saya baca ulang dari awal sampai tamat berkali-kali saking sukanya. Kalau seni berkehidupan dalam falsafah Nietzsche “amor fati fatum brutum” (mencintai takdir walaupun brutal) benar-benar diamalkan dalam hidup, itu hanya diamalkan oleh sedikit orang saja dan dari yang sedikit itu adalah Piscine Molitor Patel. Roy, teman saya dari Belanda, yang pertama kali memberi tahu saya tentang novel ini dan saya membaca dengan terputus-putus sebenarnya, namun makin lama saya makin terpikat dan saya menunggu dengan tidak sabar di sebuah pesta dekaden untuk menyelesaikan bagian terakhirnya. Ketika kisah tersebut tamat saya baca, saya terguncang membayangkan bagian akhirnya dan seperti tak percaya, saya berusaha mencari apakah kisah tersebut diilhami kisah nyata. Sejak saat itu saya pun membacanya berulang-ulang.
Ini kisah tragis. Pi Patel kehilangan semua orang yang dicintainya dan harus memulai hidupnya dari awal lagi, dibayangi ingatan yang traumatis, kerinduan yang takkan pernah terpenuhi dan pertanyaan yang takkan pernah terjawab sepanjang hidupnya. Karena itu, begitu saya tahu kisah ini akan difilmkan, saya menunggu-nunggu saat bisa menontonnya. Hari terakhir saya di Bandung, bersama Roy dan Kang Dundun, kami menonton film versi 3 dimensi dan saya tidak percaya. Saya hampir tertidur di bioskop! Sangat sedikit film yang mampu memuaskan pembaca novel asli, saya kira film ini tidak terkecuali.
Perbedaan mendasar antara novel dengan film “Life of Pi” terletak pada irama tuturannya, saya kira. Ini memang sulit dihindari, film dibatasi durasi, namun saya sangat menikmati tuturan yang sedikit perlahan di novelnya. Novel ini bercerita sambil “berjalan”, filmnya bercerita sambil “berlari”. Saya berpikir, andaikan film ini dituturkan selambat film “The Curious Case of Benjamin Button”, tentu hasilnya akan lebih baik lagi. Bagian kedua buku yang mengisahkan pergulatan spiritual Piscine dan pertentangan antara ketiga pemuka agama Hindu, Katolik dan Islam, juga keluarganya, menurut saya sungguh sangat penting. Saya tidak tahu, apa itu terlalu sensitif untuk ditampilkan di dalam film? Semua pergulatan spiritual yang pernah saya dengar/baca biasanya dipenuhi konflik namun pada kasus Piscine tidak begitu. Piscine begitu haus, begitu rindu pada tuhannya, sehingga ia membutuhkan lebih dari satu agama untuk bisa mengekspresikan hal itu.
Saat kami membahas novel ini beberapa tahun lalu, saya setuju dengan Roy ketika ia mengatakan bahwa menganut beberapa agama dan mengamalkannya sekaligus adalah sebuah “good logic”. Ya, mengapa tidak? Maka konflik pun terjadi namun itu terjadi pada orang-orang di sekitarnya, bukan dalam diri Piscine. Piscine, walaupun bingung, tetap merasa apa yang dipercayai dan diamalkannya tidak salah. Ia hanya ingin “mengasihi Tuhan”. Betapa tulusnya. Saya kira bagaimana besarnya cinta Piscine pada Tuhan dan bagaimana hal tersebut menyebabkan kebingungan bagi banyak orang adalah fundamental dan ini kurang dalam digali. Hanya digambarkan dalam satu adegan makan malam diselingi lelucon Ravi.
Satu adegan yang menarik yang terjadi di dalam buku adalah pertemuan Mr. Kumar dan Mr. Kumar di kebun binatang Pondicherry. Yang satu seorang guru berkaki polio yang atheis dan yang satu lagi seorang pembuat roti dan Muslim yang taat. Namun alih-alih kekhawatiran Piscine, pertemuan keduanya berjalan mulus, mereka sama-sama mengagumi zebra besar yang indah dari sudut pandangnya masing-masing. Pertemuan antara ilmu pengetahuan dan agama, yang selama ini kita kenal sebagai medan penuh konflik, ternyata berjalan dengan damai di kebun binatang Pondicherry. Saya kira ini juga penting dan sengaja ditulis untuk memberi ironi pada bagian sebelumnya di mana pertentangan justru terjadi ketika agama bertemu dengan agama. Dua orang inilah yang pada akhirnya membuat Piscine mengambil disiplin ilmu yang berbeda di Kanada, zoologi dan teologi.
Seperti yang saya duga, film “Life of Pi” terpusat pada bagian yang lebih dramatis secara visual, di tengah Samudera Pasifik. Kalau novel harus difilmkan halaman demi halaman, barangkali durasinya akan jadi 12 jam. Tapi begitulah, kisah yang dituturkan sambil “berjalan” dalam novel mengisahkan kejadian di tengah Samudera Pasifik. Teror hyena buruk rupa, perkelahiannya dengan Orange Juice dan zebra, sampai akhirnya ia sendiri dimangsa Richard Parker. Semua berjalan dengan rinci. Zebra yang meringkik kesakitan karena perutnya berlubang sementara kepala hyena menyeruduk ke dalam, memakan organ-organ dalamnya hidup-hidup. Dan zebra yang malang itu masih hidup lama, matanya masih mengedip lemah. Ketika ia akhirnya mati dan dimakan, tulang-tulang iganya mencuat ke atas seperti kerangka perahu. Brutal. Novel aslinya sangat brutal dan sangat hidup, kita bisa “mendengar” suara rahang mengerkah tulang.
Wawasan Piscine tentang kehidupan binatang begitu mendalam dalam novel, namun toh ia menghadapi binatang-binatang tak berkandang yang sangat tidak terduga perilakunya. Rasa tidak aman, kondisi harus selalu waspada diiringi keletihan fisik yang luar biasa dan urat-syaraf yang tercerai-berai, semua begitu nyata dan menular pada saya yang membacanya. Siapapun juga yang mengalami apa yang dialami Piscine di tengah laut akan merasakan putus-asa, kesedihan yang amat-sangat, kegelisahan, harapan yang memudar lalu sirna dan rasa jemu. Laut yang sangat tenang tak berombak ternyata lebih memenjara daripada badai. Namun anehnya, Piscine juga mengalami kegembiraan, sebuah ekstase saat melihat petir menyambar air diiringi gemuruh yang lebih memekakkan daripada suara “sepuluh ribu genderang dan terompet” yang berbunyi bersamaan. Absurd.
Rasa lapar yang konstan dan selalu menjadi ancaman, ketidakpastian, mara bahaya yang selalu mengancam, semua mengapung seperti kabut yang tak mau hilang. Dalam film, Piscine terlihat garang saat mendominasi Richard Parker namun dalam novelnya, itu terjadi sesudah proses yang sangat panjang dan penuh pengorbanan. Piscine teramat-sangat berhati-hati dalam menghadapi Richard Parker, butuh waktu lama bagi Piscine untuk mampu mengendalikannya. Dan dalam film, tuturan yang terburu-buru tidak sempat menceritakan “prusten”, titik balik yang membuat Piscine menjadi percaya diri dan akhirnya mampu mendominasi Richard Parker. Maka Piscine yang lemah-tak-berdaya; Piscine si alpha yang mampu menguasai seekor harimau Bengali seberat 250 kg; Piscine si vegetarian yang menangis saat membunuh ikan pertamanya; Piscine yang membuka perut penyu dengan pisau, meminum darahnya selagi hangat dan memakan jeroannya; Piscine yang pasrah dan sangat religius; Piscine yang kelaparan dan berteriak-teriak putus-asa, semua itu digambarkan dengan begitu hidup. Penderitaan Piscine jauh lebih panjang dan lebih pedih digambarkan dalam buku daripada dalam film.
Film sepanjang 127 menit memang takkan mampu menampung 450 halaman novel dan barangkali memang tidak sewajarnya membandingkan keduanya apple-to-apple. Film “Life of Pi” adalah sebuah perayaan visual dengan suguhan sinematografi yang sublim à la Ang Lee tapi bagi saya, novel aslinya betul-betul menyentuh hati. Bukan hanya menyentuh tapi juga mengiris perasaan, Piscine begitu sengsara dan menderita sehingga kepasrahannya dibaluti aroma kepedihan. Salah satu hal yang hilang dalam film ini adalah selera humor Yann Martel. Pada beberapa bagian, novelnya lucu sekali dan saya masih tertawa terpingkal-pingkal, sebuah hiburan setelah membaca bagian-bagian yang berat. Dengan demikian, membaca novel ini seperti sebuah santapan rohani bagi saya, karena itulah saya tidak pernah bosan membacanya berulang-ulang. Dan saya memilih nama “Cakrawala” untuk anak saya karena kata tersebut diulang-ulang terus dalam bagian yang mengisahkan kisah Pi Patel bersama Richard Parker di tengah Lautan Pasifik.