Sesudah acara masak dan makan-makan, sesudah suara dar-der-dor dan bau mesiu di malam pergantian tahun, saya pun kembali pada aktivitas semula: berkarya untuk pameran. Rasanya di saat-saat pergantian tahun ini saya tidak punya saat-saat khusus untuk melakukan perenungan atas hidup saya. Kebetulan tidak terlalu sempat. Di antara banjir status beraroma tahun baru, sebuah status yang saya baca di Facebook pada saat-saat itu berbunyi: “You don’t need resolution for next year, you need commitment.” Saya tertawa sendiri karena merasa tulisan itu pas untuk saya.
Menghadapi masa depan saya biasanya penuh harapan. Di saat senang, gairah membuat harapan saya berkembang. Di saat sulit, harapan saya bertambah karena diimbuhi ketakutan yang putus-asa menginginkan perubahan. Tapi sungguh, ada harapan atau tidak, masa depan tetaplah merupakan sebentuk ketidakpastian dan kita, manusia, cenderung gamang menghadapinya.
Sadarkah Anda bahwa kita seringkali memutar lagu yang itu-itu saja di dalam playlist iTunes, mengambil rute perjalanan yang itu-itu saja dari A ke B atau memesan menu yang sama ketika datang ke restoran favorit? Otak kita memang bekerja seperti itu. Bukan cuma kita, manusia, binatang apalagi. Kita cenderung mengulang apa yang sudah kita tahu. Kecuali kita bosan, kita akan melakukannya lagi dan lagi. Namun kita tidak pernah bosan, kita semata-mata melakukan itu karena kebiasaan. Apa yang belum kita tahu, yang belum pernah kita coba, senantiasa merupakan sebuah wawasan abstrak dan secara alami kita lebih memilih untuk melakukan hal yang sudah kita tahu.
Seumur hidup saya selalu berpikir bahwa tidak mungkin saya berkendara sendiri di Jakarta, saya selalu ikut kendaraan teman atau naik taksi. Jakarta adalah rimba metropolitan, sebuah labirin Daedalus yang bila dimasuki, pasti akan membuat saya tersesat dan tidak mampu keluar lagi. Tapi waktu saya membulatkan tekad untuk mengendarai mobil ke Jakarta dengan bantuan GPS, ketakutan itu hilang. Padahal kenyataannya, saya tetap selalu salah jalan, tersasar di sana-sini, tapi saya tetap tenang, membaca petunjuk dan akhirnya tiba di tujuan. Saya sempat takjub sendiri, bukan pada kemampuan GPS tapi pada batin saya yang tidak takut, tidak ragu, menghadapi ‘ketidakpastian’ lalu-lintas kota Jakarta.
Kalau begitu, mengapa saya gamang menghadapi masa depan? Perangkat macam apa yang saya butuhkan untuk mengarungi kehidupan ini? Apa ada semacam GPS yang bisa memberi petunjuk untuk mengarungi kehidupan? Tentu agak terlalu menyederhanakan kalau saya membandingkan kehidupan yang luas ini dengan lalu-lintas kota Jakarta, tapi prinsipnya tetap sama, bila ada sebuah perangkat tertentu, barangkali ketidakpastian tidak terlalu membuat saya gemetaran. Masalahnya, dari mana sebenarnya ketakutan saya berasal?
Kalau dipikir-pikir, barangkali yang membuat saya gamang menghadapi lalu-lintas kota Jakarta adalah penafsiran saya sendiri. Saya menafsirkan kondisi tersesat sebagai kesalahan, itu artinya buruk dan pikiran saya memberi label negatif. Sementara pergi dari A ke B dengan lincah tanpa salah jalan berarti baik dan saya beri label positif. Penafsiran ini terpatri dalam pikiran saya. Padahal kalau mau obyektif, memangnya separah apa sih, nyasar di Jakarta? Bukankah kita bisa selalu bertanya? Apalagi dengan kondisi kemacetan seperti sekarang ini. Tahu jalan atau tidak, kita tetap kena macet, waktu yang ditempuh bisa jadi sama saja.
Bila demikian, mungkinkah label-label yang saya sematkan pada apa yang pernah saya alami, pada semua pengalaman saya, adalah sumber dari ketakutan dan kebimbangan saya dalam menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian? Mendapat penghargaan berarti melakukan suatu prestasi, membawa kebanggaan, berarti labelnya positif. Jatuh di depan umum sangat memalukan berarti labelnya negatif, dan seterusnya. Lebih lanjut, saya berpikir, mungkinkah saya menjalani kehidupan, mengalami kejadian-kejadian dan mendapat pengalaman, lalu tidak memberi label baik atau buruk, apapun itu? Rasanya sulit sekali, nyaris tak mungkin. Itu seperti memisahkan saya dari rasa suka dan rasa tidak suka terhadap sesuatu. Bagaimana mungkin saya tidak memiliki rasa suka atau tidak suka terhadap sesuatu? Bagaimana mungkin saya tidak memiliki emosi terhadap sesuatu? Bagaimana dengan harapan? Bila saya benar-benar terbebas dari ketakutan menghadapi ketidakpastian, bukankah itu berarti saya pun tidak terlalu memikirkan harapan-harapan?
Semua ini saya tulis karena seri karya saya sekarang sedang berpusar di tema kecemasan, kecemasan pribadi saya. Dan salah satu kecemasan saya yang terbesar adalah kecemasan menghadapi masa depan, menghadapi ketidakpastian. Hanya sedikit di antara kita yang secara sadar ‘memeluk’ ketidakpastian. Mereka yang benar-benar menerima ketidakpastian sebagai bagian hidupnya biasanya adalah mereka yang memiliki jiwa spiritual yang sudah berkembang. Jiwa-jiwa kuncup seperti yang saya miliki, atau Anda miliki, kurang nyaman dengan ketidakpastian. Menghadapi ketidakpastian bagi saya seperti bersampan di tengah kabut. Saya tidak tahu apa yang ada di depan saya, saya juga tidak tahu apa yang ada di bawah air dan saya menafsirkan semua itu sebagai bahaya. Harapan, di sisi lain, kadang-kadang lebih merupakan selimut yang saya tebarkan untuk menutupi ketakutan dan kegelisahan saya.