Media ramai karena kasus penggerebekan beberapa pesohor yang dicurigai terlibat narkoba. Sesudah itu seorang pemimpin partai Islam dijadikan tersangka kasus korupsi berkaitan dengan impor daging sapi. Beberapa hari sebelumnya, koran berbahasa Inggris di Jakarta melaporkan kejanggalan dalam saldo keuangan presiden beserta kedua anaknya. Belum dua minggu sebelumnya, seorang calon hakim agung bergurau yang tidak pantas tentang pemerkosaan lalu menangis di depan kamera, karirnya mungkin hancur, layu sebelum berkembang. Berita-berita itu hanya beberapa dari banyak sekali berita-berita teatrikal yang tak ada habisnya tentang betapa menyedihkannya kondisi negara ini. Berita-berita tersebut muncul silih berganti dan mendapatkan porsi besar. Media sosial juga isinya kurang lebih sama, dibanjiri komentar terhadap berita yang muncul di media mainstream.
Sudah lama saya tidak baca koran atau majalah. Saya membeli koran atau majalah kalau kebetulan ada liputan pameran saya saja. Di rumah kami juga tidak ada antena televisi atau tv kabel berlangganan. Saya dan Fini beranggapan, informasi sebaiknya “on demand” saja, tidak perlu berlangganan karena toh kalau ada berita menghebohkan, kami pasti tahu dari media sosial. Tapi nyatanya, di media sosial saya tetap saja merasa ‘kebanjiran’ berita. Komentar-komentar yang muncul tak ada habisnya, membuat saya jadi ingin tahu: ada apa? Dan kadang-kadang saya tergoda juga untuk berkomentar walaupun hanya sekali-sekali saja, sering kali saya tidak berkomentar apa-apa. Paling-paling hanya membicarakannya dengan Fini. Saya menyadari bahwa sikap saya ini sebuah bentuk apatisme. Saya bertanya-tanya, mengapa itu bisa terjadi, ya? Mengapa saya jadi terlanjur jadi seperti ini? Barangkali karena saya muak dengan banyak hal tetapi saya merasa tidak mampu berbuat apa-apa, tidak mampu mengubah keadaan. Barangkali apatisme saya adalah refleksi keputusasaan saya sendiri.
Tapi begini. Pertama, saya cinta negara ini, yang saya benci adalah para pemimpin yang lebih banyak merusak daripada memelihara. Masyarakat sudah sangat geram pada para pemimpin negara ini. Kedua, semua media selalu beralih dari satu berita ke berita yang lain, atau tepatnya: dari satu drama ke drama yang lain. Tak ada hentinya. Apa saja beritanya, yang penting media bisa dibaca orang banyak, supaya iklan bisa dijual. Itu sebenarnya mirip dengan hukuman bagi para oportunis dalam novel klasik “Divina Comedia”. Di neraka, para oportunis berlari-lari mengejar-ngejar bendera yang dibawa seseorang, ke sana ke sini, bila bendera yang satu diturunkan, naik bendera yang lain dan mereka harus mengejarnya terus. Terluka, tulang remuk-redam, jatuh lalu mati, tapi hidup kembali. Mereka akan selalu dibangkitkan terus-menerus, abadi selamanya. Persis seperti seperti hukuman Sysiphus atau Prometheus. Hari ini kita lupa pada berita minggu lalu, dan minggu lalu, kita sudah lupa pada berita bulan lalu. Berita yang muncul sangat terputus-putus, tidak berkesinambungan dan sangat terfragmentasi. Makna apa yang bisa kita dapat dengan mengikuti pola seperti ini?
Namun ketiga, media tidak akan berlaku seperti itu bila kita, konsumen berita, tidak memiliki rasa lapar yang tak terpuaskan pada berita-berita negatif berbau skandal. Saya tidak tahu, dari mana datangnya selera ini. Ini seperti fitrah manusia sejak jaman dulu sekali. Komentar-komentar di media sosial hari ini pada hakikatnya sama dengan tulisan dan lukisan corat-coret di tembok-tembok gang kotor di kota Roma pada masa Julius Caesar dulu. Kita seperti seperti burung-burung nasar yang mencaplok setiap daging busuk yang diumpankan pada kita. Saya bukan bilang saya tidak suka skandal, oh, saya suka sekali. Saya sama dengan jutaan orang lainnya. Hanya saja, sambil menulis saya berpikir, mengapa ini bisa terjadi?
Menyaksikan orang besar jatuh, apalagi orang besar yang tidak saya sukai, adalah sebuah kebahagiaan dan membawa kepuasan kecil dalam hidup saya yang biasa-biasa saja. Menyaksikan si Liyan yang bukan siapa-siapa yang begitu ngotot ingin tampil di atas pentas membuat saya mencibir, melecehkan, padahal dia sama tak dikenalnya dengan saya. Apa artinya ini? Mengapa psikologi ini terjadi pada saya? Apa sebenarnya makna berita atau drama itu? Apa sebenarnya saya sedang memproyeksikan hidup saya yang biasa-biasa saja ke dalam hidup orang sial di atas panggung berita itu? Sehingga saya bisa merasakan sedikit kegairahan, seakan-akan saya sedang duduk di kursi penonton istimewa dalam pagelaran tersebut? Bergairah, tapi tetap aman, karena yang sial adalah orang lain, bukan saya. Sungguh, tidak ada yang lebih nyaman daripada duduk di kursi penonton dan melihat dari kejauhan.
Berkaitan dengan berita, saya bertanya-tanya: apa maknanya tahu berita dengan segera, hari ini, saat ini juga? Apakah keuntungan yang kita dapatkan, baik secara individu maupun kolektif, dari kecepatan ini? Peradaban dan kemajuan begitu tergila-gila dengan kecepatan, salah satunya kecepatan pergerakan informasi. Tapi, apa gunanya? Kita sekarang menjadi tahu apa saja yang kita mau, yang terjadi di kota lain, negara lain, benua lain, atau apa yang terjadi di luar jendela rumah kita. Cepat sekali, nyaris seketika. Namun apa gunanya mengetahui sebuah berita terkini lalu sesudah itu lupa? Apa maknanya?
Bila ada berita darurat yang berkaitan dengan kesehatan atau keselamatan keluarga inti saya, saya merasa perlu tahu berita tersebut saat itu juga. Tapi kalau orang lain? Lebih jauh lagi, mengapa saya perlu mengetahui sebuah berita berbau skandal segera, saat itu juga? Sungguh, apa perlunya, coba? Saya tidak bisa menemukan apa alasannya. Apa karena saya tidak peduli pada nasib bangsa ini? Mungkin. Secara umum, ya, saya memang tidak peduli, yang saya pedulikan adalah anak-istri, keluarga dan sahabat-sahabat saya saja.
Pembuka dalam film “Apocalypto”, salah satu film penuh kekerasan favorit saya adalah kutipan dari William J. Durant, filsuf dan penulis dari Amerika, “Sebuah bangsa yang besar tidak akan bisa ditaklukkan dari luar sebelum hancur lebih dulu karena kebobrokan yang berasal dari dalam.” Saya kira dalam tataran tertentu, ini memang sudah terjadi dan sudah menjadi nasib bangsa kita. Mengetahui hal ini, saya jadi sedih sebenarnya. Lalu apa yang bisa saya lakukan? Saya hanya berusaha jadi ayah yang baik, jadi suami yang baik, jadi anak dan teman yang baik dan jadi perupa yang baik, sesuai pilihan hidup saya. Tapi toh saya juga tahu saya tidak bisa membahagiakan semua orang.
Dalam pameran saya di bulan Desember lalu di Bandung, saya memamerkan “Homunculus”, sebuah karya fotografi yang menampilkan orang-orang aneh dan ganjil yang sedang berakting di atas sebuah pentas teater sunyi. Saya membuat karya tersebut untuk menggambarkan suara-suara dalam kepala saya yang tidak mau berhenti bicara saat saya depresi. Dalam sebuah proyeksi imajiner, saya bisa melihat sebuah kesamaan dengan konteks ini. Berita-berita yang ditampilkan di media, yang menampilkan kebobrokan dan skandal-skandal, ditonton dan disoraki oleh jutaan pemirsa mirip dengan sebuah pertunjukan teater di rumah sakit jiwa.
Para pesohor, atau orang tak dikenal yang ingin jadi pesohor, politisi, pejabat atau siapa saja, saya bayangkan adalah orang-orang gila yang tampil berganti-ganti di atas pentas. Yang mengatur pentas itu adalah beragam media, yang isinya orang-orang gila juga, silih berganti menampilkan pementasan dengan naskah yang sama dalam versi yang berbeda-beda. Dan kita semua, para pemirsa, adalah para pasien rumah sakit jiwa yang bersorak-sorak, meneriaki dan melempari mereka dengan tomat atau telur busuk. Saya sendiri? Saya tidak mau ikut-ikut. Saya duduk sendirian di sudut aula, melihat sekali-sekali dengan curiga ke atas pentas dan riang-ria para pemirsa. Saya tidak peduli dan lebih asyik dengan kegiatan saya sendiri. Memunguti cacing dan serangga untuk dimakan. Ini semua sungguh seperti sebuah pentas yang menampilkan orang gila, diorganisasi oleh orang gila dan dikonsumsi oleh orang gila di sebuah rumah sakit jiwa raksasa bernama Indonesia.