Saya adalah “anak baik” dari SD sampai kelas 1 SMP. Saya masih ingat, kelas 1 di SMA saya berlangsung siang sampai sore hari. Mata pelajaran pertama di hari Senin adalah mengetik 10 jari. Semua anak harus membawa mesin tik. Teman-teman saya membawa mesin tik yang kecil, ringan dan trendy, tutupnya tipis dan hanya ‘menempel’ di badan mesin tik sementara saya harus membawa mesin tik Papa yang beratnya bukan main. Tutupnya adalah koper plastik. Akhirnya setelah satu-dua kali membawa mesin tik itu, saya tidak pernah membawanya lagi. Jadi, setiap awal jam sekolah di hari Senin siang, saya akan keluar kelas sebelum guru datang dan berjalan melalui selasar panjang menuju bagian belakang sekolah. Di selasar itu, saya sering sekali bertemu dengan ibu guru yang mengajar mengetik di kelas saya. Saya selalu tersenyum ramah sambil mengangguk pada ibu guru tersebut, Beliau pun membalas dengan ramah. Saya sudah lupa siapa namanya, tapi beliau memiliki rambut keriting hitam yang lebat dan indah, berbibir penuh dan tahi lalat agak besar di pipi sebelah kirinya. Satu semester itu saya kelihatannya hanya masuk 10-20% dalam pelajaran mengetik. Saya sudah lupa, bagaimana caranya bisa lulus. Mungkin pelajaran mengetik saat itu bukan jenis pelajaran “sulit”, semua anak lulus, termasuk siswa tukang bolos seperti saya.
Walaupun saya beruntung bisa masuk sekolah favorit tapi ternyata kehidupan belajar di SMA saya tidak menyenangkan. Bukan apa-apa, saya sama sekali tidak berminat pada pelajarannya. Saat kelas 1 saya sudah mulai bergabung dengan kegiatan-kegiatan OSIS, jadi kacung, dan saya senang sekali. Saya jadi anak OSIS sampai akhirnya kami pensiun di awal kelas 3. Sahabat-sahabat saya yang paling dekat sampai sekarang berasal dari periode ini. Mengingat di luar kelas jauh lebih menarik daripada duduk di dalam kelas, tidak mengherankan kalau nilai-nilai saya selalu jelek. Di kelas 1 masih ada mata pelajaran Seni Musik dan Seni Rupa. Di kelas 2 Seni Musik hilang, di kelas 3 Seni Rupa hilang. Waktu itu saya sudah tahu apa yang saya mau, saya ingin jadi seniman, tapi saya terperangkap di sekolah dan harus mempelajari begitu banyak hal yang tidak ada hubungannya dengan minat, bakat, apalagi masa depan saya. Masa-masa SMA adalah masa indah di luar kelas dan mimpi buruk di dalam kelas. Saya hampir tidak naik kalau tidak dibantu teman-teman saya yang baik hati (dan mungkin para guru yang sudah terlalu muak untuk menghadapi saya setahun-dua tahun lagi). Dan seperti saya duga, apa yang saya pelajari 3 tahun di bangku SMA tidak ada gunanya sekarang.
Di SMA juga saya tidak bertemu guru yang menginspirasi. Saya kira sejak SD sampai SMA, sama sekali tidak ada guru yang menginspirasi saya. Tidak ada guru yang “menyalakan api” dalam diri saya. Seumur hidup, ada dua orang dosen di ITB yang penting bagi saya, lainnya tidak. Saya sudah lupa nama guru-guru saya, sudah lupa wajahnya, sudah banyak yang meninggal, saya tidak pernah ada kontak dengan mantan guru saya, semata-mata karena tidak ada yang berkesan di hati saya. Saya tidak membenci guru. Saya menghormati profesi guru. Tapi dalam sistem pendidikan yang pernah saya lalui, saya bisa katakan bahwa saya hanya menghabis-habiskan waktu saja. Sungguh sayang, waktu yang terbuang begitu lama. Dulu saya sudah ingin keluar dari sekolah tapi dicegah oleh orangtua saya yang tentu saja kaget karena inti dari seluruh perjuangan hidup mereka adalah menyekolahkan anak-anaknya. Toh kalau mau masuk sekolah seni rupa saya harus lulus SMA, jadi fase tersebut harus dilalui, saya harus lulus SMA. Saya hanya berpikir, apa yang saya pelajari dari SD sampai SMA, 12 tahun sekolah? Hanya ilmu yang sangat mendasar saja yang berguna, sisanya tidak ada gunanya. Saya dan Fini berpikir keras, bagaimana caranya supaya Caka tidak perlu mengalami hal seperti yang kami alami. Sistem pendidikan Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia, menyedihkan sekali.
Waktu tahun pertama kuliah hampir berakhir, kami mahasiswa tingkat 1 diminta untuk membuat tulisan tentang studio yang akan kami pilih, saya pilih Studio Seni Lukis. Saat itu, dengan menggunakan komputer dan bukan mesin tik, saya melatih diri saya mengetik sepuluh jari dengan susah payah. Saya kira saya terinspirasi melihat kakak teman saya yang bisa mengetik cepat sekali, padahal bukan sepuluh jari tetapi enam jari (jempol, jari telunjuk dan jari tengah, tapi luar biasa, cepat sekali). Mengetik sepuluh jari bukan keahlian yang sangat berharga saat ini, bagi saya itu hanya berguna untuk menyalin buta dan chatting. Menulis dokumen pun tidak perlu secepat itu karena banyak berhenti untuk berpikir. Mengingat saya adalah tukang bolos pelajaran mengetik, ini cukup luar biasa. Jadi, yah, satu-satunya keahlian praktis yang masih saya praktikkan sampai sekarang dari masa belajar saya tiga tahun di SMA adalah mengetik dan bahasa Inggris.