Strategi Apresiasi Kelas Satu di Museum Seni

caravaggioBila Anda seorang pecinta seni rupa dan berkesempatan untuk mengunjungi museum-museum besar di manca negara, Anda pasti tidak akan melewatkannya. Tidak ada yang mengalahkan perasaan bahagia, bahkan bangga (entah kenapa), saat melihat mahakarya seniman yang kita kagumi dengan mata kepala sendiri. Melihat karya secara langsung memang berbeda sekali dengan melihatnya dalam film atau buku. Perbandingannya barangkali seperti menikmati musik klasik. Sebagus apapun sound system kita, pengalaman duduk di sebuah konser musik klasik sungguh tak tergantikan, apalagi bila diselenggarakan di tempat yang layak dan menghadirkan orkestra kelas satu. Melihat sebuah mahakarya tertentu di museum yang bagus bisa menjadi sebuah pengalaman tak terlupakan yang mampu mengubah hidup, sebuah pengalaman yang almost spiritual. Beberapa seniman besar berkisah tentang pengalaman masa kecilnya melihat mahakarya di museum dan pengalaman itu menjadi momen penting saat mereka akhirnya memutuskan untuk jadi seniman.

Walaupun begitu, kenyataan seringkali tidak seindah harapan. Museum-museum besar yang bagus di kota-kota besar yang populer sebagai obyek turisme selalu penuh di musim liburan. Di Amsterdam pada saat musim panas, misalnya, Museum Van Gogh dipenuhi orang yang berbaris mengantri tiket masuk. Orang harus menunggu lama untuk bisa mendapat tiket. Dan setibanya di dalam, ternyata museumnya ramai sekali. Ada yang berkelompok-kelompok bersama teman dan keluarga, atau rombongan yang lebih besar, anak-anak kecil berlarian di lobby, dan yang lebih parah lagi: orang harus antri dalam sebuah barisan panjang berkelok-kelok menyusuri dinding untuk melihat karya-karya Van Gogh. Kita tidak bisa melihat lama suatu lukisan, tidak bisa melihat dengan rinci, karena barisan di belakang sudah mendorong kita untuk maju. Dan ternyata, museum bisa sangat berisik pada saat pada seperti itu. Orang bicara dalam banyak bahasa. Saya mengalaminya sendiri di Amsterdam, lalu Madrid, pada tengah musim panas 2009. Sungguh, tidak ada yang spiritual dalam pengalaman seperti itu dan saya kesal sekali.

Selain itu, ada masalah lain. Museum-museum besar yang terkemuka adalah sebuah lembaga raksasa yang memiliki koleksi ribuan karya seni. Karya yang bisa dilihat banyak sekali, semua dikelompokkan menurut kategori tertentu dalam ruang-ruang bersayap di bangunan museum yang besar sekali. Berjalan di antara ratusan, kalau tidak ribuan, karya seperti itu membuat bingung. Semua karya sama bagusnya, artinya tidak ada karya yang istimewa. Ditambah suasana penuh-sesak, kita jadi terpaksa berjalan cepat, melihat semua dengan serba-sekilas dan akhirnya, pengalaman mengunjungi museum berkelas yang seharusnya merupakan pengalaman yang memperkaya batin, malah membuat kaki pegal, kerongkongan haus dan perut keroncongan. Bisa-bisa kita malah menghabiskan waktu lebih lama di museum shop dan kantin daripada di ruangan museumnya.

Berdasarkan pengalaman tersebut, akhirnya saya memahami bahwa menikmati karya yang bagus di museum sebenarnya membutuhkan sebuah strategi. Kita bisa saja datang tanpa persiapan, membeli tiket masuk lalu berkeliling-keliling sampai kaki pegal atau waktu tidak mengizinkan lagi. Tapi itu adalah cara apresiasi a la turis. Turis adalah orang yang “sekedar” pernah berkunjung ke museum tertentu saja. Mutu kunjungannya tidak penting. Yang penting sudah pernah melihat “Monalisa”, “Sunflower”, “Nightwatch” dan sebagainya. Seorang pecinta dan penikmat seni tidak akan puas bila hanya berkunjung dan berjalan-jalan tanpa tujuan di museum. Seorang pecinta seni sejati akan berstrategi seperti ini:

1. Saat terbaik untuk melihat-lihat karya di museum adalah di saat sepi. Sesepi mungkin, kalau perlu. Bila Anda memiliki keleluasaan memilih waktu, pilihlah masa low season saat melawat ke luar negeri. Semua harga lebih murah, hotel mudah didapat dan museum sepi. Di musim dingin yang menggigit, museum adalah sebuah tempat yang hangat dan nikmat. Bila Anda sudah terlanjur tiba di tengah musim liburan, datanglah sepagi mungkin. Antrilah di loket sebelum museum dibuka dan jadilah yang pertama masuk. Mudah-mudahan turis-turis sialan itu masih tidur di hotel masing-masing sehingga Anda bisa menikmati karya-karya tanpa terganggu. Saya belum pernah mengalami yang satu ini, tapi kalau Anda bisa mengatur sebuah night visit bersama sebuah kelompok kecil dengan dipandu oleh pegawai museum, itu juga sebuah pengalaman yang sepertinya sangat menarik. Bayangkan, museum sebesar itu seperti “punya sendiri”. Tanya-jawab dengan pemandu museum pun bisa lebih menarik.

2. Kita harus menerima kenyataan bahwa Museum Louvre, misalnya, takkan mungkin kita jelajahi dalam waktu 1-2 minggu. Kalau kita betul-betul mau melihat semua karya dengan layak, butuh waktu setidaknya 6 bulan. Apatah lagi kalau kita hanya punya waktu satu hari, atau beberapa jam saja untuk mengunjunginya. Dengan begitu, persiapan harus dilakukan. Lakukanlah riset sebelum tiba di tujuan, carilah: karya mana yang menurut Anda paling menarik yang ada di museum tujuan. Tidak masalah kalau karya itu karya populer atau tidak, tapi cari yang paling menarik hati Anda. Anda juga bisa meluaskan riset Anda pada suatu kurun waktu atau seniman tertentu, misalnya karya Impresionisme Manet, Monet dan Degas.

3. Sesudah Anda menemukan karya yang Anda minati, pelajari dulu semua yang bisa Anda ketahui tentang karya tersebut. Pelajarilah kurun waktu saat karya tersebut diciptakan, konteks sosial apa yang melingkupi penciptaan karya tersebut, apakah ada kejadian penting dalam kehidupan pribadi sang seniman saat karya tersebut dibuat. Pelajari semuanya, puaskan rasa ingin tahu Anda di depan buku atau komputer tentang karya tersebut. Kalau perlu sampai teknik yang digunakannya. Dengan begitu, saat Anda berdiri atau duduk di depan karya tersebut, Anda sudah “mengenalnya”. Anda tidak perlu menyewa pemandu atau “telepon” yang berisi informasi tentang karya tersebut. Itu semua menganggu karena bila Anda sudah kenal karya tersebut sebelumnya, interaksi Anda dengan karya menjadi murni sebuah interaksi emosional. Anda tidak lagi dipusingkan dengan data dan fakta, Anda bisa benar-benar merasakan karya tersebut. Pada saat itulah Anda akan merasakan bahwa studi yang Anda lakukan akan membawa hasil. “Oh, seperti ini perubahan warna pada karya Van Gogh ketika dia sudah pindah ke Perancis, berbeda sekali dengan waktu masih di Belanda.” Dengan begitu, interaksi Anda dengan karya tersebut akan jauh lebih dalam dan jauh lebih bermakna.

4. Karya yang menurut Anda bagus ketika dilihat di buku atau di layar komputer, akan tampak 10 kali lebih bagus saat dilihat langsung. Saya bisa mengerti mengapa kolektor seni rupa rela mengeluarkan biaya besar sekali bila sudah jatuh cinta pada suatu karya seni. Memandang-mandangi lukisan itu ternyata bisa sangat mengasyikkan. Bila Anda betul-betul suka pada suatu karya, lalu Anda bisa duduk di depan karya tersebut tanpa terganggu suara berisik atau telepon, jangan heran bila Anda tanpa terasa duduk sampai berjam-jam. Itu lumrah, bahkan perlu disyukuri. Anda akan duduk memandangi karya tersebut secara keseluruhan, tapi tak lama kemudian Anda bangkit untuk melihat dari dekat (sejauh yang diizinkan). Anda lihat rincinya, Anda lihat sapuan kuas dalam lukisan itu, sampai Anda bisa mengira-ngira, dari mana sang pelukis mulai memulaskan kuasnya dan kemana arahnya. Pada suatu titik Anda bisa merasakan kuas sang seniman seperti sedang menari di atas kanvas. Itu baru namanya apresiasi seni kelas satu, itu baru namanya apresiasi seni yang almost spiritual. Apresiasi seperti ini pasti memakan waktu.

4. Jadi bila Anda hanya punya waktu 3 jam sebelum makan siang untuk mampir ke museum, tidak mengapa kalau Anda hanya menikmati 2 atau 3 karya saja. Lalu karya lainnya yang puluhan dan ratusan itu bagaimana? Ya, dilihat-lihat saja sebentar. Mudah-mudahan Anda bisa datang lagi di kemudian hari. Percayalah, apresiasi yang mendalam untuk menikmati 2-3 karya dalam waktu 3 jam akan jauh lebih bermakna daripada bisa melihat “semua” karya dengan terburu-buru. Dalam apresiasi kita harus mendahulukan kualitas, bukan kuantitas. Karena itu, rencanakanlah kunjungan Anda. Anda tidak akan tengok sana-sini ketika masuk museum, Anda sudah tahu apa yang ingin Anda lihat ketika masuk museum. Ini seperti akan berjumpa dengan kekasih yang sudah lama tidak bertemu, semakin dalam riset Anda, semakin “rindu” Anda ingin “bertemu”. Pengalaman ini pasti indah untuk Anda. 🙂

Hal ini berlaku juga saat mengunjungi perhelatan seni rupa besar-besaran seperti Venice Biennale, Dokumenta, Yokohama Triennale dan sebagainya. Lakukan studi terlebih dahulu, siapa seniman yang ingin kita jadikan fokus utama dan dahulukan untuk menikmatinya. Sisanya dianggap bonus. Walaupun begitu, tip ini saya kira tidak akan berlaku kalau kita mengunjungi art fair karena saya tidak yakin art fair memiliki informasi yang sangat menyeluruh sehingga kita bisa mengetahui informasi tentang karya-karya yang dipamerkan sebanyak mungkin. Galeri yang ikut art fair biasanya hanya mencantumkan nama seniman dan sedikit foto, itu pun dalam iklan. Yah, art fair itu ajang bisnis, bukan untuk apresiasi. Apresiasi yang terbaik menurut saya tetap ada di museum. Oke, selamat mencoba.

Leave a comment