Seni Rupa Kita Dalam Bahaya

moldSemenjak saya mulai tertarik mendalami teknik seni lukis klasik beberapa tahun yang lalu saya mulai menyadari bahwa kaitan antara seni lukis dengan ilmu kimia sangatlah erat dan pada saat itulah kegelisahan saya dimulai. Walaupun seni lukis telah melalui sejarah panjang berliku dan telah melahirkan banyak sekali buah pemikiran, pada kenyataannya seni lukis semata-mata adalah “persoalan cat”, mengutip mendiang Lucian Freud. Walaupun kedengarannya sederhana, cat dengan medium yang menempel di atas gesso pada kanvas selalu dipengaruhi reaksi kimiawi yang dipicu oleh waktu, suhu, kelembapan, kadar garam, keasaman, aliran udara, cahaya matahari, sentuhan tangan, goresan, tumbukan, tekanan dan sebagainya. Hal ini menyebabkan cat pada kanvas senantiasa rentan terhadap perubahan dan seperti yang kita tahu, kimia adalah sebuah ilmu tentang sifat dan perubahan suatu dan antar materi.

Lukisan bukan anggur atau arak yang semakin tua akan semakin baik mutunya. Justru sebaliknya, semakin tua lukisan akan semakin lapuk dan hancur. Di iklim tropis di mana suhu dan kelembapan senantiasa tinggi, masalah reaksi kimiawi diperparah dengan kehadiran mikroorganisma yang beragam jenisnya. Sebuah tambahan masalah yang tidak diharapkan tetapi tak bisa dihindari. Fakta bahwa kita sulit menemukan artefak bersejarah yang terbuat dari kertas dan kain dalam keadaan baik di negara kita ini sangat berkaitan dengan nasib kita semua yang hidup di sepanjang Katulistiwa.

Bila kita berkesempatan melawat ke Madrid dan mampir ke Museo del Prado, kita bisa melihat karya-karya Fransisco de Zurbarán atau Diego Velázquez yang sudah berusia lebih dari 400 tahun. Di Gereja Sistine, Florensia, kita masih bisa melihat karya fresco Michelangelo Buonarroti yang berusia 500 tahun dan di Galeri Nasional London kita bisa menikmati karya Jan van Eyck yang berusia 600 tahun. Bangsa Indonesia saya kira tidak bisa bermimpi untuk bisa menikmati karya-karya para maestro seni lukisnya selama itu. Mengingat kondisi alam yang kejam terhadap konservasi karya seni rupanya, saya kira sangat sulit menerka masa depan sejarah seni rupa modern dan kontemporer Indonesia di masa datang. Sejarah seni rupa modern Indonesia belum lagi berusia 150 tahun dan kondisi di lapangan membuktikan bahwa banyak sekali karya yang sudah hancur dan tidak bisa diselamatkan lagi. Ini sangat menyedihkan.

Tapi yang lebih menyedihkan lagi adalah kondisi di mana kesadaran konservasi bisa dikatakan hampir tidak ada. Pertama, hal ini bisa dilihat dari fakta bahwa perguruan tinggi seni rupa di Indonesia tidak, atau belum, memiliki visi ke arah sana. Indonesia belum memiliki jurusan atau program studi konservasi karya seni. Kedua, kesadaran seniman terutama para pelukis, tentang preventive conservation bisa dikatakan sangat rendah. Para pelukis terus saja asyik berkarya tanpa banyak menyadari aspek konservasi dalam kekaryaannya. Praktik seni lukis kontemporer di Indonesia saat ini saya kira sangat terkonsentrasi pada dua hal: pasar dan wacana seni rupa tetapi tidak pada soal konservasinya. Sebetulnya tidak masalah kalau konservasi tidak menjadi fokus tetapi itu hanya boleh terjadi bila diasumsikan bahwa kesadaran konservasi sudah diterapkan secara menyeluruh oleh setiap lembaga pendidikan tinggi seni rupa, setiap perupa, setiap galeri, museum, kolektor termasuk balai lelang. Sudah beberapa tahun terakhir hal ini selalu menggelisahkan saya. Pikiran-pikiran negatif saya mengatakan bahwa dalam jangka 100-200 tahun, karya seni rupa Indonesia, termasuk mahakarya yang tercipta di dalamnya, akan hancur ditelan cuaca.

Sejauh ini, konservasi karya-karya seni hanya terjadi pada karya-karya seni yang berharga mahal di balai lelang yang dikoleksi oleh para kolektor terkemuka Indonesia. Lain dari itu, hilang tak tentu rimbanya atau musnah. Saya kira kita perlu belajar dari periode Dutch Golden Age, sebuah masa yang terentang kira-kira di sepanjang abad ke-17. Dutch Golden Age adalah sebuah masa di mana kondisi ekonomi Belanda mengalami pertumbuhan pesat dan menjadikannya raksasa ekonomi terbesar di dunia, dilindungi oleh angkatan laut terkuat di dunia. Di dalam kemajuan ekonomi ini, bidang perdagangan, militer, ilmu pengetahuan dan seni tumbuh dengan luar biasa. Pertumbuhan semacam itu tidak mudah dan tidak murah, harganya mahal sekali tetapi mereka mampu membayar itu semua (salah satunya karena dominasi perdagangan mereka di negara kita) dan dunia seni rupa turut tumbuh menjadi besar karena permintaan yang rata-rata tinggi. Rembrandt van Rijn, misalnya, adalah salah satu seniman muda yang mendapat banyak sekali pesanan lukisan potret dari orang-orang kaya baru yang sukses di bidang perdagangan pada masa itu. Selain Rembrandt masih ada banyak sekali, ratusan kalau tidak ribuan, seniman yang diuntungkan oleh kondisi tersebut, semuanya berkarya dengan produktif. Dutch Golden Age bisa dikatakan telah menghasilkan sebuah boom seni rupa pada masanya karena tingginya tingkat permintaan terhadap karya-karya seni. Dengan demikian, kita tidak sekedar bicara tentang mutu karya-karya yang dihasilkan oleh para maestro namun juga jumlah karya yang dihasilkan secara keseluruhan walaupun mutunya tidak setinggi itu.

Pada masa itu, karya-karya yang dihasilkan ada ratusan ribu, banyak sekali dan rata-rata bagus karena tingkat persaingan yang tinggi di antara seniman. Didukung dengan kondisi alam yang lebih ramah terhadap konservasi karya seni, para sejarawan seni menjadi sangat terbantu untuk melakukan pendataan, pengkelasan dan pembacaan terhadap karya-karya tersebut. Sudahlah banyak, karyanya bagus-bagus, lagi. Sekarang bandingkanlah dengan kondisi konservasi karya-karya seni di Indonesia. Ada berapa banyak karya yang selamat dari paruh pertama abad ke-20? Ada berapa karya yang selamat antara tahun 1950 hingga tahun 2000? Atau ada berapa karya yang selamat antara tahun 2000 hingga sekarang, 14 tahun kemudian? Karya-karya zaman saya kuliah (sekitar 20 tahun lalu) saja sudah banyak yang hancur karena tidak ada kesadaran tentang preventive conservation dan buruknya cara perawatan.

Maka saya kira, adalah penting bagi kita untuk menyadari sejak awal bahwa konservasi karya seni adalah esensial. Kita tidak hanya bicara soal nilainya pada saat ini tetapi juga soal warisan yang akan kita sumbangkan pada generasi berikutnya. Mungkinkah anak cucu kita kelak, 300 sampai 600 tahun lagi, bisa menikmati karya-karya Affandi, Sudjojono, Dullah, Hendra Gunawan dan sebagainya? Bagaimana dengan karya-karya seniman kontemporer yang masih hidup hari ini? Karya Agus Suwage, Entang Wiharso, Ay Tjoe Christine, Jumaldi Alfi, Handiwirman, Nyoman Masriadi, Eko Nugroho dan yang lainnya, tidakkah kita menginginkan karya-karya itu bisa dinikmati dan dihargai oleh anak cucu kita selama mungkin? Bisakah karya-karya itu bertahan selama 500 tahun? Terus-terang saya sangat meragukannya kecuali bila kita mengambil tindakan sekarang juga. Perasaan saya terbelah antara senang dan sedih melihat dunia seni rupa Indonesia selama ini. Senang karena pertumbuhannya yang pesat dalam 20-30 tahun terakhir tetapi juga sedih karena menyadari bahwa tanpa adanya kesadaran konservasi, karya-karya yang dihasilkan cepat atau lambat akan musnah. Dunia seni rupa kontemporer Indonesia dibangun bak istana pasir yang besar, rumit dan indah tapi akan hancur saat pasang nanti, hilang dilamun ombak. Tantangan bagi kita adalah iklim ini, udara yang jenuh uap air yang kita hirup setiap hari ini. Iklim ini adalah sebuah berkat, seniman bisa berkarya sepanjang tahun dengan nyaman, tidak ada musim dingin yang menggigit. Tapi iklim ini juga sebuah kutukan yang harus diantisipasi, pertama kali adalah dengan menumbuhkan kesadaran tentang konservasi. Saya kira bahkan bila kita mengambil pendidikan lanjutan tentang konservasi karya seni di tempat yang terbaik di dunia sekalipun, kita masih tetap harus membuat banyak penelitian yang lebih mendalam lagi karena lembaga-lembaga tersebut tidak mengambil spesialisasi dalam bidang konservasi di alam tropis. Inilah kegelisahan saya selama ini.

Di satu sisi saya merasa terpanggil untuk melakukan tindakan tetapi itu tidak, atau belum, mungkin saya lakukan. Saya tidak bisa meninggalkan keluarga dan karir yang sudah saya bangun selama 15 tahun untuk mengambil sekolah konservasi karya seni sampai S3 lalu mendirikan program studi konservasi karya seni di kampus saya, misalnya. Itu akan menjadi perubahan karir yang cukup ekstrim bagi saya. Saya tidak tahu harus berbuat apa, selama ini saya hanya membaca-baca artikel di internet dan menduga-duga ini-itu soal konservasi. Itu semua hanya membuat saya jadi seorang amatir yang “tidak layak bicara” dalam bidang konservasi seni rupa di Indonesia. Walaupun begitu, saya percaya kekhawatiran saya beralasan, saya yakin saya tidak sedang mengigau. Ini nyata dan niscaya akan terjadi bila kita tidak mengambil tindakan. Seni rupa kita dalam bahaya: bahaya konservasi. Yah, saya tidak tahu, saya berharap suatu saat akan ada jalannya. Barangkali nanti, 10-20 tahun lagi, saya bisa terjun langsung ke dunia konservasi. Sebelum itu saya hanya bisa meyakinkan bahwa kekaryaan saya berjalan dengan baik termasuk dari segi konservasi. Bila Anda adalah orang yang juga merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu, saya mohon, bertindaklah. Demi kelangsungan hidup dan sejarah seni rupa Indonesia.

Sedikit wawasan mengenai preventive conservation dalam aspek-aspek seni lukis, terutama yang menggunakan media cat minyak di atas kanvas, bisa dibaca dalam unggahan lampau ini: Anatomi Sebuah Lukisan (bagian terakhir dari dua bagian)

Epilog

Sebuah catatan tambahan bagi lembaga pendidikan tinggi seni rupa seperti FSRD ITB di Bandung, ISI di Yogyakarta, IKJ dan Trisakti di Jakarta dan lainnya. Dengan memperhitungkan kondisi alam yang tidak ramah terhadap konservasi karya seni, dengan mempertimbangkan penyelamatan karya-karya seni dan artefak bersejarah yang terancam bahaya konservasi, dengan melihat kemungkinan lahirnya tenaga-tenaga profesional yang terlatih yang kelak bisa bekerja untuk pemerintah atau membuka lapangan pekerjaan secara mandiri dan mengingat tingkat permintaan terhadap konservasi dan restorasi karya seni yang akan selalu ada, menurut saya, membuka program studi Konservasi Seni adalah hal yang layak untuk dipertimbangkan. Saya memahami bahwa membuka program studi semacam ini tidak mudah dan tidak murah namun keputusan yang tepat di saat ini akan mampu menyelamatkan banyak artefak kebudayaan bersejarah di masa datang, nilainya besar sekali bagi dunia kebudayaan nasional. Bila ada satu saja lembaga pendidikan tinggi seni rupa yang membuka program studi Konservasi Seni, saya kira jalur karir dan masa depan bagi mahasiswanya sudah akan terbentuk dengan sendirinya. Bila ada satu saja kampus yang membuka program studi ini, dengan tenaga ahli yang antusias dan terdidik dengan baik, para kolektor tidak perlu mengirimkan karya-karya koleksi mereka ke Singapura, ke Eropa atau ke Amerika untuk dirawat atau diperbaiki. Merawat karya seni dengan mengirimkannya ke laboratorium konservasi itu sangat mahal, kampus yang mampu memiliki laboratorium konservasi karya seni bisa membiayai dirinya sendiri pada saatnya kelak. Saya mohon, pertimbangkanlah masukan ini dan rintislah jalan menuju dibukanya program studi Konservasi Seni di Indonesia. Terima kasih.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s