Di sebuah pagi yang dingin pada tanggal 16 April 2014, belum sebulan yang lalu, sebuah kapal feri berbendera Korea Selatan, MV Sewol milik Cheonghaejin Marine Company di Incheon, mengirimkan tanda bahaya pada otorita maritim setempat, mengabarkan bahwa kapal miring tak terkendali dan sulit dikembalikan ke posisi semula. Kapal feri Sewol melakukan belokan tajam dengan tiba-tiba ke arah kanan dan mulai miring ke kiri. Para penumpang yang kebanyakan adalah siswa-siswi SMU Danwoon di kota Ansan, termasuk belasan orang guru yang rencananya akan melakukan darmawisata ke Pulau Jeju selama empat hari, merasakan kapal membelok dengan tiba-tiba, mengalami kemiringan lalu merasakan benturan keras pada badan kapal. Kapal yang sedang berlayar di lautan yang tenang tak berbatu karang itu menjadi gempar seketika.
Kapal feri yang berawak 36 orang dan membawa 476 orang penumpang itu semakin miring dan akhirnya benar-benar menjadi sulit dikembalikan ke posisi semula. Di tengah kepanikan, melalui pengeras suara semua orang diminta untuk tetap berada di kamar masing-masing oleh sang Kapten yang masih berusaha menguasai limbungnya kapal. Panggilan-panggilan darurat melalui telepon sudah sibuk dilakukan oleh para siswa dan para nelayan di sekitar lokasi kejadian mendekat dengan kapal-kapalnya untuk memberi pertolongan. Di dalam ruangan kemudi, sang Kapten dan para awak sibuk berkomunikasi dengan otorita maritim dan kapal-kapal terdekat untuk meminta pertolongan dan sekitar 45 menit kemudian, sesudah kemiringan kapal mencapai 50º, sang Kapten memutuskan bahwa kapal harus ditinggalkan namun perintah ini tidak secara pasti disiarkan pada semua penumpang.
Walaupun banyak penumpang yang berusaha keluar dari kamarnya, sebagian besar masih mengikuti perintah kapten kapal dan tetap tinggal di dalam kamar. Beberapa menit kemudian semua fungsi komunikasi kapal terputus karena gangguan listrik dan sekitar 160 orang penumpang beserta awak kapal melompat ke dalam air dengan arus kuat dan bersuhu 12ºC. Pada suhu sedingin itu, seseorang hanya bisa bertahan selama kurang lebih 90 menit sebelum akhirnya diserang hipotermia. Namun 90 menit dalam air yang dingin dalam ketidakpastian kapan bisa terselamatkan masih jauh lebih berharga daripada diam di dalam kamar masing-masing, seperti yang terjadi pada ratusan penumpang yang tersisa. Mereka akhirnya terperangkap di dalam kapal yang dibanjiri air dan akhirnya tewas, karam bersama kapal ke dasar lautan yang dingin.
Kapal feri tersebut berukuran besar. Panjangnya mencapai hampir 150 meter dengan bobot hampir mencapai 7000 ton. Kapal tersebut adalah kapal bekas, produksi Hayashikane Shipbuilding & Engineering Co. Ltd., Jepang, tahun 1990-an. Setelah beroperasi selama 18 tahun di Jepang, kapal tersebut dibeli oleh Cheonghaejin Marine Company dan dimodifikasi untuk kebutuhannya sendiri. Salah satu penyebab kecelakaan konon bermula dari modifikasi ini. Kapal yang semula hanya mampu memuat 956 orang termasuk awak kapal, sekitar 200 buah mobil dan 150 kontainer berukuran 20 kaki ini diubah oleh perusahaan yang membelinya sehingga bisa memuat lebih banyak lagi penumpang. Penambahan tersebut meliputi penambahan ruang penumpang di tingkat 3 dan 4 sehingga mampu memuat 181 orang tambahan, akibat perubahan struktur tersebut bobot kapal bertambah 239 ton.
Walaupun demikian, kapal tersebut lulus dalam uji laik jalan yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga registrasi perkapalan Korea Selatan. Kapal tersebut bahkan dinyatakan tidak bermasalah dalam pengujian terakhir yang baru saja dilakukan bulan Pebruari lalu. Sejak dibeli, dimodifikasi dan melewati berbagai macam pengujian, kapal feri Sewol mulai beroperasi di perairan Selatan Korsel pada tahun 2013 dengan melayani rute Incheon-Jeju seminggu tiga kali. Walaupun pihak yang berwenang masih menyelidiki penyebab-penyebab kecelakaan tersebut, para pakar maritim menduga bahwa gerakan tiba-tiba ke arah kanan telah membuat kapal menjadi miring dan beban muatan di dalam kapal meluncur ke kiri (dan membentur sisi kapal) dan membuat kapal tidak seimbang. Rupanya kapal Sewol pada hari itu membawa muatan seberat 3600 ton, jauh melebihi batas maksimumnya yang hanya 987 ton. Modifikasi pada kapal juga turut andil dalam hilangnya keseimbangan kapal karena telah menyebabkan restoring force (kemampuan untuk kembali pada ekuilibrium sesudah menerima gaya tertentu) pada kapal menjadi berkurang. Bila terjadi kemiringan, kapal menjadi sulit untuk kembali ke posisi semula.
Hingga hari ini, program pencarian dan penyelamatan para korban masih dilakukan walaupun melambat karena tim penyelam kesulitan untuk masuk ke ruang-ruang sempit yang tertutup puing yang saling bertumpuk. Presiden Korea Selatan, Park Gyeun-hye, tiba di lokasi sehari sesudah kejadian dan seluruh negara berduka. Namun selain berduka bangsa Korea Selatan juga kebingungan dan marah. Pertama, mereka mempertanyakan kebijakan pemerintah mengenai standar keamanan kapal. Mengapa kapal Sewol dinyatakan layak beroperasi? Ternyata kebijakan mengenai perkapalan di Korea Selatan diatur oleh sebuah lembaga yang juga merupakan serikat perdagangan sehingga kebijakannya rentan terhadap konflik kepentingan.
Walaupun hukum dan aturan perkapalan di Korea Selatan cukup ketat, pengawasan dalam pelaksanaannya tidak seperti itu. Kedua, pemerintah bergerak lambat dalam evakuasi para korban sehingga korban yang tewas dan terluka semakin banyak. Pada saat kejadian, kapal induk Amerika Serikat telah bersiap untuk melakukan pertolongan karena mendengar berita darurat tersebut. Jepang juga telah menyediakan diri untuk langsung terjun ke lokasi secepatnya demi melakukan pertolongan. Barangkali karena masalah politik dan hankam, Korea Selatan berterima kasih pada Amerika Serikat dan Jepang untuk tawaran tersebut namun menolak mereka untuk masuk ke zona ekonomi eksklusif di perairan mereka. Ketiga, dan ini yang paling membuat semua orang marah, adalah sang Kapten kapal, Lee Jun-Seok, yang diketahui berada dalam rombongan pertama yang menyelamatkan diri dan meninggalkan banyak sekali penumpang di belakangnya. Fotonya beredar di internet dan ia menjadi bulan-bulanan pers di mana-mana, termasuk dalam laman CNN ini.
Selain sang Kapten, sebagian dari awak kapal pun turut menyelamatkan diri kecuali satu orang awak muda, Park Jee Young, seorang gadis cantik berusia 22 yang mendahulukan para penumpang menyelamatkan diri. Sayangnya ia sendiri akhirnya tewas dalam tragedi tersebut, menjadikannya satu-satunya awak kapal yang disebut pahlawan. Perbuatan sang Kapten dan para awak kapal yang mementingkan dan menyelamatkan diri sendiri, meninggalkan kapal yang tengah tenggelam sementara para penumpang masih terperangkap di dalamnya sungguh sangat memalukan. Dengan geram presiden Hye mengutuk perbuatan sang Kapten dan beberapa awaknya sebagai sebuah tindakan yang “benar-benar tidak bisa dimengerti dan sama sekali tidak bisa diterima karena setara dengan pembunuhan. Perbuatan mereka sungguh tak terbayangkan baik secara hukum maupun secara etis”.
Saat ini pencarian para korban masih dilakukan dan lebih dari 240 orang telah dinyatakan tewas dalam tragedi yang memilukan tersebut, sisanya masih belum bisa ditemukan sementara harapan hidup semakin lama semakin menipis. Sang Kapten dan beberapa awak kapal telah ditahan dan sedang mengikuti proses pengadilan. Menyusul kejadian tersebut, disebabkan oleh tekanan partai oposisi dan kritik keras dari masyarakat, terutama keluarga korban, perdana menteri Korea Selatan, Chun Hon-won, yang sempat dilempari botol minuman saat mengunjungi keluarga korban yang berkumpul di Pulau Jindo, menyatakan bertanggung jawab atas lambatnya respon pemerintah dan menyatakan pengunduran dirinya akhir April lalu.
Selain itu, Kang Min-kyu, wakil kepala sekolah SMU Danwoon yang berhasil selamat dan merupakan pemimpin dari rombongan 325 orang siswa dan 15 orang guru lainnya dalam perjalanan wisata tersebut ditemukan tewas gantung diri di Pulau Jindo. Pesan di sakunya menyatakan bahwa ia merasa sangat bersalah karena ia sendiri selamat sementara anak-anak didiknya banyak menjadi korban. Ia berpesan supaya mayatnya dikremasi dan abunya disebarkan di lokasi kecelakaan. Kejadian demi kejadian begitu menggemparkan dan memilukan bangsa Korea Selatan, menggoreskan luka yang amat dalam. Kecelakaan serupa pernah terjadi di Korea Selatan pada tahun 1993 saat MV Seohae tenggelam dan 292 dari 362 orang penumpangnya tewas.
Lautan yang maha luas selalu membuat saya bergidik karena ngeri. Saya selalu tinggal di daerah dataran tinggi dan jarang main ke pantai. Saya kurang suka pantai karena kalau tidak panas terik, pantai menjadi dingin karena berangin, dan air laut membuat pasir menempel di kaki dan tubuh saya. Kan jadinya kotor. 😀 Karena itu, bahkan sesudah saya pindah dari Bandung pun saya masih tinggal di daerah pegunungan di Ungaran sini. Bagi saya lautan yang biru itu dingin, penuh misteri dan menyeramkan.
Saya kira saya adalah salah satu contoh sukses program antropologis zaman kolonial dulu untuk menjauhkan bangsa Indonesia dari laut karena bagi nenek moyang kita, laut adalah “lapangan” tempat mereka bermain semenjak kecil dan mereka justru berjaya di lautan, seperti semboyan angkatan laut kita. Saya selalu terkesima melihat tragedi-tragedi yang terjadi di lautan seperti dalam film “The Perfect Storm” atau di novel dan film “Life of Pi”. Pengalaman kecelakaan di laut betul-betul tak terbayangkan oleh saya.
Namun selain teringat pada novel dan film, tragedi ini juga mengingatkan saya pada karya Théodore Géricault, seniman Perancis yang mati muda di usia 32, yang membuat lukisan raksasa berukuran sekitar 5×7 meter yang legendaris sekaligus kontroversial pada masanya “The Raft of The Medusa”. Karya yang begitu luar biasa karena ukuran dan penggambaran tragedi kemanusiaan yang dramatis tersebut akhirnya menjadi sangat ikonik dan dijadikan tanda bangkitnya gerakan Romantisisme di Eropa oleh para sejarawan seni, mengakhiri gaya Neoklasik yang serba tenang dan teratur. Dan bukan kebetulan, karya tersebut diilhami oleh sebuah kejadian yang lebih mengerikan dan lebih memalukan lagi di dunia perkapalan yakni kecelakaan yang menimpa Méduse, sebuah kapal perang dengan 40 meriam milik Perancis di perairan yang kini menjadi wilayah Mauritania pada bulan Juli, 1816.
Méduse adalah sebuah frigate (kapal perang bersenjata berat yang biasa digunakan untuk mengawal konvoi) Perancis yang turut andil dalam perang Napoleon, kapal ini berada di pihak Raja Louis XVIII yang berhasil melakukan Restorasi Bourbon setelah menumbangkan kepemimpinan Napoleon, 1814, sebelum akhirnya ditumbangkan lagi dalam peristiwa Revolusi Juli, 1830. Kapal Méduse pernah berlayar ke Pulau Jawa dan merapat di Surabaya dalam sebuah misi militer angkatan laut Perancis pada tahun 1811. Setelah Napoleon berhasil dikalahkan, Raja Louix XVIII menempatkan orang-orang yang loyal pada kerajaan di posisi-posisi penting, termasuk di angkatan laut kerajaan. Lewat keputusan Angkatan Laut Kerajaan Perancis saat itu, seorang bangsawan Perancis bernama Hugues Duroy de Chaumareys diberi mandat untuk menjadi kapten kapal Méduse walaupun de Chaumareys sudah 20 tahun tidak pernah berlayar lagi. Kisah tragis yang akhirnya berubah menjadi skandal internasional yang memalukan Kerajaan Perancis tersebut berpusat pada sang Kapten yang sudahlah tidak kompeten, tidak bertanggung jawab pula. Begini kisahnya.
Pada 17 Juni 1816, de Chaumareys berada dalam kapal Méduse dan memimpin sebuah konvoi kecil bersama kapal barang Loire, dan dua buah kapal perang, Argus dan Écho. Rombongan itu berangkat dari Rochefort, Perancis, untuk berlayar ke Senegal, Afrika, dalam sebuah misi menerima penyerahan Inggris atas pelabuhan Saint-Louis dan menempatkan seorang gubernur pilihan Raja Louis XVIII yakni Kolonel Julien-Désiré Schmaltz yang turut berlayar bersama istrinya. Kapal Méduse berlayar en flûte (dengan lebih sedikit senjata dan lebih banyak penumpang untuk misi non militer) membawa 400 penumpang, yang sebagian besar adalah para pejabat pemerintah dan tentara Kerajaan Perancis, termasuk 160 orang awak kapal.
Pelayaran berlangsung tenang dan lancar pada awalnya hingga konvoi mencapai Madeira, Portugis, pada tanggal 27 Juni 1816. Sang Gubernur Schmaltz menginginkan rombongan untuk tiba di pelabuhan Saint-Louis secepatnya dengan mengambil rute yang paling cepat namun rute tersebut sebenarnya berbahaya karena melalui perairan dangkal yang dipenuhi banyak gundukan pasir dan batu-batu karang tajam. Walaupun para awak kapal telah memeringatkan sang Kapten untuk berlaku hati-hati, sang Kapten, di bawah tekanan Gubernur Schmaltz yang sok kuasa, tidak memedulikan peringatan tersebut.
Menyadari kondisi jalur yang berbahaya, kapal Loire dan Argus dengan kapten dan awak kapal yang lebih berpengalaman segera menjauh dari rute yang diambil kapal Méduse dan bergerak ke perairan yang lebih dalam. Walaupun begitu, Méduse terus saja meluncur dalam rutenya tanpa menyadari bahaya yang mengancam. Kapal Écho berusaha mengejar kapal Méduse untuk memandunya menjauh dari rute dangkal yang berbahaya itu tetapi tidak berhasil. Tanpa dibebani senjata yang terlalu banyak, kapal Méduse berlayar paling cepat dan akhirnya hilang dari pandangan. Kapal Écho menjauh ke tengah laut menghindari bahaya dan akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa. Konvoi pun terpisah dari kapal pemimpinnya.
Tanggal 2 Juli. Kapten de Chaumareys meminta Richefort, salah seorang penumpang yang tidak kompeten, untuk mengawasi navigasi kapal. Ini dilakukan karena Richefort, lewat percakapan di atas kapal, menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang yang tahu banyak tentang Afrika termasuk jalur pelayaran menuju ke sana. Richefort, seorang berpendidikan yang cerdas namun tidak tahu apa-apa soal navigasi kelautan, mengira ia melihat Tanjung Putih (Ras Nouadhibou) di perairan Afrika, padahal yang dilihatnya adalah gumpalan awan gelap di kejauhan. Karena itu kapal berlayar lurus ke “tujuan” tanpa menyadari bahwa mereka sudah mendekati Teluk Arguin, Mauritania, yang dangkal.
Semua orang di atas kapal sudah khawatir saat melihat air laut dipenuhi lumpur di sekitar kapal, menunjukkan kedangkalannya, dan memeringatkan kapten kapal namun semua itu tidak digubris oleh sang Kapten. Ia selalu menunjukkan bahwa ia lebih tahu soal pelayaran dari semua orang di kapal, termasuk para awaknya yang berpengalaman. Saat kapal Méduse berlayar mendekati perairan Afrika, rute menjadi semakin berbahaya karena laut semakin dangkal penuh batu karang. De Chaumareys dan Richefort dengan tololnya tidak menyadari bahaya tersebut dan tetap berlayar lurus sampai akhirnya salah seorang anak buah kapal mengukur kedalaman laut dan menyuarakan tanda bahaya. Sesudah tanda bahaya disuarakan, sang Kapten baru benar-benar menyadari bahaya yang mengancam dan berusaha menangkap angin untuk mengalihkan kapal ke perairan yang lebih dalam, namun semua sudah terlambat. Angin tidak berpihak pada kapal Méduse dan karena dorongan ombak, akhirnya kapal tersebut membentur dasar teluk dan terbanting miring, tidak bisa diapa-apakan lagi. Kepanikan mulai terjadi di atas kapal.
Sang Kapten menolak usul para awak kapal untuk membuang meriam-meriam yang sangat berat supaya kapal bisa berdiri dengan tegak kembali. Ia khawatir ia akan mendapat kesulitan di Perancis karena membuang senjata yang sangat mahal dan bernilai strategis. Dengan begitu posisi kapal menjadi terkunci dan betul-betul tidak bisa bergerak sama sekali. Pantai Mauritania berada sekitar 50 kilometer di Timur sementara Senegal masih jauh di Selatan. Semua orang di atas kapal berdebat mengenai cara mana yang paling baik untuk mengatasi masalah tersebut. Ketika diketahui bahwa bagian kemudi kapal di bawah air sudah mengalami kerusakan, semua orang tersadar bahwa kerusakan akan sulit diperbaiki.
Sang Kapten memutuskan bahwa kapal harus ditinggalkan dan akhirnya, berdasarkan usul Gubernur Schmaltz yang “jenius”, diputuskanlah untuk membongkar dek kapal dan membuat rakit ukuran besar (sekitar 20×7 meter) untuk membawa sebagian penumpang ke daratan, ditarik oleh sekoci-sekoci penyelamat yang diluncurkan lebih dahulu. Maka kesibukan pun segera terjadi di atas kapal. Rakit besar itu dibuat dengan kondisi serba darurat dalam usaha menyelamatkan para penumpang. Pada tanggal 5 Juli, angin mulai bertiup amat kencang (antara 60-90km/j) dan menekan kapal Méduse sehingga kapal kayu yang bersandar miring di atas pasir itu mulai berderak dan retak karena didorong dan ditekan angin dan ombak.
Para penumpang menjadi semakin panik. Kapten de Chaumareys akhirnya memutuskan bahwa rakit harus segera diturunkan ke air, khawatir kapal akan pecah. Maka rakit darurat yang dibuat dengan terburu-buru itu akhirnya diceburkan ke air. Bahkan sebelum dinaiki penumpang, rakit itu sudah agak tenggelam di permukaan laut. Para penumpang akhirnya berjejal-jejal di atasnya dan rakit besar itu jadi kelihatan mungil karena ditumpangi 147 orang yang kebanyakan adalah tentara, awak kapal dan sedikit pejabat pemerintah serta penumpang. Saat mereka duduk berdempet-dempet, rakit semakin tenggelam dan permukaan laut meninggi sampai sepinggang.
17 orang memutuskan untuk tetap tinggal di kapal Méduse sementara ratusan sisanya, sebagian besar adalah orang-orang penting kerajaan, tersebar dalam beberapa sekoci penyelamat yang berusaha menarik rakit darurat tersebut ke pantai. Rakit itu sendiri tidak memiliki dayung atau kemudi apapun juga, orang-orang di atasnya hanya membawa sedikit bekal, biskuit konsumsi kapal yang habis di malam pertama. Mereka bahkan hampir tidak membawa air minum selain anggur yang dibawa dalam beberapa guci. Suasana tegang diliputi ketidakpastian di tengah gelombang laut yang meliar diterpa angin kencang dan sekoci-sekoci penyelamat pun mulai berusaha menarik rakit ke daratan dengan susah payah.
Dalam hempasan gelombang yang makin tinggi, para penumpang di dalam rakit semakin panik dan khawatir akan keselamatan mereka. Kondisi mereka yang berada di atas rakit begitu rentan terhadap kecelakaan, jauh berbeda dengan kondisi orang-orang penting yang lebih “aman” di sekoci-sekoci penyelamat. Para penumpang di rakit selalu panik dan berteriak-teriak menyuarakan kegelisahan mereka. Teriakan-teriakan panik dari rakit penumpang pun makin lama bercampur dengan sumpah serapah, ancaman dan provokasi.
Hal ini membuat sang Kapten, terutama Gubernur Schmaltz, resah. Mereka menyadari, dalam pikiran mereka yang cenderung mementingkan diri sendiri, bahwa kapan saja para penumpang rakit bisa merebut dan mengambil alih sekoci-sekoci penyelamat. Karena itu mereka selalu menjaga agar rakit tidak pernah berada dalam jarak yang terlalu dekat dengan sekoci supaya para penumpang rakit tidak bisa mencapainya dengan berenang. Karena terlalu mengkhawatirkan terjadinya pemberontakan, sang Kapten dengan dukungan Gubernur Schmaltz memutuskan untuk melepaskan tali penghubung antara sekoci-sekoci penyelamat dengan rakit. Para penumpang di rakit bertambah panik dan mulai berteriak-teriak marah dan putus asa ketika mengetahui rakit berhenti bergerak dan tambang-tambang telah dilepaskan. Sebagian penumpang berpikir bahwa sekoci-sekoci itu akan pergi ke pantai lalu kembali menjemput mereka secara bergiliran. Hal itu, sayangnya, tidak pernah terjadi. Tragedi kapal Méduse seperti yang dilukiskan oleh Géricault dimulai pada titik ini.
Saya bisa membayangkan betapa takut dan marahnya saya bila saya berada di dalam rakit tersebut karena tambang-tambang dilepaskan dari sekoci penyelamat. Sekoci-sekoci itu mendayung dan menjauh ke darat. Sebagian dari sekoci tersebut segera mendarat di pantai Mauritania, sebagian yang lain mendayung terus ke Selatan sampai ke Senengal dan memakan beberapa korban jiwa dalam prosesnya. Rakit malang itu benar-benar ditinggalkan begitu saja! Rakit besar yang setengah tenggelam itu tak berdaya, terombang-ambing di tengah gelombang yang semakin meninggi dan tidak bisa dikemudikan sama sekali. Di tengah kepanikan dan intaian maut, sifat-sifat dasar manusia pun mulai muncul ke permukaan.
Semua orang akhirnya hanya memikirkan keselamatan dirinya sendiri. Mereka bertengkar, berdebat mengenai apa yang harus dilakukan dan saling berebut bekal makanan. Situasi makin memanas sampai akhirnya terjadi perkelahian. Mereka terpecah-pecah menjadi sekelompok penumpang yang berkelahi melawan para pejabat pemerintah dan para awak kapal yang berkelahi melawan tentara. Korban pun mulai berjatuhan dan pada malam pertama yang dilewati orang-orang malang itu, 20 orang telah tewas karena perkelahian dan bunuh diri. Badai mulai datang dan di tengah gelombang yang menggelora, bagian yang paling aman adalah di tengah rakit sehingga semua orang saling menyikut untuk bisa berada di tengah.
Puluhan orang akhirnya tewas karena perkelahian memperebutkan bekal dan tempat paling aman di tengah rakit, sisanya yang kurang berhasil merebut posisi strategis disambar gelombang besar dan hilang dalam gelap malam di tengah cekikan lautan yang dingin. Hari pun berganti. Pada siang hari lautan sangat terik dan semua orang lemas bergeletakan di perahu. Saat hari mulai sejuk di sore hari mereka menjadi lebih aktif dan mulai berebut makanan. Segala intrik, keculasan, tipu daya dan kebencian terjadi bersamaan dengan kesedihan, kepedihan dan ketakutan, membentuk drama yang mengerikan setiap hari. Hampir setiap malam selalu terjadi perkelahian karena pertengkaran ego, perebutan bekal dan tempat terbaik di atas rakit. Setiap terjadi pertengkaran yang berujung pada perkelahian, selalu saja ada yang terluka atau tewas.
Perbekalan dengan cepat menipis lalu habis dan pada hari yang keempat, hanya tersisa 67 orang di atas rakit. Sebagian dari mereka terpaksa memakan mayat penumpang lain yang tewas untuk bertahan hidup. Sebagian besar penumpang merasa jijik melihat kanibalisme itu tetapi mereka yang berhasil menguatkan diri untuk makan daging manusia terbukti menjadi lebih kuat fisiknya daripada yang kelaparan. Maka semakin lama semakin banyak penumpang yang makan daging manusia.
Nilai-nilai kemanusiaan telah jatuh sampai ke titik nadir di atas rakit pada saat itu. Pada hari kedelapan, mereka yang lebih kuat menyingkirkan mereka yang lemah, sakit dan terluka ke tengah laut sehingga hanya tersisa 15 orang. Bagaikan mukjizat, kapal Argus melintas, melihat rakit tersebut dan memberi pertolongan. Ke-15 orang yang selamat itu akhirnya masih berkurang lagi. 5 orang meninggal dunia beberapa hari setelah diselamatkan, sisanya harus dirawat di rumah sakit sampai berbulan-bulan. Mereka segera dibawa ke pelabuhan Saint-Louis menumpang kapal Argus pada tanggal 17 Juli di mana Kapten de Chaumareys dan Gubernur Schmaltz sudah menunggu dengan nyaman.
Sesudah kejadian tersebut, dunia berjalan normal saja seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa bagi Gubernur Schmaltz dan Kapten de Chaumareys. Sang Kapten memerintahkan sekelompok anak buahnya untuk mengambil harta yang tertinggal di kapal Méduse dan mereka pun melakukan misi tersebut dengan kapal-kapal kecil. Mereka menemukan kapal Méduse masih bersandar di tempatnya terdampar. Ternyata alih-alih angin kencang dan badai yang mendera kapal, Méduse masih tetap utuh, tidak hancur berantakan seperti yang dikhawatirkan semua orang. Ketika tim tersebut menemukan Méduse hampir 2 bulan kemudian, 17 orang yang tinggal di atas kapal Méduse hanya tinggal 3 orang saja. Walaupun belum meninggal, kondisi mereka sudah seperti mayat hidup dan sudah setengah gila. Sisanya tewas. Mereka benar-benar dilupakan dan anehnya, pemerintah Kerajaan Perancis tidak pernah mengirimkan misi penyelamatan sama sekali sehingga ketiga orang yang selamat tersebut dikembalikan ke Perancis oleh angkatan laut Inggris.
Tragedi tersebut benar-benar mengerikan dan sikap sang Kapten, sang Gubernur serta pemerintah Perancis benar-benar tidak berperikemanusiaan. Henry Savigny, seorang ahli bedah yang ikut menumpang di kapal Méduse dan selamat menuturkan pengalamannya pada pejabat kerajaan di Perancis namun beritanya berhasil disadap oleh sebuah koran anti-Bourbon yang segera mengabarkan skandal tersebut. Maka menyebarlah berita memilukan dan memalukan itu ke mana-mana.
Dua tahun kemudian, Henry Savigny dan Alexandre Corréard, seorang ahli geografi yang juga selamat, akhirnya menerbitkan buku yang mengisahkan pengalaman mereka. Buku tersebut sukses di pasaran, disambut masyarakat Eropa Barat yang haus berita akan skandal tersebut, diterbitkan dalam bahasa Perancis, Inggris, Jerman, Belanda dan Italia. Skandal yang memalukan itu berusaha ditutup-tutupi oleh pemerintahan Raja Louis XVIII namun pengadilan tidak pandang bulu saat mengadili Kapten de Chaumareys. Walaupun demikian, campur tangan penguasa pada saat itu berhasil “menyelamatkan” de Chaumereys. Ia hanya dihukum tiga tahun penjara padahal ia dituntut hukuman mati oleh para jaksa atas inkompetensinya dalam penilaian navigasi, ketidakberhasilannya mengembalikan kapal ke posisi semula dan yang paling parah, meninggalkan para penumpang di atas rakit yang malang itu. Gubernur Schmaltz yang turut menyumbangkan andil besar dalam bencana itu malah tidak disentuh hukum sama sekali.
Théodore Géricault, sang pelukis muda dari Perancis yang saat itu baru berusia 25 tahun, sangat tertarik dengan kejadian ini dan segera melakukan studi dengan ekstensif. Ia menghubungi dua penulis buku tersebut dan melakukan wawancara. Adegan seperti yang tergambar dalam lukisan terkenal itu adalah momen saat belasan orang yang tersisa di atas rakit melihat kapal Argus di cakrawala. “Momen tersebut sangat mengaduk-aduk perasaan,” tutur salah satu korban yang selamat “Kami melihat kapal di kejauhan dan berusaha berteriak sambil melambai-lambaikan tangan, menarik perhatian mereka sekuat tenaga. Harapan kami melambung tinggi dan kami sangat gembira mengetahui kami akan selamat. Namun kapal itu lalu hilang tak kelihatan lagi dan kami pun histeris dalam keputusasaan.”
Kapal Argus memang sempat menghilang dan baru muncul kembali dua jam kemudian, untungnya Argus melihat para korban di atas rakit dan menyelamatkan mereka. Dibantu oleh Henry Savigny, Alexandre Corréard dan Lavillette, seorang tukang kayu yang juga merupakan korban yang selamat, Géricault membuat replika rakit darurat tersebut dalam ukuran asli di studionya. Para model yang ia pilih untuk berpose ditempatkan secara teliti di atas rakit buatan tersebut. Géricault juga ngotot ingin membuat studi mayat-mayat manusia yang sudah kaku termasuk warna kulit dan kondisi manusia yang sudah amat lemah karena sekarat. Untuk itu, ia mengunjungi kamar mayat dan kamar-kamar perawatan di Rumah Sakit Beaujon, Paris, untuk membuat sketsa langsung di depan mayat dan orang-orang sekarat tersebut. Entah bagaimana caranya, ia berhasil membawa pulang beberapa bagian tubuh manusia yang sudah mulai membusuk dan mempelajarinya dengan seksama di studio.
Selama dua minggu, Géricault secara khusus membuat sketsa dari kepala-kepala yang hancur dan terpenggal, yang dipinjamnya dari sebuah rumah sakit jiwa. Kepala-kepala itu disimpan di atas langit-langit studionya, menghindari bau busuk yang menyengat. Ia juga mengatur beberapa orang model, termasuk mereka yang selamat dari bencana tersebut, untuk berpose di studionya dan dilukis langsung. Tidak tanggung-tanggung, salah seorang model dalam lukisan itu adalah Eugène Delacroix, tokoh penting gerakan Romantisisme Perancis yang merupakan kawan dekatnya sendiri. Selain melakukan studi terhadap manusia, Géricault juga membuat banyak studi terhadap karya-karya seniman lain yang relevan dengan subyeknya.
Ia membuat saduran dari lukisan-lukisan tersebut untuk mempelajari apa saja yang diperlukannya. Ia juga pergi ke tempat-tempat tertentu untuk mempelajari dan merasakan langit dan cuaca supaya bisa melukiskannya dengan akurat. Dalam kondisi demam, Géricault memaksa dirinya untuk pergi ke pantai-pantai Perancis untuk menyaksikan dan merasakan langsung gemuruh badai yang sedang menerjang dan dalam suatu perjalanan ke Inggris ia berkesempatan untuk merasakan langsung lautan yang bergelora untuk tujuan artistiknya. Dokumentasi yang ditemukan dari catatan Géricault menunjukkan bahwa ia membuat banyak alternatif untuk menggambarkan tragedi ini dan prosesnya sama sekali tidak mudah dan berjalan lambat.
Géricault membuat persiapan total saat akan membuat lukisan berukuran monumental ini dan ia sudah menyadari sejak awal bahwa bila karya ini diperlihatkan pada publik, ia akan mendapat pujian sekaligus kecaman karena cara ia melukis sangat tidak lazim bila dibandingkan dengan gaya Neoklasik yang selama itu mendominasi. Géricault juga menyadari bahwa karyanya memiliki dampak politik yang tidak kecil karena secara implisit menggambarkan penderitaan yang disebabkan oleh kroni Kerajaan Perancis. Ia menyiapkan dirinya secara fisik mental bukan hanya dalam proses kreasinya di studio tetapi juga terhadap reaksi publik saat lukisan ini dipamerkan kelak. Dan persis seperti yang ia duga, reaksi publik benar-benar terbelah menjadi dua antara yang memujinya setinggi langit dan mengecamnya habis-habisan.
Karya monumental tersebut dipamerkan dalam Salon de Paris, 1819, dan segera merebut perhatian tanpa perlu banyak usaha. Begitu karya monumental dengan tema yang mencabik-cabik perasaan itu dipamerkan, popularitasnya menyebar dengan cepat sekali ke seluruh Eropa, sama cepatnya dengan skandal Kapten de Chaumareys yang meninggalkan para penumpang kapal Méduse. Karya Géricault menjadi karya terpenting dalam pameran Salon tahun itu karena ukurannya yang monumental, cara penggambarannya yang realistik sekaligus dramatis dan subyeknya yang begitu memilukan dan diketahui semua orang.
Pujian dan kritik datang dari berbagai sudut pandang dari mulai prinsip estetik, gaya artistik, aspek sosial dan politik pada saat itu. Dengan dingin Raja Louis XVIII, sponsor utama pameran Salon, menyindirnya, “Tuan Géricault, lukisan Tuan sudah pasti bukan sebuah bencana.”, mengacu pada popularitas Géricault yang meroket karena kontroversi tersebut. Mengikuti kritik Raja Louis, insan seni rupa Paris yang konservatif mengecam cara penggambarannya yang tidak lazim dan berbeda dari kebiasaan, tata nilai dan prinsip-prinsip estetik aliran Neoklasik.
Namun, seperti yang pernah dikatakan Andy Warhol (“Tidak usah pedulikan apa yang ditulis orang, ukur saja berapa panjang artikelnya.”), karya tersebut menjadi bahan pembicaraan lama sekali dan pengaruhnya segera terasa kemana-mana. Karya-karya Eugène Delacroix, orang terpenting dalam gerakan Romantisisme Perancis, J.M.W Turner, pakar seni lukis landscape Inggris, Gustave Courbet, pelopor Gerakan Realis, dan Edouard Manet, salah satu tokoh terpenting aliran Impresionisme Perancis, sangat dipengaruhi oleh cara dan gaya Géricault melukis. Pada tahun 1820, karya Géricault tersebut dipamerkan di Piccadilly, London, disaksikan oleh puluhan ribu orang dan menerima respon yang jauh lebih positif daripada saat dipamerkan di Paris.
Maka, demikianlah kisahnya. Barangkali cukup jauh bila kita harus membandingkan tragedi yang menimpa kapal Sewol di Korea Selatan baru-baru ini dengan lukisan The Raft of The Medusa karya Théodore Géricault hampir 100 tahun yang lalu. Saya bermaksud meminjam tragedi kapal Sewol ini untuk menunjukkan salah satu watak seni yang sesungguhnya: menjadi saksi atas tragedi sejarah yang pernah menimpa dan mengubah hidup manusia. Karya seni, baik itu seni rupa, seni sastra, musik atau film, sama-sama memiliki tendensi untuk mengingat dan memberi makna terhadap luka yang pernah dialami manusia, karena kita cenderung lebih mengingat luka, bukan sukacita.
Théodore Géricault wafat di usia muda, hanya 32 tahun. Walaupun ia membuat banyak karya semasa hidupnya, karya yang satu ini telah menaikkan reputasinya dan memasukkannya ke dalam catatan sejarah seni rupa Barat sebagai pelopor aliran Romantisisme Perancis. Tidak lama setelah kematiannya Museum Louvre di Paris mengoleksi lukisan tersebut dan karya monumental itu masih menjadi koleksi permanennya sampai hari ini.
Bila suatu saat Anda berkunjung ke sana, mudah-mudahan Anda masih teringat akan kisah ini sehingga Anda bisa memahami dan turut merasakan, apa yang dirasakan Géricault pada saat melukisnya. Kita barangkali tidak akan pernah mampu merasakan horor dan keputusasaan yang dialami oleh para korban, baik yang selamat maupun yang meninggal, namun kita bisa menyadari betapa besar pengaruh sebuah tragedi pada dunia bahkan sesudah kejadiannya lama berlalu.
Tragedi yang menimpa kapal Méduse maupun tragedi yang digambarkan dalam lukisan The Raft of The Medusa telah menghasilkan pengaruh besar dalam dunia seni. Kejadian tersebut dicuplik oleh banyak karya seni rupa, komposisi seni musik, penulisan naskah teater, novel dan film. Semua itu sama sekali bukan dilakukan untuk alasan perayaan, alih-alih, saya kira, adalah untuk menunjukkan bahwa kita, manusia fana, selalu terkesima dalam teror dan ekstase di hadapan wajah tragedi karena sadar atau tidak, kita selalu takut namun diam-diam merindukan kematian.